Rabu, Mei 28, 2008

MENJADI APA YANG SAYA DAPAT MENJADI


Setelah pengumuman verifikasi parpol tanggal 5 Juli ini, masa kampanye akan segera dimulai. Beda dengan pemilu terdahulu, masa kampenye dalam pemilu ini sekitar 9 bulan. masa kampanye ini, membuat saya latah seperti yang lain. Tetapi saya bukan paranormal yang mencoba meramal sesuatu yang masih dikantongi malaikat. Saya juga bukan pengamat politik yang menganalisa kekuatan elit-elit politik. Karena saya juga bukan maling, provokator, dan lainnya yang sedang mengolah otaknya untuk mencari sela dimana posisi yang tepat untuk mengisi "lowongan" pesta demokrasi ini. Pesta rakyat ini memang pada akhirnya melahirkan "naluri bisnis" untuk mengisi lowongan itu.


Lantas, saya harus menempatkan diri saya diposisi apa? Saya bukan maling yang tidak ingin mencoblos bos maling saya, dan saya juga bukan paranormal yang ingin mengintervensi tugas operasional malaikat. Seorang sahabat lantas mencoba masuk ke dimensi pikiran saya, " Sebagai seorang yang menginginkan perubahan, sebaiknya kamu merubah sistem dengan masuk ke sistem tersebut, kamu harus ikut saya masuk ke Partai ini". Pengaruh ini meskipun belum bisa mengaduk -aduk pikiran saya, tetapi telah mencoba mendahuluinya melalui sikap-sikap saya.


Saya ingin menjadi apa yang saya dapat menjadi, dan tidak untuk mengejar apa, yang pada tahap yang tidak benar adalah ilusi. Ini adalah tahap menjadi sadar akan apa yang mungkin bagi saya, dan tidak berfikir bahwa saya sadar akan apa yang saya tidak perduli.


Saya harus menenangkan apa yang harus ditenangkan, bersiap diri apa ynag harus disiapkan. Tidak berpikir bahwa saya tenang atau siaga dimana saya tidak dapat, atau bahwa saya perlu berbuat demikian ketika saya tidak memerlukannya.


Saya harus sadar akan tidak pentingnya saya berfikir bahwa ini penting, dan tidak ingin mencari-cari perasaan-perasaan penting itu sendiri. Dengan bersikap demikian, mungkin saya menjadi orang yang sederhana, karena saya memang harus begitu. Lagipula saya tidak ingin mengaplikasikan kerendahan hati untuk tujuan kebanggaan, bukan sebagai sarana perjalanan. Karena jika demikain saya memperburuk keadaan saya sebagi makhluk.


Saya hanya ingin seperti sedia kala. Yakni, mengangkat apa yang bernilai, kapan dan dimana itu bernilai, dan dengan siapa itu bernilai. Jadi, tidak meniru-niru orang lain karena segan, atau mencontoh bersifat meniru-niru.


Kesuksesan saya sebagai manusia dalam meningkatkan diri lebih tinggi hanya dapat diperoleh melalui usaha yang benar dan metode yang benar. tidak denagn sekedar memusatkan pada aspirasi atau pada kata-kata orang lain yang diarahkan kepada orang lain (Saya).


Bagaikan ada sebuah perangkap yang diletakan untuk unsur yang hina dalam diri saya, kalau saya memaksakan diri mengisi "lowongan" pesta kebudayaan itu secara langsung atau dengan rekomendasi yang dapat diterapkan bagi semuanya, atau menarik saya dengan kuat meskipun tidak benar.


Jakarta, 30-Mei-2008
Sumber Gambar www.bdz-bb.de

Senin, Mei 26, 2008

SU’MUM BUKMUN UMYUN

Nasib rakyat kita memamng tidak ada asuransinya. Pejabat setingkat lurah hingga pimpinan pusat pemerintahan bukan diproyeksikan untuk menjamin bahwa rakyat tidak kelaparan, tidak bodoh dan tidak sakit.

Meski Ibu-ibu rumah tangga berteriak tentang dampak kenaikan harga BBM, yang tersisa hanyalah serak. Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bukan Nabi Kesejahteraan yang selalu mencemaskan kalau-kalau dapur mereka tidak mengepul. Mereka tidak pernah bertanya apakah ibu-ibu punya beras untuk makan anak-anak? Punya uang untuk menyekolahkan anak-anak.

SBY-JK sebagai representasi pemerintah hanya memerintah, meminta, memarahi, mencurigai dan (kallau terdesak) memukuli. Sinonimnya adalah, jika mengingat mereka yang muncul bukan rasa terlindungi melainkan terancam. Kepada pak Polisi rakyat takut dankepada Tentara kami ngeri.

Bangsa ini terkenal karena budaya kepasrahannya. Sebagai pribadi-pribadi mereka memiliki budaya resistensi psikologis yang sangat tinggi untuk menelan kesengsaraan, untuk menyangga kecurangan-kecurangan sejarah, ketidakadilan politik dan berbagai jenis kelaparan dan kehausan hidup yang lain. Mereka tidak gampang merasa menderita, sehingga juga tidak banyak berargumentasi subyektif- apalagi obyektif – untuk melawan suatu keadaan.

Ibu-ibu dipelosok desa juga sukar dipengaruhi apalagi dibuat percaya bahwa ada struktur –struktur keadaan yang mungkin menjadi asal usul penderitaan mereka. Lebih sulit lagi meyakinkan bahwa ada perbedaan antara Takdir dengan kemalangan yang diakibatkan oleh suatu mekanisme sejarah.

Ketika menyimak detik-detik pengumuman kenaikan BBM oleh pejabat terkait, Ibu saya nyeletuk :” Kalau Ibu mendengarkan mereka-mereka ini berpidato, kalau Ibu menatap sorot mata dan urat wajah mereka, kalau Ibu mendengarkan kata-kata mereka yang tidak berjiwa sangat sukar bagi Ibu untuk menemukan di dalam diri Ibu kepercayaan bahwa orang-orang itu punya sikap jujur terhadap uang, punya tanggung jawab kepada moralitas, dan punya kesungguhan dalam menangani amanat kedaulatan dan aspirasi orang banyak”.

Belakangan, ucapan yang dinyatakan Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie adalah ucapan Pemerintah “ BLT sangat membantu rakyat, kenaikan BBM tak akan berpengaruh secara signifikan, apalagi yang telah menggunakan gas “ Ungkap Jusuf Kalla (Kompas 26/05)

Saking seringnya pemimpin kita ini menggelar rapat pimpinan partai, maka yang tercetus dari bibirnya adalah sudut pandang pimpinan partai, bukan sudut pandang kerakyatan. Mereka ini tidak memiliki kesanggupan untuk menjadi rakyat. Barang siapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap kerakyatan. Selebihnya, pelajaran tentang masalah teknis manajemen, organisasi dan lain sebagainya itu
learning by doing.

Kalau engkau seorang pimpinan rakyat, tumbuhkanlah telinga hatimu untuk mendengar suara dan bahasa rakyat. Karena rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu, karena merekalah yang memberimu mandat untuk mengurusi negeri ini yang berkorban untuk menggaji dan menyejahterakanmu.

Sebagai bangsa, kita ini sedang mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Rakyat saat ini sudah sangat terpaksa untuk percaya kepadamu. Mereka sudah terlalu lelah oleh todak terbatasnya beban yang harus mereka pikul. Maka, jika, dan hanya jika pernyataan kenaikan BBM adalah demi keadilan rakyat ternyata hanya trik psikologis, maka betapa beraninya engkau sedemikian jauh menyakiti hati rakyatmu.

Semoga pimpinan ini belum termasuk yang “ Su’mum, Bukmun, Umyun…..” bisu tuli dan bebal.


Rabu, Mei 07, 2008

Kembali ke Khittah


Selalu sulit menebak langkah Gus Dur. Baik langkah politis, Sosial, Budaya hingga masalah ekonomi. Makhluk asal jombang ini adalah orang yang paling cuek untuk dipahami ataupun tak dipahami.


Dibidang ekonomi misalnya, pada tahun 1990-an GusDur membuat gebrakan bidang ekonomi untuk umatnya di NU. Beliau bekerjasama dengan PT. Bank Summa mendirikan Bank Perkreditan Rakyat. Langkah ini banyak di singgung orang NU bahwa Gus Dur bukan kembali ke Khittah melainkan ke Khinthah (Perut).


Beberapa tahun belakangan ini pun, Gus Dur pernah mengusulkan sebuah wacana agar pemerintah mengemplang saja utang luar negerinya seraya menunjuk Argentina yang melakukan hal itu untuk membangun negaranya.


Atas berbagai keanehan tersebut Gus Dur sebagai “Khariqul Adah” – Kiai nyleneh- rupanya telah berani untuk menerima resiko dianggap berdosa secara politis, ekonomis, social, dan cultural.


Ketika konflik PKB berawal dengan dimintanya pengunduran diri Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah, banyak yang kesal kepadanya. Ia di sembur kiri-kanan, juga termasuk oleh komunitasnya sendiri –kiai-. Partai ini pun akhirnya di juluki Partai Kutub Besar, saking banyaknya DPC yang dibekukan.


Dimintanya berhenti seorang Ketua Dewan Tanfidziyah PKB bukan kali ini saja. Sebelumnya telah ada H. Mathori Abdul Jalil. Tokoh dari Jawa tengah ini pernah dijuluki anak emas Gus Dur. Sikap seaneh apapun dari Gus Dur, Mathori berusa untuk selalu memberi tafsiran yang positif. Bahkan ketika banyak kiai menentang terpilihnya Mathori untuk menjadi Ketua Dewan Tanfidziyah PKB, Gus Dur pun menjadi tamengnya “ini ketua partai, bukan Ketua NU. Kalau ketua NU memang sebaiknya dicarikan yang kiai”.


Pun diera kepemimpinan Alwi Shihab. Kebijakan Gus Dur tidak dapat dipahami oleh mayoritas kiai langitan yang dulu selalu mendampingi Gus Dur. Pendapat dan saran mereka tidak pernah lagi didengarkan Gus Dur. Bahkan tidak sekali dua kali kebijakannya sering bersebrangan dengan kehendak para kiai itu.


Ketika itu pertikaian dikalangan elite PKB menjadi tak menentu. Banyak yang menganalisa hal itu disebabkan karena sejatinya pertikaian waktu itu bersumber pada dua kekuatan inti PKB –Gus Dur dan para Kiai (langitan)-.


“Keanehan” sikap Gus Dur berlanjut ketika Ketua Dewan Tanfidziyah dipimpin oleh keponaknnya sendiri, Muhaimin Iskandar. Semula banyak yang menganggap Cak Imin tidak akan melawan seperti Alwi Shihab, Gus Ipul dan Mathori. Perlawanan Cak Imin konon juga didukung oleh sebagian kiai langitan yang telah lama jengkel dengan keputusan Gus Dur.
Sedikit flash back, ketika muktamar PBNU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur menyerukan agar NU kembali ke Khittah 1926. Gus Dur tergabung dalam Majlis 24, yang kemudian membentuk Tim 7 dengan tugas merumuskan konsep awal Khittah NU. Gus Dur sebagai ketua tim waktu itu. Hasil dari perumusan tersebut dilaporkan ke Majlis 24 yang kemudian dibawa ke Muktamar Situbondo. Draft tersebut menjadi keputusan Muktamar dan memilih Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU.


Gus Dur sangat konsisten dengan konsep Khittahnyadan membuat para Kiai yang berpolitik bingung. Gus Dur seolah sengaja ingin membuat jengkel para Kiai dengan kebijakan-kebijakan politiknya. Bisa saja dalam penilaian Gus Dur, berpolitik bukanlah medan juang Kiai.


Saat ini sebagian Kiai sudah mulai “muak” dengan kebijakan aneh Gus Dur. Mereka yang bersebrangan dengan Gus Dur menjadi “tersiksa”. Dalam beberapa perselisihan terdahulu, para Kiai selalu kalah dalam persidangan. Mereka juga tidak ingin bernasib sama dengan PKU nya Gus Sholah atau PNU nya Syukron Ma’mun. Gus Dur seolah sengaja membuat para kiai tidak nyaman dalam berpolitik dan kembali ke Khittah mereka yang mulia, tentu dengan media yang selalu dekat dengannya – Muhaimin Iskandar-.


Kini Gus yang “nyentrik” ini di damprat sana-sini. Ia langsung dikucilkan dari solidaritas umatnya sendiri karena sikap politisnya itu.


Mengutip ucapan Almarhum Nurcholish Madjid “ Kita Share gagasan besarnya dan abaikan renik-renik kecil yang susah dipahami”.


-Wallahu wa Gus Dur alam-

Selasa, Mei 06, 2008

Tukang Gorengan Yang Makin Tersudut


Baru baru ini saya mendapat email dengan subyek "Hati-Hati Beli Gorengan di Pinggir Jalan" dari salah seorang teman. secara redaksional isinya adalah sebagai berikut :

Subject: Hati2 beli gorengan di pinggir jalan
Menurut berita dibawah ini dapat kita ambil kesimpulan :
1.. Plastik menjadikan makanan lebih crispy. 2.. Jangan2 plastik dijadikan syarat sebagai "bumbu" tukang gorengan.
Saya pribadi pernah melihat tukang gorengan menuangkan minyak dengan plastiknya (tidak seluruh kantong plastik dimasukan), tapi hanya ½ nya, pada saat mobil berhenti karena macet, sambil bingung. Tidak taunya..o.pantesan gorengan yang dipinggir jalan enak, dan jika kita coba membuat gorengan dengan bumbu yang lebih banyak dirumah, rasanya tidak semantap yang beli dipinggir jalan.
Temenku punya pengalaman juga, waktu beli pecel lele di daerah Jakarta selatan, ternyata abangnya tidak menuangkan minyak goreng yang masih diplastik ke penggorengan. Tapi malah meletakkan minyak goreng yang masih dalam plastik ke dalam penggorengan panas. Sehingga plastiknya meleleh larut dalam minyak panas baru pecel lelenya digoreng
dan hasilnya.... ......... .......... ..pecel lelenya crispy!!!!!
serem yaaaaaaaaaa



Gw termasuk yg gak setuju dengan isi dari email ini, kenapa ? Jangan pernah kita ambil kesimpulan dari hanya melihat sekilas. Seolah kita tahu dalamnya padahal kita baru tahu kulitnya aja.
Gw pernah nongkrong di tukang gorengan, mereka lakukan itu karena mereka tuh males buka ikatan plastik wadah minyak tsb, jadi minyak dan plastiknya diceburkan dalam wajan panas supaya tuh plastik bisa sobek dan minyak tumpah diwajan tsb setelah itu plastik dibuang.jadi kalaupun plastiknya gak dibuang, plastik akan terkumpul meleleh jadi satu, bukan malah kesetiap gorengan. itu klo kita berpikir secara logis.
Jadi cukuplah kita jangan ikutan menyerang orang kecil.jangan kayak Trans TV dan Trans 7 yang bisanya bikin Berita investigasi yang menyudutkan orang kecil misalnya bikin berita zat pewarna di tukang cendol, tukang bakso, tukang semangka dan banyak lagi tukang yang lain, mereka gak berani nyerang koruptor, atau bikin investigasi kemana larinya Edi tansil, Syamsul nur salim, Marimutu sinivasan DLL.
Kasihan mereka itu gak punya Humas untuk menjelaskan/ memberi pembelaan terhadap posisi meraka yang selalu dipojokkan/dimarjinalkan.
Udah selalu diusir sama Pemda (satpol PP) truz kita ikutan bikin berita yang kita forward secara berantai yang menyudtkan posisi mereka. kasihan