Minggu, September 14, 2008

ANTROPOLOGI KIAI (1)*

Kiai Sahal Kajen, Kiai Pencari Mutiara

Sebagaimana banyak terjadi pada kiai pesantren, kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat. Itu tidak hanya tampak pada rokok yang selalu dipegang dan diisapnya, tapi juga keadaan fisiknya: kurus kering dan tenggorokan yang acap terkena penyakit batuk.
kebiasaan merugikan itu mungkin datang dari " kebiasaan kiai" untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan bangun. Kalau tidak untuk membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemui tamu yang mengajaknya berbicang.
Lahir, dibesarkan dan juga akhirnya menetap di "desa pondok" Kajen di Kabupaten Pati - sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain - Kiai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri sewaktu kecil, kiai Mahfudz, yang juga "kiai ampuh", adik sepupu almarhum Ra'is 'Am NU kiai Bisri Syamsuri.
Kemudian ia melanjutkan pelajaran dengan bimbingan "kiai ampuh" lain, seperti almarhum Kiai Zubair Sarang. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru (bermoral luhur).
Anehnya, kiai berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup "aneh" bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren daerah pesisir utara jawa. termasuk ketika berani mempertaruhkan wibawanya dikalangan sesama ulama pesantren, dengan menerima kehadiran seorang "bule" Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantrennya.
Jawabannya: fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau, diperlakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya' Imam Ghazali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur dengan 'orang dzimmi' (non muslim)?
Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan hanya aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlakukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara, yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki.
Toh kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. terbukti dari pengayoman oleh sesepuh para kiai di desanya sendiri, kiai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan Al-Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya maupun pemerintah, karena takut "kecampuran barang haram", dan begitu dihormati tokoh legendaris Embah Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal.
Itu memang bukti kuatnya akar 'rangkaian mutiara' seperti yang dipungut kiai Sahal itu, untuk masa lampau maupun masa depan.




*Antropologi Kiai adalah diambil dari buku dengan judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah penulis Abdurrahman Wahid.

Selasa, September 02, 2008

Ramadhan Ya Ramadhan

By : Langit Mularto

Gegap gempita menyambut kedatangan Ramadan dan hiruk pikuk kaum muslimin menjalani Ramadan, disatu sisi bisa dipandang sebagai pertanda maraknya kehidupan beragama, khususnya di negeri ini. Namun, dilain pihak, bias sebagai bahan perenungan kita semua, terutama bagi peningkatan mutu keberagamaan kita. Lihatlah, bagaimana repotnya pemerintah mengkoordinasikan pihak-pihak yang di ajak bersama-sama mengitung dan meneropong hilal untuk menetapkan awal Ramadan. Bahkan, tahun ini masyarakat umumpun dilibatkan dalam kegiatan rukyah. Lihatlah spanduk-spanduk menyambut kedatangan Ramadan yang terpampang di seantero jalan. Lihatkan kesibukan para produser dan insan-insan pertelevisian serta para pemilik PH yang bahkan jauh-jauh hari menyusun program-program Ramadan. Lihatlah ingar-bingar masjid-masjid dan mushola serta meriahnya acara buka bersama dimana-mana. Lihatlah kepedulian instansi-instansi, termasuk kepolisian yang dengan serius berusaha menghormati Ramadan. Luar biasa. Pendek kata pada Ramadan ini, Indonesia seolah-olah menjadi milik kaum muslimin. Lautan, daratan, dan udara boleh dikata dikuasai kaum muslimin. Subhanallah! Kata Ilham dan ustad-ustad dalam takjub. Fenomena ini bisa kita saksikan setiap tahun. Setiap Ramadan. Hanya pada Ramadan. Inilah acara rutin tahunan kita selama ini. Seakan-akankita hanya menunggu datang dan perginya Ramadan, lalu setelah itu kembali kepada kesibukan lain yang biasa kita lakukan di sebelas bulan yang lain. Seakan-akan kita menghormati Ramadan hanya pada Ramadan. Kita berpuasa, menahan diri hanya kepada Ramadan. Termasuk berakrab-akrab dengan keluarga pun hanya pada Ramadan. Itu pun – kehidupan Ramadan yang seperti itu – masih menyisakan sekian tanda Tanya bagi mereka yang benar-benar ingin mendapatkan keridaan Tuhan mereka. Tanda Tanya itu antara lain, dimanakah posisi Allah dalam diri kita di tengah kesibukan kita yag khas itu? Seberapa murnikah niat kita dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah kita? Atau seberapa jauh dorongan nafsu yang samara menyusupi keinginan kita mendapatkan rida Allah? Dengan perenungan yang agak dalam, kita mungkin akan menyadari bahwa nafsu begitu halus tersembunyi dalam diri kita, sering berimpita dengan kehendak mendapatkan rida Allah. Kita berzikir atau membaca Quran, misalnya, tentulah dengan kehendak ingin mendapatkan rida-Nya. Namun, bersamaan dengan itu, sering tanpa kita sadari nafsu justru mendorong kita untuk berlebih-lebihan, sehingga kehendak yang mulia itu malah melenceng melanggar anggar-anggar-Nya. Kita berzikir atau membaca Quran tidak lagi murni bagi Allah Yang Mahadekat, tetapi kita keraskan suara kita sedemikian rupa seolah-olah kita sedang menyeru orang tuli. Bahkan, di negeri ini, kebiasaan berzikir, membaca Quran, dan sebagainya, dengan pengeras suara sudah merupakan hal jamak lumrah. Tak ada seorang kiai pun yang mengingatkannya. Saya sendiri pernah menyinggung masalah kemaruk pengeras suara ini, di koran ini. Besoknya ada penelepon yang marah-marah, “MUI saja, Gus Dur saja, tidak mempersoalkan, kok sampeyan mempersoalkan!” Saya mempersoalkan hal ini justru karena MUI dan Gus Dur tidak terang-terangan mempersoalkannya, jawab saya ketika itu. Biasanya orang yang membenarkan zikir dsb dengan pengeras suara beralasan bahwa itu merupakan syi’ar. Saya tidak tahu apakah maksud mereka dengan syi’ar itu? Apakah Rasulullah SAW yang melarang berzikir keras-keras itu tidak mengerti syi’ar? Apakah para sahabat, Imam Syafi’i dan ulama-ulama besar yang mengecam zikir dengan suara keras itu tiak mengerti syi’ar? Lagi pula apakah, karena kita merasa besar, lalu kita merasa merdeka dan menafikkan hak mereka yang lain – sekecil apa pun – untuk tidak diganggu dengan suara-suara keras? Kehendak untuk diterima amal kita sering juga disusupi nafsu yang samar, lalu kita menjadi egois; ingin agar amal kita sendiri yang diterima tanpa mengindahkan hak orang lain untuk berkehendak diterima amalnya. Bahkan, sering karena kita terlalu ingin mendapatkan rida Allah, lalu kita mempersetankan hak orang lain untuk menjadi hamba-Nya sesuai kemampuannya. Tengoklah mereka yang karena ingin menghormati Ramadan, lalu ingin memaksa para pemilik warung untuk menutup warung. Mereka lupa bahwa tidak semua orang muslim wajib melaksanakan puasa pada Ramadan. Di sana ada musafir-musafir yang di perkenankan tidak puasa dan perempuan-perempuan yang datang bulan yang malah tidak boleh berpuasa. Maraknya kehidupan beragama secara lahiriah seharusnya diikuti dengan maraknya spiritualitas kaum beragama secara batiniah. Dengan demikian, Ramadan tidak begitu saja berlalu sebagaimana momen-momen rutin lain yang tidak membekas. Apalagi justru menjadikan kita hamba-hamba yang bangga diri terhadap kebesaran semu kita. Selamat berpuasa Ramadan! Semoga Allah mengampuni kekurangan-kekurangan kita dan menrima amal ibadah kita. Amin.

Ditulis ulang dari KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Selasa, Agustus 19, 2008

Merintis Mencari Jalan Mu

By : Langit Mularto

Saya terhenyak kaget ketika membaca sebuah buku filsafat yang menyakan “Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kuasanya itu, Dia dapat membuat batu sangat besar yang Tuhan sendiri tidak mempunyai kesanggupan untuk mengangkatnya”. Apa iya begitu ?
Kalau memang begitu, lalu bagaimana Dzat yang bernama Allah ? bukankah untuk mnegenal Allah seorang Ibrahim haru smeneliti apakah hal-hal yang semula dianggapnya sebagai “tuhan” dapat diteliti lebih lanjut bahwa itu benar-benar “tuhannya”.
Jalan manusia menuju Allah diawali dengan kemampuan manusia untuk dipesonakan dan juga kemampuanny auntuk menyelidiki masalah yang mengantarnya kepada pesona itu. Semoga saja, saya bukan manusia yang dilahirkan dengan keinginan untuk diagungkan, karena dengan demikian saya akan sulit untuk menerima keagungan daripada unsur-unsur lainnya, termasuk untuk menerima kepesonaan Allah tadi.
Belum habis rasa bingung saya, muncul pernyataan berikutnya, “Allah tidak ada, kalau kita tidak ada”. Pernyataan ini penuh makna, Allah butuh pengakuan atas eksistensiNya, padahal kalalu kamu cuek sama Allah, Dia pasti meneng, tidak berkurang ke Maha Pengasihannya. Allah juga tidak akan misuh, terus cemburu dan menyesal menciptakan kamu.
Apakah saya –sebagai pemula- harus mempercayai ungkapan verbal yang sudah turun temurun dan mulai mnecarinya sesuai dengan petunjuk tersebut ?
Apakah kita mempunyai bekal yang cukup untuk mengenali Dzat yang bernama Allah, padahal Allah memberi pengetahuan yang sangat sedikit sekali tentang ruh, apalagi Dzat yang membahas kerahasianNya. Mungkin, sampai sini saya sependapat pada masa Al-Ghazali mencari Tuhan.
Apakah kepercayaan kepada Allah dapat menjadi suatu pengetahuan tertentu? Jika Allah harus disembah, Ia harus diketahui dengan pasti. Apa iya, akal pikiran dan 5 indera kita dapat mendeteksi secara pasti sang khalik ? atau saya dapat mengiyakan suatu kebenaran yang say aperoleh dari seseorang yang telah menjadi suatu kepercayaan umum dianut orang menjadi hasil dari pemikiran mereka ?atau mungkin ini adalah sebuah kepercayaan yang dibenarkanNya, yang dengan mempercayainya aku tidak terjerumus dan mengkhianati ke Esaan-Nya?
Apakah benar, meng-intelijen Allah adalah dengan mendeduksi (istisyhad) segala eksistensi dari pengetahuan mengenai yang Haqq ? Bukankah, itu sebuah metode yang sangat pelik dan rumit yang berada diatas kemampuan kebanyakan manusia untuk memahamiNya ? ataukah mencari Allah dimulai dengan mempelajari hal-hal yang mudah untuk dicerna oleh kemampuan yang sederhana dalam memahami dan oleh karena itu dapat dikomunikasikan dalam bentuk bahasa, bukankah memahami Allah dengan cara ini adalah sebuah pemahaman yang parsial dan sementara yang hanya menuntun saya kepada tingkat terakhir dalam pemahaman mengenai realitas dan kesatuan eksistensi ?
Mengenal Allah, melalui bahasa ?? Semudah itukah ? Bahasa yang hanya dapat menerangkan aspek-aspek “ilmiah” dari realitas namun tidak dapat menerangkan aspek-aspek realitas yang masuk kebidang spiritual yang hanya dapat diketahui melalui pengetahuan langsung yang bersifat pribadi. Dengan demikain, dibutuhkan sebuah “penglihatan” yang mampu melampaui tingkat pemahaman “intelektual” sebab hanya dengan kata-kata saja, tidak mampu mengetahui mengenai Allah, sifat-sifat Nya, dan aspek spiritual dan sebuah eksistensi.
Jika Allah sulit dipahami melalui bahasa secara konvensional, apakah dengan demikian Allah itu gaib ? Jika menganggap Allah itu gaib , bukankah berarti kita membuat jarak dengan kegaiban itu sendiri, dan dengan mengambil jarak dengan kegaiban akan semakin sulit kita mengenal Allah.
Jika melalui jalan gaib sudah tertutup untuk mengenal Allah, bagaimana dengan diri kita, jasmani kita, sifat kita dan perubahan keadaan kita, perubahan-perubahan hati kita dan semua tingkatan didalam gerakan-gerakan kita ataupun saat kita beristirahat. Kemudian objek-objek yang dapat ditanggapi oleh panca indera kita, dan setelah itu objek-objek yang dapat ditanggapi oleh akal pikiran dan “penglihatan” kita, yang setiap objek ini mempunyai instrument persepsi, sebuah saksi dan sebuah petunjuk untuk eksistensinya.

Wallahu alam bisshawab
By : Mularto

Senin, Agustus 04, 2008

Moses

By : Mularto

Tersebutlah seorang Moses,tetangga saya ini seperti halnya shakespeare, tidak memandang penting namanya. Meskipun sediki terdengar aneh bagi warga kampung kami. Di barat atau bagi orang Nasrani, sudah terbiasa mendengar nma Moses yang diambil dari nama seorang nabi Bani Israel, Musa. Menurut Moses sendiri, ayahnya dahulu pun tidak mempunyai motivasi dalam pemberiaan nama tersebut. Sang ayah hanya mengikuti saja anjuran kakeknya tanpa bertanya lebih jauh tentang maksud dan tujuan pemberian nama tersebut.
Sebelumnya, Moses tinggal di sebuah desa kecil di Solo. Ayahnya yang sebagai pensiunan pegawai negeri sipil sengaja ingin pindah ke Jakarta, karen aibunya yang sedang mengidap komplikasi diabetes harus dirawat di rumah sakit di Jakarta. Moses dan keluarganya tinggal di sebuah rumah berukuran 170 meter persegi, tepat disamping rumah saya. Rumah itu dibelinya dengan harga seratus juta rupiah dari keluarga Bapak Kamsani, pemilik sebelumnya.
Rumah,sawah dan semua harta bendanya tak tersisadijual untuk mengobati ibu dan modal tinggal di Jakarta. Sebelumnya ayah Moses adalah orang yang disegani di Solo. Kewibawaan dan kepemilikan atas berbagai bidang tanah dan sawah turut mendukung keseganan warga dikampungnya.
***
Sebagai muslim yang taat, Moses memang sanagt ingin pergi haji. Tetepai keinginan itu selalu tertunda karena ia ingin pergi “haji” ketempat lain. Tahun kemarin, ia pergi “haji” ke Aceh menjadi sukarelawan korban Tsunami. Modal ke tanah suci, dipakainya untuk berjihad hanya didepan serambi Mekkah. Di matanya, hukum-hukum Islam banyak berubah, meskipun kita mampu, haji dianggap tidak wajib. Haji bisa menjadi sunnah, atau makruh tergantung skala prioritas. Karena itu pulalah hajinya selalu tertunda.
Ketika saya bertanya, mengapa hukum dianggapnya berubah, dengan ringan ia menjawab “ kalau kita sedang shalat, lalu ada tetangga kita yang terbakar rumahnya, menurut anda lebih wajib mana? Menyelesaikan sholat kita atau mengambil seember air ?”
Saya diam, lebih tepatnya saya tak ingin terjebak dengan pertanyaan itu. Saya takut pertanyaan ini jadi mengkafirkan saya.
“jelas lebih fardhu mengambil seember air” sambungnya. “lalu, bagaimana dengan hukum merokok” saya coba menyela. “tergantung mas, apakah dengan merokok dapat mengganggu imanmu? Lantas kamu lupa syahadat, lupa dengan sholat, tidak naik haji kalau kaya raya nanti, jangan-jangan saking asyiknya merokok, kamu bisa lupa penciptamu yang Maha tidak butuh rokok itu. Kalau sudah sampai pada tahap ini, merokok itu hram,mungkin sama haramnya dengan syirik. Kalau merokok sudah pada tahap ini, kita merasa kenikmatan hanya datang dari rokok, dan tidak ada yang nikmat selain rokok. Ini bisa bahaya, nanti Djisamsoe kita anggap tuhan, marlboro jibrilnya.” Ungkapnya berapi-api.
Bagi saya ungkapan ini bisa dianggap metafor, yang dapat mewakili sebuah simbol. Sementara saya belum ingin melontarkan komentar tersebut, ia sedang bersiap menggelontorkan kembali pendapatnya.
“Kalau merokok hanya menggangu stabilitas fungsi hidung sebelahmu duduk, hingga khawatir menggangu berjalannya fungsi jantung, ini masih agak ringan, karena berarti rokok hanya tidak demokratis. Rokok memasung kebebasan dalam urusan hisap menghisap. Rokok masih perlu penataran ala orde baru agar menyadari hak dan kewajibannyasebagai sebatang rokok.” Moses belum ingin menghentikan irama musik hatinya.
***
Bulan Ramadhan tiba di kampung ini, warg akami menyambut dengan gegapp gempita. Biasanya, bagi muslim NU, dua minggu sebelum Ramadhan digelar malam Nisfu Syaban. Sebuah ritual, dimana menjelang sore warga membawa air dalam botol-botol plastik menuju masjid. Air-air tersebut “akan berkhasiat” setelah dibacakan surah Yassin 3 kali balik beserta kelengkapan tahlilnya.
Ketika malam pertama Ramadhan, Moses cukup mengenakan jeans dipadukan dengan t-shirt, warga langsung mencibir terhadap penampilannya. Moses dianggapnya tidak menyambut gembira bulan ini.
Dasar orang aneh, seharusnya Moses memasuki pola pikir mereka. Ramadhan adalah bulan baik, dan harus disambut dengan pakaian yang baik. Saya coba untuk anjurkan untuk mengormati pandangan warga. Jawaban ringan pun mangalir darinya,
“apakah warga dapat menjamin hati saya untuk tidak sombong, seolah-olah saya muslim taat dengan pakaian itu”.
“tetapi saya lihat anda cukup taat menjalankan ibadah.”
“Itu ukuran anda, bagaimana dengan Tuhan”. Jawabnya seraya berlalu menuju surau.
Ditengah cibiran sebagai manusia yang aneh, karena menolak pendapat umum, Moses diberi kesempatan kultum dihari pertama Ramadhan tahun ini. Ketua RT yang juga pengurus surau mengetahui Moses adalah lulusan tebu ireng, saat keluarga Moses bertandang untuk mengajukan surat izin menetap di kampung ini.
Pandangan apriori terlihat jelas dari barisan belakang ibu-ibu. Satu, dua dari mereka coba menganalisa lebih awal, bahkan sebelum kultum dimulai. Kepadatan malam pertama Ramadhan sangat terasa dengan pekik teriak anak-anak. Mereka bercanda sepantasnya sang anak. Meskipun berkali ditegur oleh kami yang dewasa, pekik itu hanya berkurang intensitasnya menjadi berbisik.
Prolog kultum Moses diawali dengan suara echo dan feed back dari sound system. Setidaknya suara itu dapat menutupi suara bising anak-anak. Pembukaan mengalir lancar menuju isi kultum.
“Jika mengaku Islam, ternyata kita belum adil dengan lainnya. Mengapa kita larang komunis hidup di negeri ini, hanya karena beberapa elitnya melakukan kudeta dan membunuh pemimpin kita.” Mata pak RT membelalak, entah apa yang dipikirkan.
“kita belum Islam, jika kita masih merasa benar sendiri, orang lain berada pada posisi yang salah.” Kelihatan jamaah surau semakin menganggap aneh kultum ini. Seharusnya dihari pertama Ramadhan Moses mengambil tema puasa dan takwa. Tema ini sangat tidak populis dimata warga. Jemaah pun semakin tak acuh ketika Moses dengan meledak-ledak mengatakan,
“Bagaimana jika nanti Islam pun dilarang, karena sebagian dari mereka berpikir militan dan melakukan bom bunuh diri. Kita tidak pernah membela hak orang lain, tetapi lebih sibuk dengan hak kita sendiri.”
Satu persatu jemaah pergi, cukuplah shalat Isya dan tarawih tanpa disambung witir. Pak RT dengan gengsinya tetap bergeming dari tempat duduknya. Begitupun saya, sebagian kecil bapak-bapak dan anak-anak yang tetap bermain di pojok surau tanpa tahu apa yang sedang diceramahkan. Kultum pun menjadi benar-benar kultum, tujuh menit, tidak kurang atau lebih, Moses memang beritikad mendisiplinkan diri.
Setelah kultum itu, tak ada warga yang menegurnya. Saat ini warga benar-benar tak menganggap eksistensinya. Dalam malam-malam berikutnya Moses tak lagi terdaftar sebagai penceramah Ramadhan, tidak juga muadzin, bilal apalagi imam. Itulah ceramah pertama dan terakhir kalinya. Seperti Suhrahwardi, Al-Hallaj, Ibnu arabi dan Siti Jenar, Moses telah dipancung karakternya. Hal ini yang membuatnya terus menerus tersingkir dalam kehidupan kampung kami. Namanya tak lagi dipertimbangkan untuk mengikuti berbagai kegiatan. Dalam kehidupan jemaah surau kami, Moses dianggap kafir pengecualian.
***
Shalawat mengiringi kepergiannya ketanah suci Mekkah. Tak banyak pengantarnya, hanya kerabat dekat dan saya sebagai satu-satunya tetangga. Haji yang diimpikan selama beberapa tahun ini akhirnya terlaksana. Hanya Moses dan ayahnya yang cukup udzur untuk pergi haji berangkat menunaikan ibadah suci itu.
Sebelumnya, seperti selayaknya ritual pergi haji, Moses menyampaikan sepatah sambutan. Entah diperlukan atau tidak, sound sytem digunakan. Suaranya diperkeras, terdengar hingga radius beberapa ratus meter. “saudara-saudara, akhirnya yang saya impikan terlaksana. Setelah beberapa tahun hati saya tidak mampu, saat ini tidak ada penghalang yang membuat ekad saya goyah” sambutan yang datar.
Saudara-saudaranya menyimak terdiam. Bahkan mungkin agak bosan dengan protokoler seperti ini.
“setelah pulang dari tanah suci nanti, saya dan ayah berniat tidak akan mengenakan gelar haji, dan tidak ingin dipanggil pak haji.” Beberapa hadirin yang terkantuk mulai setengah bangun. Penekanan akan kalimat itu cukup keras hingga mengejutkan mereka. Beberapa tetangga dekat yang semuanya tak hadir jelas mendengar suara keras itu. Mereka hanya melongok melalui jendela rumah tingkat mereka. Beberpa diantaranya pernah ke tanah suci, dan memberi identitas diri dengan sebutan pak haji.
“Haji bukanlah gelar, tetapi sikap. Gelar Al-Hajj atau haji juga tak pernah menempel pada Rasullulah, meskipun ia bersikap Al-Amin. Haji bukan tujuan, tetapi sarana pembentukan diri, perubahan perilaku dan kematangan sikap.” Pak haji yang melongok melalui jendela tadi beringsut, jendela ditutupnya rapat. Jika mungkin ditambahi alat peredam suara. Bagi mereka ini ini polusi suara.
Bagi saya sendiri, sambutan itu berguna bagi diri dan keluarganya sendiri. Ini idealisme individu bukan sosial. Karena jelas, siapa yang ingin memanggilnya sebagai pak haji, sedangkan tetangga tak pernah lagi ingin memanggilnya.
Sambutan selesai. Seluruh hadirin menyalami, ditambah pelukan hangat.” Semoga ini bukan haji yang terakhir” bisik saya.
“Tidak akan, jika tidak ke tanah suci, saya bisa berhaji kemanapun” tegasnya sambil tersenyum.
Mularto
Tanah Kusir
September 2006
Gambar di nukil dari :tamanrahasia.blogspot.com

Rabu, Juli 23, 2008

MI’RAJ DALAM TINJAUAN KOSMOLOGI MISTISISME

By ; Langit Mularto

Mi’raj merupakan aspek kebudayaan Islam populer yang telah mendarah daging, dan menjadi tema kajian yang tak pernah berakhir atau objek alusi dalam kebudayaan Islam. Sejak awal, riwayat-riwayat tentang mikraj memiliki kedudukan khas dalam spiritual Islam. Naiknya Muhammad menjadi wacana yang tidak berkesudahan.
Peristiwa itu disinggung terus-menerus melalui alusi-alusi yang lembut, disertai pembahasan tentang wahyu, penglihatan kepada Allah, dan penglihatan seseorang yang tengah melakukan kontemplasi.

Mikraj tidak digambarkan dalam satu wacana yang khusus dalam Al-quran. Bukti tekstual Alquran yang utama untuk konsep ini ada;ah ayat pertama dari Surah Al-isra (Q.S. 17:1)
Mahasuci Dia yang membawa hamba-Nya dalam perjalanan di malam hari dari tempat sholat yang disucikan (masjid al-haram) ketempat shalat yang paling jauh (masjid al-aqsha) yang telah Kami berkahi dengan berkah Kami, sehingga Kami bisa tunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kami. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Ayat ini digabungkan dengan pemaparan tentang visi kenabian Muhammad (Q.S. 53:1-8), dan elemen-elemen lain dari peristiwa pandangan itu, seperti pohon lot (sidrah), yang kemudian dipadukan kedalam topografi Mikraj. Ayat ini juga dihubungkan denagn ayat Alquran lain yang terkenal, yakni tentang, “dibukanya dada Nabi Muhammad”. Surah Alquran yang pendek berikut menjadi bukti tekstual tentang pengambilan hati Nabi Muhammad dan penyusiannya dengan air Zamzam.

Bukankah telah Kami buka dadamu
Dan kami telah menghilangkan bebanmu darimu
Yang telah memberatkan punggungmu
Bukankah kami telah meninggikan sebutan namamu
Dalam setiap kesulitan ada kemudahan
Sesungguhnya dalam setiap kesulitan terdapat kemudahan
Ketika kamu bebas tetaplah bersiap
Dan kepada Tuhanmu, hendaklah kamu berharap
(Al-Insyirah, Surah ke-94)


Gambaran tentang Mikraj tampak semakin meluas seiring dengan merasuknya tradisi Islam kedalam berbagai wilayah yang berbeda, ditambah beberapa penjelasan yang lebih luas tentang tingkatan-tingkatan neraka dan gambaran fisik keadaan tempat para Nabi di langit yang tujuh.
Dalam beberapa kumpulan hadits paling awal, elemen-elemen penting Alquran (pohon lot [sidrah] dibatas yang jauh [al-muntaha]), sidrah-al-muntaha, pewahyuan Nabi Muhammad, dan pembukaan dada Nabi Muhammad ditemukan dalam tingkatan yang beragam dari naiknya Nabi Muhanmad melewati tujuh langit.

Riwayat-riwayat tentang mikraj menghubungkan tema-tema Alquran itu dengan tema-temapenting lain yang tidak disebutkan dalam Alquran. Nabi dibawa ke Jerussalem, Muhammad memasuki rumah kesucian (bait al-maqdis). Dari sana ia naik melewati tujuh langit, melihat rumah kehidupan (bait al-ma’mur) atau sebuah analogi surgawi.

Tidak diketahui dengan pasti apakah sebelum atau sesudah melihat sidrah (tergantung riwayatnya), Nabi Muhammad datang kehadapan Tuhan dan diperintahkan untuk memerintah umatnya mendirikan shalat yang diwajibkan limapuluh kali sehari. Lalu atas anjuran Nabi Musa, ia terlibat dalam satu rangkaian negosiasi, dan akhirnya ia mendapatkan perintah shalat lima kali dalam sehari yang pahalanya sama dengan shalat limapuluh kali dalam satu hari.

Hadits-hadits ini menyuguhkan beberapa variasi menarik dalam tema yang luas ini. Dalam salah satu hadis dicertakan bahwa Nabi naik melewati langit, langsung setelah dadanya dibuka;dan dalam hadits itu, perjalanan malamnya menuju Masjud al-aqsha dan Bait-almuqqaddas tidak disebutkan. Pada shahih Muslim akhir riwayatnya berbeda denag penglihatan sidrah setelah melakukan negosiasi tentang jumlah kewajiban shalat.

Meskipun begitu, versi yang lain dalam shahih Muslim dimulai dengan pembukaan dada Muhammad, langsung berpindah pada peristiwa Mikraj (tanpa menceritakan perjalanan menuju Jerussalem), dan menempatkan bagian kisah tentang pengujian dengan anggur dan susu setelah peristiwa Mikraj.

Berbeda pula dalam sirah karya Ibn Ishaq yang dikisahkan kembali oleh Ibn Hisyam. Cerita tentang Mikraj diceritakan lebih mendetail ketimbang yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim. Lebih jauh, masalah-masalah teologis yang terungkap didalamnya turut membedakan kedua riwayat ini. Ibn Hisyam memunculkan perdebatan-perdebatan awal sekitar validitas dan kemungkinan peristiwa perjalanan dimalam hari itu. Ia juga mengungkapkan pandangan Nabi Muhammad saw., Aisyah bahwa perjalanan dimalam hari dan Mikraj merupakan peristiwa yang murni bersifat spiritual. Sambil bersumpah, Aisyah menyatakan bahwa ia bersama Nabi selama waktu itu dan bahwa tubuhnya tidak berpindah sama sekali.

Wallahu a’lam bishawab.


Minggu, Juli 20, 2008

Imam Mahdi : Konsep Teologis Akhir Zaman (II)

By : Langit Mularto
Pola itu berlanjut

Pola yang (kurang lebih) sama terus berkembang pada kemunculam Ahmadiyah. Muncul pada masa kolonialisme Inggris di negara India, hingga menguat dugaan kemunculannya lebih kenuansa politis. Banyak dugaan kemunculan Mirza ghulam ahmad sebagai Al-Mahdi dibiayai oleh kolonialisme Inggris waktu itu untuk memecah belah kekuatan Islam dan melawan kekuatan Hindu disana.
Dalam kepercayaan yang dipegang Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dipercaya sebagai Al-Mahdi yang telah dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun ada perbedaan keyakinan tentang pandangan mereka terhadap Mirza Ghulam sendiri.
Pandangan pertama, adalah kelompok yang mempercayai Mirza sebagai mujaddid (pembaharu) dan sekaligus seorang Nabi. Pandangan ini dipercayai oleh kelompok Ahmadiyah Qadian. Di Indonesia kelompok ini disebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Bogor.
Pandangan kedua, kelompok yang mempunyai keyakinan bahwa Mirza Ghulam hanya sebagai mujaddid (pembaharu) dari ajaran Islam. Pandangan ini dipercayai oleh kelompok Ahmadiyah Lahore. Di Indonesia kelompok ini disebut Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Yogyakarta.

Lia Eden

Di Indonesia sendiri yang cukup menonjol adalah Jemaah Salamullah pimpinan Lia Aminuddin. Sedikit berbeda dengan pola pengakuan Imam Mahdi yang lain, Lia Aminuddin mengaku hanya sebagai perantara turunnya Imam Mahdi. Anaknya, Ahmad Mukti yang didaulatnya sebagai Imam Mahdi nantinya.
Trinitas yang diyakini umat Nasrani, juga diyakini oleh Lia. Dalam konteks yang berbeda dia menganggap didalam dirinya terdapat 3 ruh, ruh Malakat Djibril, ruh Siti Maryam, dan ruh Ibu Ahmad. Seperta halnya juga Rasullulah yang Ummi, Lia pun menyatakan sebelum perjumpaan dengan “Malaikat Djibril”, ia tak bnayak mengetahui Islam. Tokoh yang paling mempengaruhi pemikirannya adalah temannya bernama Abdul rachman,yang cukup banyak memperdalam Islam di IAIN (UIN) selain “Malaikat Djibril” tentunya.

Islam tidak sendiri

Selain Islam, agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani , Majusi dan Hindu juga sangat menantikan kedatangan seseorang yang bakal muncul membawa keamanan dan keadilan kepada dunia.
Orang Yahudi mazhab orthodoks percaya bahwa akan lahir Imam Mahdi dari kalangan mereka. Mereka ini disebut golongan Mesianic yaitu golongan yang percaya akan tibanya sang juru selamat. Keyakinan ini didasari oleh Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian (Genesis) 18:20
“ Bagi Ismail, Aku mendengar doanya ; Sungguh, Aku akan memberkatinya dan menjadikanya mewah dan Aku akan kembang biakkan keturunannya, Dua Belas Raja akan dilahirkannya dan Aku akan jadikannya bangsa yang besar”.

Hal ini diperkuat dalam Mazmur 37, 10-37 yang berbunyi :
“ …dan Allah akan memunculkan para wali yang akan menjadi pemilik dunia ini dan menyelesaikannya selama-lamanya”

Umat Nasrani juga sangat yakin dengan konsep Imam Mahdi ini. Meskipun konsep kepercayaan yang lebih bersifat literal dan bukan sebuah kewajiban untuk mempercayainya. Imam Mahdi yang dimaksudkan itu sebenarnya adalah Nabi Isa As sendiri. Hasilnya, pada tahun 1890 terjadilah Gerakan Taiping yang dipimpin Hung Hsiu-Chuan yang mengaku sebagai Imam-Mahdi dan sekaligus jelmaan suci Nabi Isa AS.

Konsep Imam Mahdi juga diyakini oleh umat Hindu. Dalam kitab “Veda” yaitu salah satu kitab suci dalam agama hindu, tertulis suatu ayat yang berbunyi “ Pada penghujung (umur) dunia, setelah berlaku penyelewengan dimuka bumi (muncul) seorang pemimpin yang dipanggil Mansur. Dia akan menguasai seluruh dunia, dia amat dikenali orang baik yang beriman ataupun kafir, dan apa saja yang dimintanya, Tuhan akan tunaikan”.

Selasa, Juli 15, 2008

SEBUAH APHORISMA (I)

By : Langit Mularto
DIMANA AKU


Ketika setiap hela napas-Mu untuk ku
Dimana aku.....

Ketika setiap detak jantung-Mu untukku
Dimana aku....

Ketika setiap jejak langkah-Mu untukku
Dimana aku ......

Ketika dalam sunyi selalu saja namaku yang Kau sebut
Dimana aku .....

Ketika dalam majlis suci-Mu selalu saja namaku yang Kau ucap
Dimana aku .....

Ketika tahlil Kau kumandangkan
Ketika tahmid Kau perdengarkan
Ketika tasbih Kau ucakan
Dimana aku .....

Ketika lisan-Mu untukku
Ketika Rasa-Mu untukku
Ketika Indra-Mu untukku
Ketika cinta-Mu untukku
Tak ada aku di sisi-Mu



Oleh :Mularto
Tanah Kusir
15 Juli 08

Senin, Juli 07, 2008

Imam Mahdi : Konsep Teologi Akhir Zaman (I)

Orriginal by : Mularto
Dalil hadist shahih yang menyatakan akan munculnya Al-Mahdi cukup banyak. Beberapa diantara hadits tersebut terdapat hadits yang secara tersurat (eksplisit) menyebutkan kemunculan Imam Mahdi dan lebih banyak yang lain hanya mengungkapkan identifikasinya saja.
Diantara hadits tersebut adalah dari Abu said Al khudri ra. “Rasullulah bersabda : artinya pada masa akhir umatku akan muncul Al-Mahdi. Pada waktu itu Allah menurunkan banyak hujan, bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan banyak harta, ternak,umat menjadi mulia dan dia hidup selama tujuh atau delapan tahun.” (Mustadrak al-Hakim 4:557-558). Beberapa ulama menyatakan hadits ini shahih tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.

Kegaiban Imam Mahdi Syiah

Bagi syi’ah, Imam Mahdi adalah Muhammad bin Hassan Al-Askari yang gaib (tidak kelihatan oleh mata) tetepai senantiasa melihat kehidupan umatnya. Syiah menggunakan dalil Al-Quran surat At-taubah :105 artinya” Dan berkatalah ; “bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan mu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata”.
Dalam kitab Yanabiul Mawaddah (kitab hadits Syiah) terdapat hadits yang menyatakan kegaiban Al-Mahdi.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, beliau bertanya “Wahai Rasullulah, adakah Al-Qaim dari anak cucumu akan ghaib ? Rasullulah menjawab ,”Ya” lalu bersabda “ Wahai Jabir, ini adalah salah satu urusan dari urusan Allah dan salah satu rahasia dari rahasia Allah. Engkau jauhilah daripada sebuah praduga karena itu kufur” (Yanabiul Mawaddah, hal 489)
Syiah meletakkan Imam Mahdi sebagai Imam yang maksum, sama dengan rasul-rasul. Masih dalam kitab yang sama, Syeikh Sulaiman al-Balkhi (penyusun) menyebutkan sebuah hadits tentang kemaksuman Imam Syi’ah yang berjumlah dua belas (12) orang itu. Terjemahannya kira-kira begini “ Aku mendengar Rasullulah SAW dan ahlul baitnya berkata, “ pada malam aku mi’raj, Allah berfirman kepadaku : ‘lihatlah disebelah kanan Arasy. Lalu aku berpaling ke arahnya, maka aku dapati Ali, Fatimah, Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali dan Muhammad Al-Mahdi bin Hassan, seperti cakrawala yang berputarputar dikalangan mereka. Dan Dia berfirman : “ wahai Muhammad, mereka itulah hujjah-hujjahKu ke atas hamba-hambaKu, merekalah wasi-wasiku.” (Yanabiul mawaddah, hal 487).

Gerakan Babisme

Setelah seribu tahun menghilangnya Imam keduabelas, lahirlah gerakan Babisme 1260 H/1844 M. perkembangan gerakan ini didukung kepercayaan mesianisme Syi’ah. Bab (pintu) menuju Imam Mahdi diklaim oleh Sayyid Ali Muhammad. Namun tak jelas yang di maksud oleh Ali Muhammad, yang dimaksud Bab itu adalah pintu menuju Imam Mahdi atau Imam Mahdi itu sendiri.
Secara teologis, gerakan ini sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin saikisme. Bab pada awalnya diyakinkan oleh ramalan-ramalan mesianistik yang diajukan oleh Sayyid Kazim Rasti mengenai akan munculnya mesianis setelah meninggalnya Rasti. Doktrin ajaran Saikisme terlihat dalam kaitannya dengan masalah-masalah qiyamah dan pandangannya tentang watak dan sifat wahyu yang progresif

Rabu, Mei 28, 2008

MENJADI APA YANG SAYA DAPAT MENJADI


Setelah pengumuman verifikasi parpol tanggal 5 Juli ini, masa kampanye akan segera dimulai. Beda dengan pemilu terdahulu, masa kampenye dalam pemilu ini sekitar 9 bulan. masa kampanye ini, membuat saya latah seperti yang lain. Tetapi saya bukan paranormal yang mencoba meramal sesuatu yang masih dikantongi malaikat. Saya juga bukan pengamat politik yang menganalisa kekuatan elit-elit politik. Karena saya juga bukan maling, provokator, dan lainnya yang sedang mengolah otaknya untuk mencari sela dimana posisi yang tepat untuk mengisi "lowongan" pesta demokrasi ini. Pesta rakyat ini memang pada akhirnya melahirkan "naluri bisnis" untuk mengisi lowongan itu.


Lantas, saya harus menempatkan diri saya diposisi apa? Saya bukan maling yang tidak ingin mencoblos bos maling saya, dan saya juga bukan paranormal yang ingin mengintervensi tugas operasional malaikat. Seorang sahabat lantas mencoba masuk ke dimensi pikiran saya, " Sebagai seorang yang menginginkan perubahan, sebaiknya kamu merubah sistem dengan masuk ke sistem tersebut, kamu harus ikut saya masuk ke Partai ini". Pengaruh ini meskipun belum bisa mengaduk -aduk pikiran saya, tetapi telah mencoba mendahuluinya melalui sikap-sikap saya.


Saya ingin menjadi apa yang saya dapat menjadi, dan tidak untuk mengejar apa, yang pada tahap yang tidak benar adalah ilusi. Ini adalah tahap menjadi sadar akan apa yang mungkin bagi saya, dan tidak berfikir bahwa saya sadar akan apa yang saya tidak perduli.


Saya harus menenangkan apa yang harus ditenangkan, bersiap diri apa ynag harus disiapkan. Tidak berpikir bahwa saya tenang atau siaga dimana saya tidak dapat, atau bahwa saya perlu berbuat demikian ketika saya tidak memerlukannya.


Saya harus sadar akan tidak pentingnya saya berfikir bahwa ini penting, dan tidak ingin mencari-cari perasaan-perasaan penting itu sendiri. Dengan bersikap demikian, mungkin saya menjadi orang yang sederhana, karena saya memang harus begitu. Lagipula saya tidak ingin mengaplikasikan kerendahan hati untuk tujuan kebanggaan, bukan sebagai sarana perjalanan. Karena jika demikain saya memperburuk keadaan saya sebagi makhluk.


Saya hanya ingin seperti sedia kala. Yakni, mengangkat apa yang bernilai, kapan dan dimana itu bernilai, dan dengan siapa itu bernilai. Jadi, tidak meniru-niru orang lain karena segan, atau mencontoh bersifat meniru-niru.


Kesuksesan saya sebagai manusia dalam meningkatkan diri lebih tinggi hanya dapat diperoleh melalui usaha yang benar dan metode yang benar. tidak denagn sekedar memusatkan pada aspirasi atau pada kata-kata orang lain yang diarahkan kepada orang lain (Saya).


Bagaikan ada sebuah perangkap yang diletakan untuk unsur yang hina dalam diri saya, kalau saya memaksakan diri mengisi "lowongan" pesta kebudayaan itu secara langsung atau dengan rekomendasi yang dapat diterapkan bagi semuanya, atau menarik saya dengan kuat meskipun tidak benar.


Jakarta, 30-Mei-2008
Sumber Gambar www.bdz-bb.de

Senin, Mei 26, 2008

SU’MUM BUKMUN UMYUN

Nasib rakyat kita memamng tidak ada asuransinya. Pejabat setingkat lurah hingga pimpinan pusat pemerintahan bukan diproyeksikan untuk menjamin bahwa rakyat tidak kelaparan, tidak bodoh dan tidak sakit.

Meski Ibu-ibu rumah tangga berteriak tentang dampak kenaikan harga BBM, yang tersisa hanyalah serak. Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bukan Nabi Kesejahteraan yang selalu mencemaskan kalau-kalau dapur mereka tidak mengepul. Mereka tidak pernah bertanya apakah ibu-ibu punya beras untuk makan anak-anak? Punya uang untuk menyekolahkan anak-anak.

SBY-JK sebagai representasi pemerintah hanya memerintah, meminta, memarahi, mencurigai dan (kallau terdesak) memukuli. Sinonimnya adalah, jika mengingat mereka yang muncul bukan rasa terlindungi melainkan terancam. Kepada pak Polisi rakyat takut dankepada Tentara kami ngeri.

Bangsa ini terkenal karena budaya kepasrahannya. Sebagai pribadi-pribadi mereka memiliki budaya resistensi psikologis yang sangat tinggi untuk menelan kesengsaraan, untuk menyangga kecurangan-kecurangan sejarah, ketidakadilan politik dan berbagai jenis kelaparan dan kehausan hidup yang lain. Mereka tidak gampang merasa menderita, sehingga juga tidak banyak berargumentasi subyektif- apalagi obyektif – untuk melawan suatu keadaan.

Ibu-ibu dipelosok desa juga sukar dipengaruhi apalagi dibuat percaya bahwa ada struktur –struktur keadaan yang mungkin menjadi asal usul penderitaan mereka. Lebih sulit lagi meyakinkan bahwa ada perbedaan antara Takdir dengan kemalangan yang diakibatkan oleh suatu mekanisme sejarah.

Ketika menyimak detik-detik pengumuman kenaikan BBM oleh pejabat terkait, Ibu saya nyeletuk :” Kalau Ibu mendengarkan mereka-mereka ini berpidato, kalau Ibu menatap sorot mata dan urat wajah mereka, kalau Ibu mendengarkan kata-kata mereka yang tidak berjiwa sangat sukar bagi Ibu untuk menemukan di dalam diri Ibu kepercayaan bahwa orang-orang itu punya sikap jujur terhadap uang, punya tanggung jawab kepada moralitas, dan punya kesungguhan dalam menangani amanat kedaulatan dan aspirasi orang banyak”.

Belakangan, ucapan yang dinyatakan Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie adalah ucapan Pemerintah “ BLT sangat membantu rakyat, kenaikan BBM tak akan berpengaruh secara signifikan, apalagi yang telah menggunakan gas “ Ungkap Jusuf Kalla (Kompas 26/05)

Saking seringnya pemimpin kita ini menggelar rapat pimpinan partai, maka yang tercetus dari bibirnya adalah sudut pandang pimpinan partai, bukan sudut pandang kerakyatan. Mereka ini tidak memiliki kesanggupan untuk menjadi rakyat. Barang siapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap kerakyatan. Selebihnya, pelajaran tentang masalah teknis manajemen, organisasi dan lain sebagainya itu
learning by doing.

Kalau engkau seorang pimpinan rakyat, tumbuhkanlah telinga hatimu untuk mendengar suara dan bahasa rakyat. Karena rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu, karena merekalah yang memberimu mandat untuk mengurusi negeri ini yang berkorban untuk menggaji dan menyejahterakanmu.

Sebagai bangsa, kita ini sedang mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Rakyat saat ini sudah sangat terpaksa untuk percaya kepadamu. Mereka sudah terlalu lelah oleh todak terbatasnya beban yang harus mereka pikul. Maka, jika, dan hanya jika pernyataan kenaikan BBM adalah demi keadilan rakyat ternyata hanya trik psikologis, maka betapa beraninya engkau sedemikian jauh menyakiti hati rakyatmu.

Semoga pimpinan ini belum termasuk yang “ Su’mum, Bukmun, Umyun…..” bisu tuli dan bebal.


Rabu, Mei 07, 2008

Kembali ke Khittah


Selalu sulit menebak langkah Gus Dur. Baik langkah politis, Sosial, Budaya hingga masalah ekonomi. Makhluk asal jombang ini adalah orang yang paling cuek untuk dipahami ataupun tak dipahami.


Dibidang ekonomi misalnya, pada tahun 1990-an GusDur membuat gebrakan bidang ekonomi untuk umatnya di NU. Beliau bekerjasama dengan PT. Bank Summa mendirikan Bank Perkreditan Rakyat. Langkah ini banyak di singgung orang NU bahwa Gus Dur bukan kembali ke Khittah melainkan ke Khinthah (Perut).


Beberapa tahun belakangan ini pun, Gus Dur pernah mengusulkan sebuah wacana agar pemerintah mengemplang saja utang luar negerinya seraya menunjuk Argentina yang melakukan hal itu untuk membangun negaranya.


Atas berbagai keanehan tersebut Gus Dur sebagai “Khariqul Adah” – Kiai nyleneh- rupanya telah berani untuk menerima resiko dianggap berdosa secara politis, ekonomis, social, dan cultural.


Ketika konflik PKB berawal dengan dimintanya pengunduran diri Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah, banyak yang kesal kepadanya. Ia di sembur kiri-kanan, juga termasuk oleh komunitasnya sendiri –kiai-. Partai ini pun akhirnya di juluki Partai Kutub Besar, saking banyaknya DPC yang dibekukan.


Dimintanya berhenti seorang Ketua Dewan Tanfidziyah PKB bukan kali ini saja. Sebelumnya telah ada H. Mathori Abdul Jalil. Tokoh dari Jawa tengah ini pernah dijuluki anak emas Gus Dur. Sikap seaneh apapun dari Gus Dur, Mathori berusa untuk selalu memberi tafsiran yang positif. Bahkan ketika banyak kiai menentang terpilihnya Mathori untuk menjadi Ketua Dewan Tanfidziyah PKB, Gus Dur pun menjadi tamengnya “ini ketua partai, bukan Ketua NU. Kalau ketua NU memang sebaiknya dicarikan yang kiai”.


Pun diera kepemimpinan Alwi Shihab. Kebijakan Gus Dur tidak dapat dipahami oleh mayoritas kiai langitan yang dulu selalu mendampingi Gus Dur. Pendapat dan saran mereka tidak pernah lagi didengarkan Gus Dur. Bahkan tidak sekali dua kali kebijakannya sering bersebrangan dengan kehendak para kiai itu.


Ketika itu pertikaian dikalangan elite PKB menjadi tak menentu. Banyak yang menganalisa hal itu disebabkan karena sejatinya pertikaian waktu itu bersumber pada dua kekuatan inti PKB –Gus Dur dan para Kiai (langitan)-.


“Keanehan” sikap Gus Dur berlanjut ketika Ketua Dewan Tanfidziyah dipimpin oleh keponaknnya sendiri, Muhaimin Iskandar. Semula banyak yang menganggap Cak Imin tidak akan melawan seperti Alwi Shihab, Gus Ipul dan Mathori. Perlawanan Cak Imin konon juga didukung oleh sebagian kiai langitan yang telah lama jengkel dengan keputusan Gus Dur.
Sedikit flash back, ketika muktamar PBNU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur menyerukan agar NU kembali ke Khittah 1926. Gus Dur tergabung dalam Majlis 24, yang kemudian membentuk Tim 7 dengan tugas merumuskan konsep awal Khittah NU. Gus Dur sebagai ketua tim waktu itu. Hasil dari perumusan tersebut dilaporkan ke Majlis 24 yang kemudian dibawa ke Muktamar Situbondo. Draft tersebut menjadi keputusan Muktamar dan memilih Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU.


Gus Dur sangat konsisten dengan konsep Khittahnyadan membuat para Kiai yang berpolitik bingung. Gus Dur seolah sengaja ingin membuat jengkel para Kiai dengan kebijakan-kebijakan politiknya. Bisa saja dalam penilaian Gus Dur, berpolitik bukanlah medan juang Kiai.


Saat ini sebagian Kiai sudah mulai “muak” dengan kebijakan aneh Gus Dur. Mereka yang bersebrangan dengan Gus Dur menjadi “tersiksa”. Dalam beberapa perselisihan terdahulu, para Kiai selalu kalah dalam persidangan. Mereka juga tidak ingin bernasib sama dengan PKU nya Gus Sholah atau PNU nya Syukron Ma’mun. Gus Dur seolah sengaja membuat para kiai tidak nyaman dalam berpolitik dan kembali ke Khittah mereka yang mulia, tentu dengan media yang selalu dekat dengannya – Muhaimin Iskandar-.


Kini Gus yang “nyentrik” ini di damprat sana-sini. Ia langsung dikucilkan dari solidaritas umatnya sendiri karena sikap politisnya itu.


Mengutip ucapan Almarhum Nurcholish Madjid “ Kita Share gagasan besarnya dan abaikan renik-renik kecil yang susah dipahami”.


-Wallahu wa Gus Dur alam-

Selasa, Mei 06, 2008

Tukang Gorengan Yang Makin Tersudut


Baru baru ini saya mendapat email dengan subyek "Hati-Hati Beli Gorengan di Pinggir Jalan" dari salah seorang teman. secara redaksional isinya adalah sebagai berikut :

Subject: Hati2 beli gorengan di pinggir jalan
Menurut berita dibawah ini dapat kita ambil kesimpulan :
1.. Plastik menjadikan makanan lebih crispy. 2.. Jangan2 plastik dijadikan syarat sebagai "bumbu" tukang gorengan.
Saya pribadi pernah melihat tukang gorengan menuangkan minyak dengan plastiknya (tidak seluruh kantong plastik dimasukan), tapi hanya ½ nya, pada saat mobil berhenti karena macet, sambil bingung. Tidak taunya..o.pantesan gorengan yang dipinggir jalan enak, dan jika kita coba membuat gorengan dengan bumbu yang lebih banyak dirumah, rasanya tidak semantap yang beli dipinggir jalan.
Temenku punya pengalaman juga, waktu beli pecel lele di daerah Jakarta selatan, ternyata abangnya tidak menuangkan minyak goreng yang masih diplastik ke penggorengan. Tapi malah meletakkan minyak goreng yang masih dalam plastik ke dalam penggorengan panas. Sehingga plastiknya meleleh larut dalam minyak panas baru pecel lelenya digoreng
dan hasilnya.... ......... .......... ..pecel lelenya crispy!!!!!
serem yaaaaaaaaaa



Gw termasuk yg gak setuju dengan isi dari email ini, kenapa ? Jangan pernah kita ambil kesimpulan dari hanya melihat sekilas. Seolah kita tahu dalamnya padahal kita baru tahu kulitnya aja.
Gw pernah nongkrong di tukang gorengan, mereka lakukan itu karena mereka tuh males buka ikatan plastik wadah minyak tsb, jadi minyak dan plastiknya diceburkan dalam wajan panas supaya tuh plastik bisa sobek dan minyak tumpah diwajan tsb setelah itu plastik dibuang.jadi kalaupun plastiknya gak dibuang, plastik akan terkumpul meleleh jadi satu, bukan malah kesetiap gorengan. itu klo kita berpikir secara logis.
Jadi cukuplah kita jangan ikutan menyerang orang kecil.jangan kayak Trans TV dan Trans 7 yang bisanya bikin Berita investigasi yang menyudutkan orang kecil misalnya bikin berita zat pewarna di tukang cendol, tukang bakso, tukang semangka dan banyak lagi tukang yang lain, mereka gak berani nyerang koruptor, atau bikin investigasi kemana larinya Edi tansil, Syamsul nur salim, Marimutu sinivasan DLL.
Kasihan mereka itu gak punya Humas untuk menjelaskan/ memberi pembelaan terhadap posisi meraka yang selalu dipojokkan/dimarjinalkan.
Udah selalu diusir sama Pemda (satpol PP) truz kita ikutan bikin berita yang kita forward secara berantai yang menyudtkan posisi mereka. kasihan

Rabu, April 23, 2008

MEMENTO MORI*

*Ingat kamu harus mati
Oleh : Mularto


China sedang menjadi pusat perhatian belakangan ini. Bukan hanya sebagai tuan rumah pesta olahraga terbesar bernama olimpiade saja yang menjadi pokok bahasannya, tetapi juga menyangkut isu tentang Tibet. Belum habis masalah hubungannya dengan Taiwan Negara besar ini pun sedang “membangun” konflik baru dengan Tibet.

Saya takut deadline sejarah akan tiba, jika suatau dampak “bencana” tidak bisa diatasi dengan pendekatan apapun juga, karena semua pihak yang berkepentingan telah sama-sama membatu. Hendaknya dicegah jangan sapai ada darah yang muncrat. Sebuah adagium pun menjadi wajar terdengar “ Orang bisa rileks dan tanpa beban hanya terhadap kematian orang lain, dan juga bangsa lain, tetapi tidak dengan kematiannya sendiri”

Dalam banyak kasus, orang membunuh orang lain mungkin karena kematian besar maanfaatnya bagi kehidupan. Kematian politik, ekonomi, budaya bahkan jiwa di Afghanistan dan Irak serta banyak tempat lain, mungkin adalah sebuah distribusi kematian yang layak kita “syukuri”. Saham kita dalam distribusi kematian akhir-akhir ini meningkat pesat. Lalu apakah kita legal atas andil kematian itu? Kematian seolah menjadi sebuah budaya massa, budaya popular. Kematian direlukan demi kehidupan bersama, karena orang akhirnya harus mati. Meskipun kalai bisa jangan kita , keluarga kita, atau sahabat kita.

Begitu lucu dan begitu polosnya Amerika dengan lagu rutinnya tentang perdamaian dunia, demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Aspirasi ide domokrasi tersuar ketika orang memasuki dimensi benarnya orang banyak. Lahirlah pemimpin yang berbeda karakter dengan penguasa atau pemerintah.

Sejarah kematian adalah sebuah revolusi dan evolusi dari konsep-konsep dan mitos-mitos sejarah. Mengubah yang sunguh menjadi tak sungguh, tangis menjadi tawa, tragedy menjadi komedi. Ongkosnya berjuta nyawa, darah dan air mata.

Kita membagi sejarah menjadi pecahan-pecahan yang didasarkan menjadi keyakinan akan otoritarian. Ketika kemudian kita mendominasi kekuasaan kita angkatlah otoritarian itu menjadi hal yang umum, bertradisi dan terkonstitusikan yang kita beri baju demokrasi. Di dalam egoisme otoritarian, amat cepat kita menuding “hitam” atau dalam posisi lain kata hitam itu termdofikasi secara politis menjadi “ekstriminitas”, atau “sempalan”. Rupanya ada lapisan-lapisan yang lebih detail dari struktur penguasaan kelompok manusia atas kelompok manusia yang lain. Ketertindasan sebagai warga bumi, sebagai suku, sebagai minoritas, sebagai orang hitam, sebagai orang tertepikan dalam bebrbagai konteks.

Ternyata China sedang dalam proses mewujudkan semangat “nasionalismenya”. Ketika berprilaku bahwa ada suatu kelompok manusia yang didesak untuk makin tak memiliki kedaulatan atas buminya sendiri, serta atas hak-hak hidup mereka sendiri.

Saya pun tertarik untuk mengutip sebuah cerita metafor.

Pada suatu hari seorang sufi bernama Syibli melihat seorang penjaga memukul anjing dengan sebuah tongkat.
Anjing itu melolong karena menderita pukulan tadi.
Syibli berkata, “ oh anjing, mengapa ia telah memukulmu ?
Anjing berkata “ Ia tidak dapat tahan melihat yang lebih baik daripada dirinya”.

Minggu, April 20, 2008

ISLAM ITU ISLAM

Ribut-ribut tentang film fitna garapan politisi Belanda Geertz Wilders membuat Islam semakin resisten terhadap hal-hal seperti ini. Masalah film itu semakin menunjukkan bahwa dunia makin tidak beritikad baik terhadap Islam. Iklim inji juga menaburi banyak kaum muslimin sendiri.

Islam itu Islam. Islam tetap Islam, tak pernah bergeser sedikit pun dari kebenarannya. Silahkan orang diseluruh muka bumi membenci, mencurigai, atau bahkan meninggalkan Islam. Pengaruhilah dunia sehingga tidak seorangpun memeluk Islam. Hasilnya, Islam ya Islam. Islam tidak akan berubah sedikit pun karena disalah pahami. Islam tidak menjadi lebih tinggi karena dicintai, dan tak menjadi lebih rendah karena dibenci.

Silakan orang curiga terus kepada Islam. Silakan menyelewengkan, silakan memfitnah, silakan memanipulasi pada dirinya sendiri. Islam tidak mungkin berubah. Laa Raiba Fiih, Tidak ada keraguan padanya. Kalau orang ragu, itu urusan dialah. Islam tak rugi, Islam bebas dari untung rugi. Islam baqa kebenaranya. Manusia sajalah yang terikat untung rugi. Islam tak pernah tertawa karena dinikahi dan tak pernah menangis karena dicerai. Islam tak punya kepentingan terhadap manusia. Manusialah yang berkepentingan terhadapnya.

Sebelum film ini pun, di Indonesia pernah terjadi penyebaran angket mengenai tokoh idola. Penyebaran angket yang dilakukan oleh sebuah media diawal 90-an secara mengejutkan menempatkan Nabi Muhammad Saw. Diperingkat 11.

Untunglah nabi lahir kedunia tidak untuk dikagumi. Ia bukan terminal pemberhentian. Ia adalah jalan, Ia adalah cahaya dijalan menuju Allah. Nabi tidak bersedia digambar atau dipatungkan. Dengan kata lain Ia tidak mau diidolakan. Tuhanlah idola segala idola. Substansi dan manajemen 99 sifat-Nya kita tiru. Kita tidak punya kapasitas untuk mengenali-Nya. Oleh karena itu cukup kita “raba” lewat parallel-paralel-Nya, yakni struktur wujud alam semesta, struktur wujud kitab suci, serta wujud kemanusian ini sendiri.

Akan tetapi sebaiknya umat Islam sebaiknya mengantisipasi kasus tersebut sebagai “kritik tak sengaja” betapa introduksi dan sosialisasi kepribadian islam belum cukup efektif dan tajam, juga dikalangan umat muslimin sendiri.

Banyak dari kita umat Islam (termasuk saya) belum dapat memahami Islam secara komprehensif. Bandingkan dengan ilmuan Kristen di Barat seperti Karen Amstrong, Anemarie Schimmel atau Richard Nicholson dan Juldian Baldick yang telah memahami Islam dengan baik.

Contoh paling sederhana kita masih rebut tentang poligami. Padahal tidak semua yang ada dalam Al-Quran sebagai sebuah hukum. Poligami hanya sebuah pilihan. Anda ingin melakukannya, itu tidak dosa. Atau anda ingin meninggalkannya juga tidak bertentangan.Alquran hanya bercerita Rasul pernah melakukannya secara adil. Perkara kita ingin melakukannya, adakah ilmu kita telah sederajat dengan beliau? Betapa kurang ajarnya kita yang selalu menyandingkan kita sejajar dengan beliau.

Jadi orang seperti geertz widers yang tak paham Islam, adalah gambaran kita umat Islam kebanyakan yang belum mengerti keyakinannya sendiri. Kalau kita marah pada politisi itu, apakah tidak sebaiknya kita marah pada diri sendiri. Semoga Allah masih menganggap kita Islam meski tak paham Islam.

Wallahu Alam Bishawab.

Mularto

Senin, April 14, 2008

Atas Nama Pakaian, Atas Nama Estetika

Orriginally By. Mularto
Nabi Adam a.s ketika diturunkan ke bumi dalam keadaan telanjang. Begitupun kita. Setiap manusia lahir dengan kepolosan yang persis sama, tanpa sehelai penutup di tubuhnya. Namun dalam ketelanjangan tersebut, Nabi pertama di bumi ini berusaha mencari penutup, tujuannya jelas, manusia memiliki malu, manusia berakal budi sehingga menciptakan kreasi budaya tertua yang bernama pakaian.

Pakaian menjadi pelindung moral, dan harus diingat, pakaian sering muncul dan menjadi bagian dari pelindung nilai-nilai. Pakaian memelihara harga diri, kehormatan dan sebuah bentuk dharma tertinggi bagi manusia. Menanggalkan pakaian berarti mengecilkan fungsinya, mencampakkan keseimbangan hidup bersosial, membuang jauh ajaran-ajaran dan mengkerdilkan diri. Apakah masih ada arti yang terkandung pada diri kita, bila kehormatan dan harga diri terkubur ? Dengan demikian, berpakaian adalah konsep demokrasi mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi.

Bagi ketelanjangan, mungkin berpakaian pada dasarnya terlalu normative. Sehingga berpakaian lupa untuk menjadi benda yang lebih kreatif dan berakselerasi menembus ruang dan waktu untuk mewujudkan gagasan-gagasan innovative dari hal-hal yang banyak dilupakan dari suatu realita social dan realita gagasan yang dianggap sopan secara pribadi, namun tidak bagi social,hokum dan dilihat dari sudut nilai-nilai agama.

Ketelanjangan menjadi symbol sebuah penanggalan “pakaian kultur”. Ketelanjangan hadir tidak sebagai objek, tetapi sebagai subyek. Bahasa tubuh dan mimic si telanjang tidak di hadirkan sebagai keindahan ekspresi. Ekspesi yang bisa saja punya kekuatan provokatif sebagai obyek seks dalam ketelanjangan yang bisa saja menangalkan kekuasaan penikmatnya.

Pakaian dianggap subversi bagi estetika sehingga harus ditanggalkan. Pakaian adalah benda tanpa bentuk bagi estetika. Seperti halnya Orde baru memperlakukan ideology komunis. Produk peradaban ini terlalu tua untuk ikut campur dalam globalisasi dan modernitas estetika. Eksistensi pakaian sudah luntur. Mereka hanya berani muncu secara utuh dilapisan yang “ketinggalan zaman”, kaum pinggiran dan masyarakat conservative. Pakaian harus disensor dalam tampilan yang tidak utuh. Untuk masuk layar kamera produser, dunia showbiz atau dunia peradaban metropolitan pakaian harus mengubah jati dirinya.

Pakaian sebaiknya jangan selalu mengkhayalkan tentang kebanggaan, kebesaran dan kemulian bangsa timur. Bangsa dimana nilai-nilai agama tertanam. Pakaian sebaiknya menyingkir, karena ketimuran kita ternyata tidak cukup agung, anti globalisasi dan mungkin pakaian akan menjadi salah satu sumber penghambat “Asian Miracle”. Mungkin saja sekarang kita baru memulai menutup diri pada estetika global, karena kita bersikap conservative terhadap pakaian.

Pernahkah kita sebagai manusia melayang terbang ke dunia khayal untuk melihat bagaimana hasil perlakuan kita terhadap estetika ? Bagi yang pernah muncul pertanyaan, apakah estetika saat ini sedang bertepuk sebelah tangan atau merenung di sudut peradaban? Apakah otoritas kpemilikan manusia terhadap estetika menggembirakannya atau membuatnya bermuram durja ? Apakah dengan meyebut atas nama estetika dan menanggalkan pakaian kita membuatnya bergembira atau mungkin bersedih? Ataukah estetika hanya senang dimiliki segelintir orang dan mencampakkan masyarakat umum, sehingga estetika tidak bisa dimiliki oleh orang yang terlanjur ditakdirkan conservative ?

Jika begitu, beruntung sekali pakaian. Dia tidak terpengaruh dengan itu semua. Pakaian terlepas dari stress peradaban. Pakaian bahagia masyarakat umum masih menganggap bagian dari kehidupannya. Manusia masih men”dewa”kan dan memuliakannya. Apapun tanggapan manusia tentang estetika dan pakaian, tak membuatnya jengah dan segan. Alih-alih mereka sedang berasyik-masyhuk menembus ekstase tertinggi di rumah kiai Sebastian Bach mendengarkan alunan musik klasik sambil mencoba meraba lukisan Nyonya Monalisa yang anggun dan menyertakan kedua benda yang diributkna tersebut.

Suprastruktur hukum bersama birokrasi sedang dituntut merumuskan cara berpakaian yang baik dan benar melalui konstitusi. Bahkan kita sebagai makhlul dewasa ini masih perlu diajarkan cara berpakaian yang baik seolah-olah untuk berpakaian saja perlu pembelajaran yang sangat lamaa dan kalau bisa dibuatkan Departement Pakaian dan Estetika yang di merger dengan Departemen Ketertiban Umum.

Tetapi, sekali lagi pakaian harus mengalah jika estetika menyatakan ini adalah sebuah realitas social. Estetika berargumen “kami hanya merekonstruksinya menjadi sebuah drama yang lebih interaktiv, menjadi konstruksi-konstruksi pesan yang mensosialisasikan barang konsumsi kami". Pakaian tak boleh munafik untuk menolak hal yang jamak terjadi di dunia metropolis ini.
Atas nama estetika, kami saat ini membatasi sudut pandang mata anda, daya jangkau dengar telinga anda dan menyumbat hati nurani anda. Jika anda menganggap estetika tidak bermoral dan merendahkan diri penggunanya. Memang Tuhan pun yang memberikan rejeki dan kenikmatan pendengaran dan penglihatan, menghimbau agar membatasi penglihatan dan pendengaran kita. Sekali lagi, Tuhan hanya menghimbau, selebihnya terserah anda

Jumat, April 11, 2008

SUARA


Originally by Mularto

Di instansi pemerintah, rumah sakit, pelosok desa hingga pelabuhan penyebrangan antar pulau, manusia Indonesia yang berumur lebih dari 17 tahun sibuk beragresi melakukan euphoria politik. Penjadwalan kembali waktunya pun menjadi tak lazim, yang biasa mudik dilakukan saat hari raya, maka pada pesta demokrasi ini mereka tidak hanya mudik, tetapi juga “hilir” seperti yang dilakukan di Al-Zaitun dulu.

Entah jenis makhluk aneh macam apa “Suara” itu gerangan! Apakah mungkin potongan-potongan unsure alam yang diramu dengan beberapa komponen rahasia ? yang jelas suara menjadi makhluk yang sombong kelak di 2009. Ia tak hanya mencampakkan kerapatan udara sebagai medianya dan memilih teman baru melalui pooling sms dan kertas suara serta berbagai perangkat media lain.
Tetapi sebaiknya makhluk ini jangan terlalu sombong, setidaknya teori Lasswell, Sharon&Weaver dan teman-temannya masih terbukti sampai saat ini, bahwa “Suara” perlu makhluk lainnya, salah satunya media. Meskipun “Suara” dibutuhkan dari Pak RT sampai Presiden, tetapi “Suara” tidak akan menjadi apapun tanpa kehadiran media suara.
“Suara” boleh saja menjadi “tuhan” (dengan t kecil) baru, tetapi makhluk ini butuh “malaikat” penyampai pesan. Meskipun belakangan ini suara dan medianya sedang ingin melakukan konspirasi untuk tidak lagi membela kepentingan sang komunikator.

Seharusnya “Suara” lebih kenal pemiliknya, lebih sayang, lebih berpihak dan lebih mengerti seluk beluk isi rongga dada yang setiap hari ngedumel. Kadang di negeri ini “Suara” kita agak aneh. Suara yang sudah terlanjur terlepas dari raga kita, sudah lupa dengan kita, sehingga tidak lagi berpihak pada kita, bahkan “Suara” tidak kenal kita sebagai pemiliknya.
Apakah dengan begitu, sebaiknya suara kita kutuk saja menjadi batu, seperti legenda Malin kundang yang tidak lagi mengenal ibundanya ?

“Suara” lebih memilih membela golongan keluarga dan pribadi yang hanya kita titipi “Suara”. Ingat, orang tua hanya di titipi anak-anak oleh Tuhan, jadi apa kesanggupan orang tua untuk mangkir dari titipan ini. Tuhan sebagai pemilik lebih berhak atas titipan ini. Tidak satu pun yang mempunyai otoritas atas kepemilikan barang titipan kecuali sang pemilik.
“Suara” dapat mengubah manusianya menjadi religius atau bahkan musyrik sekalipun. Pagi,siang, sore hungga malam manusia dipaksa bertemu dengan Penciptanya. Meskipun ini di luar kebiasaan. Dalam 5 kali waktu sholat mereka minta tambahan “Suara”. Mereka ini yang menganggap “Suara” rakyat “Suara” Tuhan. Hingga mereka berharap Tuhan campur tangan memberi “Suara”.

Akhir pekannya dibuat untuk mengunjungi rumah singgah, panti asuhan dan pondok-pondok kumuh di bantaran sungai. Sementara awal pekan saatnya membonceng seorang kyai popular sejuta umat. Betul, Tidak ? atau membuntuti penyanyi dangdut agar terpampang wajah mereka di infotaiment berjuta pemirsa.

Meski ada juga yang rela mengambil jalan pintas, lebih senang menytembah “portal” karena harus merunduk untuk cara lebih cepat dengan modal ayam hitam, telur hitam, kambing hitam dan minimal motor bebek hitam. Mereka yang memilih jalan ini akan mendapatkan satu paket bola api terbang, kehancuran lawandan kesengsaraan rakyat, ditambah paket hemat menjadi miliarder baru.

Hakikat suara hanya dapat kamu temukan dalam sepi, dalam sunyi. Jadi jangan marah kalau suara tidak lagi didengar, karena pemimpin kita tidak pernah nyepi dan pergi ketempat sunyi sekedar instropeksi diri atau tafakur. Mereka lebih senang keramaian, karena memang itu tujuan mereka. Ramai klien untuk menjamin usaha mereka bila pensiun, ramai penjilat yang setiap hari memberi petunjuk, ramai dukungan untuk memperpanjang kontrakan di singgasana kekuasaan dan ramai lainnya yang membuat sepi ekonomi kaum marjinal, sepi prestasi anak didik dan athlete, sepi kecendikiaan para idealis dan berakhir pada sepi kritik demi stabilitas.
Jangan aneh juga, kalau para pemilik “Suara” sering mendengar filsuf Ludwig witgenstent dalam Tractatus logico Philosophicus, “What can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must a pass over in silence”. Mereka lebih senang aksi “liar” di jalan dengan perlengkapan theatrical untuk mendukung dan menyatakan bahwa suara itu berwujud serta menolak menyalurkan ejakulasi suaranya di bilik-bilik suara karena mereka tak punya cukup syahwat untuk mencapai ereksi lebih dalam bercinta dengan calon-calon pemimpinnya ini.
Singkatnya, “Suara” bisa menjadi makhluk yang jahat, ketika 49 persen harus termodifikasi memarjinlakna diri secara politis, ekonomi social dan budaya, demi tambahan 2 persen berikutnya yang belum tentu legal proses pengaisan suaranya.

Tetapi, apakah sepanjang sejarah negeri ini “Suara” pernah baik dan berpihak pada rakyat yang sering termarjinalkan secara ekonomi, politik, social, budaya serta komponen kehidupan lainnya tersebut ?????

Minggu, April 06, 2008

Untitled

Nabi Adam As. Di beri tugas yang sangat berat oleh Tuhan di muka bumi, sebagai khalifah, tidak menjadi insan atau pun Abdullah. “Beban” ini juga harus diteruskan oleh manusia sesudahnya. Jika saja Nabi Adam juga manusia sesudahnya diberi tugah sbg insane, maka ia hanya sibuk pada eksistensi pribadinya sebagai manusia dan hal-hal lain tidak akan tampak lebih besar dari kepentingan individunya. Sedangkan kalau beliau ditugasi sebagai Abdullah atau hamba Allah, ia akan sibuk menghitung jumlah kepatuhannya terhadap Tuhan, tidak bersosialisasi dengan masyarakat dan dekat secara pribadi dengan Tuhannya.
Banyak dari kita, tidak pernah meninggalkan sholat, Puasa, dan berhaji sekedar untuk menutupi kelalaiannya terhadap tetangganya yang lapar. Sadarkah kita disini kita di uji dalam menentukan pilihan menghimpun pahala-pahala pribadi atau mendarma baktikan diri bagi proses social.
Cara-cara politis untuk menghindarkan manusia dari api neraka misalnya memakmurkan rakyat, sehingga membuat banyak orang tak menjadi penggangur dan “terpaksa” mencuri, membuat Good Governance dengan system pemerintahan terkontrol, sehingga tidak mengkondisikan pejabat untuk korup

Rabu, April 02, 2008

KAMPANYE ANTI KELAPARAN DAN GIZI BURUK

Maraknya kelaparan dan gizi buruk yang menimpa rakyat miskin di berbagai daerah, utamanya Makassar sebagai pemicu awal kasus ini, menjadikan TPC tergerak untuk melakukan gerakan sosial menggalang dana kemanusiaan.
Aksi TPC peduli rakyat untuk anti kelaparan dan gizi buruk akan dilakukan dan menjadi isu sentral sepanjang tahun 2008. Awal kegiatan kemanusiaan ini untuk pertama kali difokuskan pada masyarakat Makassar yang tertimpa kelaparan dan gizi buruk. Kegiatan di Makassar akan dilaksanakan pada 29 Maret 2008. Setelah itu, kegiatan akan dilanjutkan dengan fokus di daerah Surabaya dan Jawa Timur khususnya serta daerah lain yang membutuhkan bantuan.
Bagi anda yang berkeinginan turut serta dan berpartisipasi dalam kegiatan ini, yang perlu anda lakukan adalah
buka mata dan hati,
Jangan sampai sekitar kita menderita gizi buruk dan kelaparan, Jika ada, maka yang perlu anda lakukan,
ulurkan tangan anda, dengan cara:
keluarkan tenaga dan segera bantu untuk menolong mereka.
keluarkan dana jika memang tak terlalu besar persolannya. Jika tak sanggup, segera laporkan pada pihak yang berwenang, pejabat RT, RW dan kelurahan setempat. Jika satu kampung tak ada yang mampu, segera laporkan ke dinas sosial setempat atau LSM yang peduli dengan keadaan anda dan kampung anda. Apabila anda dan kampung anda terbebas dari ancaman kelaparan dan gizi buruk, maka yang perlu anda lakukan
kerahkan pikiran untuk membantu saudara-saudara kita yang kelaparan dengan berbagai media yang ada, radio, tv, media cetak dan juga internet (blog).

Senin, Maret 31, 2008

Saving our Beautiful Earth

Oh, No! Our earth is in trouble, and we've got to save it!

26 things we can do to help our self:
Turn off lights.
Turn off other electric things, like TVs, stereos, and radios when not in use.
Use rechargable batteries.
Do things manually instead of electrically, like open cans by hand.
Use fans instead of air conditioners.
In winter, wear a sweater instead of turning up your thermostat.
Insulate your home so you won't be cold in winter.
Use less hot water.
Whenever possible, use a bus or subway, or ride your bike or walk.
Try to buy organic fruits and vegetables if you're concerned about pesticides. (Organic food is grown without man-made fertilizers and/or pesticides).
Don't waste products made from forest materials.
Use recycled paper and/or recycle it. Reuse old papers.
Don't buy products that may have been made at the expense of the rainforest.
Support products that are harvested from the rainforest but have not cut down trees to get it.
Plant trees, espessially if you have cut one down.
Get other people to help you in your cause. Make and/or join an organization.
Avoid products that are used once, then thrown away.
Buy products with little or no packaging.
Encourage your grocery store sell environmentally friendly cloth bags for people to use when they shop, or bring your own.
REDUCE, REUSE, & RECYCLE.
Compost.
Buy recycled products.
Don't buy pets taken from the wild.
If you have a good zoo nearby, (if the animals are healthy and the zoo takes care of them), support it! Espessially if they help breed endangered animals.
Don't buy products if animals were killed to make it.
Cut up your six-pack rings before throwing them out.


Save Our Planet : Save Our self