Jumat, Desember 30, 2011

Aku Ingin Memelukmu.

By : Langit Mularto

Aku ingin memelukmu dalam diam
Yang menyenandungkan lagu shalawat terpendam
Hingga kita lemah di ujung senja yang padam
Namun cinta tetap mengalun menganyam

Aku ingin memelukmu dalam tawa
Yang menggelembungkan bahagia kita
HIngga kita terkekeh dalam kerapuhan masa tua
Namun cinta kan tetap ada

Aku ingin memelukmu di kala sepi
Bersenandung Alif, Ba,Ta sambil mengaji
Hingga kita ringkih menatap pelangi
Namun cinta tetap di sini

Aku ingin memelukmu dalam angkara
Yang melumat dan meluluh-lantakkan jasad kita
Hingga nyawa terberai dari raga
Namun cinta kan tetap ada.

Senin, Desember 12, 2011

DEMOKRATISASI ROKOK

By : Langit Mularto


Wak Haji Abdullah, seorang kiai desa yang namanya tak setenar A'a Gym dan hanya berkecimpung sebagai marbot masjid -entah masjid NU atau Muhammadiyah- ternyata mempunyai pengalaman spritual yang mungkin sama dengan Gus Dur. Ketika seorang keponakannya mengaji dan mengajak berdiskusi tentang berbagai masalah sepele sampai rumit, Wak Haji dengan enteng menjawab seraya berseloroh gaya Gus Dur kiai panutannya itu "Begitu aja kok repot."

Pertanyaan-pertanyaan yang sering terlontar seperti ; hukum pacaran, melihat gadis tetangga sebelah dengan pakaian minim, sampai mencuri sesuatu demi anak yang lapar tidak luput ditanyakan keponakan itu. Tak lupa Wak Haji menjawabnya dengan diakhiri kalimat sakti tadi. Mungkin Wak Haji tadi ingin mengikuti jejak idolanyaitu sebagai kiai yang sulit dipahami, sehingga jawabannya pun nyaris tak dipahami orang sekelilingnya apalagi keponakannya yang masih bau kencur.

Pada suatu hari sang keponakan bertandang ke rumah Wak haji sambil mengumpat, mengutuk dan ngegerundel. Wak haji tentu bingung, "wong ga ngerti masalahnya kok digerundeli."
Hingga sang keponakan bercerita menumpahkan kekesalannya. "Begini Wak, masak tadi di mobil orang merokok seenaknya, padahal dia sudah tahu ada tanda dilarang merokok di depan matanya." Ujar sang keponakan berapi-api seperti sedang menyaingi pidato Bung Tomo dan Bung Karno itu. "Emang di dunia ini dia hidup sendiri? emang asap rokoknya ditelan sendiri? atau jangan dia sudah tidak punya jantung ya, Wak?" sambung sang ponakan.
Diberondong pertanyaan seperti itu, Wak Haji dengan santai menjawab. "Orang merokok dengan duitnya sendiri, mulutnya sendiri kok dimarahi. Merokok itukan bagi sebagaian orang nikmat. Kata iklan bikin hidup lebih hidup, meskipun tanpa merokok kita bisa hidup melebihi orang yang merokok."

"Katanya merokok itu makruh, kok masih banyak yang mendekati bahkan menghisap rokok ya Wak?"
"Kata siapa merokok makruh? apakah dengan merokok dapat mengganggu imanmu, lantas kamu lupa untuk syahadat? lupa dengan shalat? emoh naik haji kalo kaya raya nanti? jangankan saking asyiknya merokok kamu bisa lupa sama penciptamu Yang Maha Gede dan Maha tidak butuh rokok itu. Kalau sudah sampai tahap ini merokok itu haram, mungkin sama haramnya dengan syirik, karena jika merokok sudah sampai tahap ini, kita merasa kenikmatan hanya datang dari rokok dan tidak ada yang nikmat selain rokok. Ini bahaya nanti Dji Sam soe kita anggap sebagai tuhan. Marlboro bisa dianggap Djibrilnya.
"Kalau merokok hanya mengganggu  stabilitas fungsi hidung sebelahmu duduk hingga khawatir akan berjalannya fungsi jantung, ini masih agak ringan karena berarti rokok hanya tidak demokratis. Rokok memasung kebebasan dalam urusan hisap menghisap, berarti rokok masih perlu penataran ala orde baru agar menyadari hak dan kewajiban sebatang rokok."
"Memangnya ada rokok yang demokratis, wak?" potong sang keponakan ditengah arus deras pernyataan Wak Haji Abdullah.
"Wah ada itu, kalau saja asap rokok dengan bijaksana memilih hidung siapa saja yang harus dimasuki, atau yang tak perlu dimasuki, hingga asap rokok tak mengganggu stabilitas fungsi hidung, tak mengganggu pertahanan dan kenyamanan jantung yang benci merokok. Namun mungkin saja ia sedanag memaknai fungsi hidung sebagai indera pencium yang dapat mubazir jika tidak ada yang dicium, sehingga ia dapat menyalurkan rezeki yang berupa asap rokok itu ke hidung masuk melalui kerongkongan dan berhenti di jantung, sehingga merokok dapat bermakna. Jadi, jenis orang ini mempunyai rasa syukur sehingga fungsi organ tubuh tertentunya bisa bergerak disaat organ tubuh yang lain hanya menunggu rezeki dalam bidang lain." Ucapan Wak Haji terus mengalir sebelum dipotong keponakan.
"Tunggu-tunggu, Uwak sedang membicarakan asap rokok, bukan? atau sedang membicarakan orang yang sedang memaksakan pendapat?"
"Memang kamu pikir tentang apa?"
"Ah, Uwak selalu saja metafor...."

Kamis, Desember 01, 2011

7 PINTU

By : Langit Mularto

Sendirian musafir berjalan merenungi nasibnya. Baru saja ia tertolak memasuki pintu pertama dari tujuh pintu yang harus dilaluinya. Niatnya untuk mengantarkan setetes air dalam jambangan kepada Sang Raja terpaksa tertunda. Sang penjaga pintu pertama terlebih dahulu mencegah dan menghardiknya.

"Raja tak akan menerima airmu yang berwarna keruh itu," bentak sang penjaga pintu itu.
"Airmu terlalu sering berubah warna. Kadang emas, esok hitam, lusa abu-abu. Kembalilah jika kualitas airmu sudah baik," usirnya.

Musafir gontai melangkah sambil bergumam, "oh Raja, aku yang tidak mengetahui, tetapi mengira bahwa aku mengetahui."

Sebelum tiba di jalan ini, selama bertahun-tahun ia berkelana mencari Sang Raja. Daerah yang pertama di kunjungi adalah Hejaz dan Cordova. Ia pandangi semua penjuru tempat, di gunung, di bukit atau di lembah, tak dijumpainya Sang Raja. Ditempat pemujaan Hindu, ke Pagoda kuno, tiada tanda-tanda keberadaannya. Ia coba bertanya di setiap orang yang dijumpainya, tetapi tak ada seorangpun yang mampu memberi keterangan baginya. Jalan yang ia temukan saat ini dipelajarinya dari tabib Cina yang memeberikan resep berbeda bagi orang yang berbeda pada penyakit yang sama.

Baginya yang dibawa adalah setetes air dari laut yang tak terbatas yang menunjukkan individualitas yang sekarang sebagai sebuah tetes, kepada semua individualitas yang lampau sebagai tetes-tetes dan gelombang-gelombang yang berurutan dan juga pada ikatan yang lebih besar yang mempersatukan semua tahap dengan semua tetes lainnya yang bergabung dengan keseluruhan yang lebih besar.

Setelah menukar tetes air dari laut yang maha luas, musafir dengan tegak berjalan menuju pintu pertama. Kali ini yang didapatnya sambutan ramah dan hangat. "Silahkan masuk kawan. Air ini sangat pantas untuk hadiah sang Raja."

Tugasnya saat ini aalah menuju pintu kedua. Sementara ia terus berusaha menjaga air dari sengatan api yang dapat mengurangi kualitasnya.
"Dari mana asalmu?" Tanya penjaga ketika ia tiba di pintu kedua.
"Aku dari penginapan anak-anak."
"Apa yang kau bawa dalam jambangan itu?"
"Air. Ini untuk hadiah Rajaku."
"Apa mungkin Raja hendak menerima, sedangkan jambanganmu hitam, kusam dan buruk seperti itu?"
"Jangan memandang bentuk luarku, tetapi akaan kuserahkan apa yang ada di dalamnya. Lagipula, apakah Raja masih bisa tertipu dengan kemasan ini?"
"Tidak," sergah sang penjaga pintu.
"Apakah dia tidak mengetahui isi di dalam jambangan ini?"
"Dia paling mengetahui, bahkan melebihi dirimu."
"Kalau begitu aku tak akan menipunya dengan kemasan bagus."
"Cukuplah penjelasanmu, masuklah! Kau diterima dengan ramah di sini."

****

Kegembiraannya meluap hingga hampir membanjiri rasa sombongnya. Sesaat kemudian lumpur kesenangan itu surut atas kesadarannya. Perjalanan ini menguras segala komponen dalam dirinya. Peperangan dalam dirinya mengisyaratkan kehati-hatian langkah. Perjalanan kali ini berbeda, karena tubuhnya tak lagi muda dan banyaknya pengalaman tak selalu menguntungkannya.

Di pintu kedua dimana rahasia-rahasia terjawab membuatnya semakin yakin melangkah kepintu berikutnya. Penjaga pintu ketiga sudah menanti. Di tangannya tergenggam buku yang berisi nama calon tamu Sang Raja.
"Hai penjaga pintu, apa yang kau genggam?" Seru musafir sebelum disapa.
"Aku membawa buku," seraya menunjukkan buku yang tidak terlalu tebal. "Dalam buku ini, aku menulis nama-nama sahabat Raja," sambungnya.
Musafir bertanya, "Apakah namaku ada di sana?"
"Engkau bukan bagian dari sahabat Raja."
"Tetapi aku adalah teman dari sahabat Raja."
Penjaga terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. "Baiklah, baru saja aku menerima perintah untuk menuliskan namamu paling atas dari daftar ini, sebab kau tulus memintanya."

*****
Di depan pintu keempat musafir mengetuk pintu perlahan. Pintu belum terbuka, namun suara sudah menyambut dari dalam.
"Siapa itu?" Nada berat terlantun dari dalam.
"Inilah aku." Jawab musafir.
"Raja berpesan, tidak ada ruangan di sini untukNya dan untukmu." Suara kemudian menghilang.
Musafir sedikit jengkel, diperiksa air dalam kendi. Air masih jernih. Kembali ia bergumam, "oh Raja, aku yang tidak mengetahui tetapi mengira bahwa aku mengetahui, bebaskan aku dari kebingungan ketidaktahuan ini." Ia mulai ragu atas perjalanan ini. Ia sadar ia tak punya kehendak apapun atas semua ini. Sesaat kemudian ia meloncat kegirangan. Teriakannya mengguncang diri. "Aku tak berarti. Seharusnya sejak semula aku tidak mengatakan ; untukku, denganku dan milikku," gumamnya. Begitulah akhirnya ia melewati pintu keempat dengan menjawab, "inilah Engkau," maka pintu dapat dilaluinya.

*****

Penjaga pintu kelima menyapa dari kejauhan, "apa yang kau inginkan musafir yang bodoh?" Setengah berteriak sambutan itu. "Raja mengetahui bahwa Dialah yang kau inginkan. Keinginan bertemu Raja sangat berbahaya."
"Saya akan dengan senang hati mengalami apapun demi berada bersama Raja, dan dengan senang hati kehilangan apapun yang kami punya."

*****

Di pintu ke-enam, musafir ditanya tujuan pemberian hadiah tersebut. "Hai tuan, sepertinya kau punya keinginan dari pemberian itu. Apakah kau ingin merayu Raja agar kau dapat menikmati hidangan Raja, ataukah kau terlalu takut dengan kesengsaraan yang diberikan raja jika upetimu tidak mencukupi?" Tanya penjaga pintu.
"Apakah jika aku melihat cahaya Raja, aku masih merasa butuh hidangannya?" Musafir balik bertanya.
"Tentu saja tidak, karena kau akan lupa dengan semua hidangan itu." Jawab penjaga pintu.
"Apakah ketika aku melihat cahaya Raja, dibalik penjara kesusahannya, aku masih merasa sengsara?" Kembali musafir bertanya.
"Jelas tidak, karena Raja kami adalah pusat segala kesenangan. Kau bahkan takkan butuh apapun lagi jika telah bertemu dengannya."
"Kalau begitu tujuanku hanya ingin bertemu denganNya, karena aku tak ingin selain diriNya."

Musafir terus melaju dipersilahkan penjaga pintu. Inilah akhir sebuah jalan yang dijanjikan. Di depan pintu ke tujuh berkali-kali pintu diketuk, tetapi tak kunjung dibuka. Tekadnya sedikit susut merembesi jiwa dan hatinya. Perjalanan telah sejauh ini, tak mungkin ia menyerah. Duduk ia terpengkur di depan pintu. Seperti seorang pengemis sejati yang mengharapkan belas kasih dari si pemilik rumah. Nafasnya mulai tersengal-sengal, tercampur sesak di dada dan lelahnya perjalanan yang menguras tenaga. Musafir tak habi pikir, seharusnya petunjuk yang diterimanya dahulu sangat jelas. 7 pintu, rahasia dan singgasana Raja. Ia tak mungkin menggerutu, mengumpat dan mempertanyakan kebijakan Sang Raja. Karena hal itu semua dapat membuatnya tercampak dan tertolak dari jalan ini. Baginya Sang Raja punya otoritas penuh pada air ini. Kadang air ini memang dikoyak teraduk-aduk. Raja melakukan ini untuk menguji kualitasnya. Tetapi kadang air juga dijaga tenang, meskipun jambang terguncang. Pada beberapa waktu ia merasa butuh akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, namun pada saat lain pertanyaan ini dibiarkan menjadi rahasia Raja yang tidak diketahui karena keterbatasannya.
"Berapa lama engkau akan mengetuk pintu dan menunggu pintu terbuka? Pintu itu tidak pernah ditutup." Musafir kaget atas teguran itu. Di sekelilingnya tak ada seorangpun. Pintu berderit terbuka. Jalan dan pintu tak lagi berarti begitu tujuan telah terlihat. Ketakjuban luar biasa menyelimutinya. Sebuah singgasana yang dijaga delapan pengawal. Para panglima perang ditempatkan di sebelah kiri. Menteri-menteri berada di sebelah kanan untuk mengesahkan keputusan Raja. Sedangkan musafir disediakan tempat berhadapan langsung dengan Raja, karena ia adalah cermin dari setetes air itu, bahkan lebih baik dari air itu.

Inspiried : Rumi, Juzjani, Rabiah el-Adawiyah.

By : Langit Mularto

Tanah Kusir, Iedul Fitri 2005

Kamis, Oktober 27, 2011

Sebuah Surat Untuk Serena

By: Langit Mularto

Dear Serena,

Sejak dulu aku memang tak pandai menulis surat, jadi kuharap kau bersedia memaafkanku apabila aku tak sanggup menyatakan perasaanku dengan jelas.

Aku tiba pagi ini dan menemukan tempat yang akan aku tinggali selama beberapa waktu ke depan. Tempat ini lebih baik dari yang kubayangkan. Sulit rasanya untuk tidak membayangkanmu berada di sini bersamaku mengarungi jalanan seindah ini. Hunian bergaya Renaissance yang luar biasa, lukisan-lukisan dinding warna-warni dan rumah-rumah petak bersejarah melebur menjadi campuran marmer dan emas sepanjang tepi jalan.
Venesia selalu menjadi tempat yang akan selalu kita kenang, Serena. Ketika kita mengapung di atas gondola tradisional (traghetto) di Grand Canal, mendengarkan dengungan suara tenor sang perakit, mengabadikan setiap sudut dan permukaan lengkungan yang Gothic. Terlalu banyak yang akan terlintasi nantinya yang akan mengingatkan aku akan dirimu ; Jembatan Rialto, Basilika Santa Maria della Salute Palazzo Dario atau indahnya Ca'd'oro.
Aku terus menerus memikirkanmu sejak berangkat, dan tak habis pikir mengapa perjalanan yang kutempuh sepertinya menuntunku bertemu denganmu. Aku tahu perjalananku belum selesai, dan bahwa hidup adalah jalan yang berkelok-kelok, tapi aku hanya bisa berharap, entah bagaimana, jalan hidupku akan memutar kembali ke tempat seharusnya kuberada.
Itulah yang ada di pikiranku sekarang. Tempatku adalah bersamamu. Sewaktu di mobil, dan ketika pesawatku mengudara, aku membayangkan, jika aku mendarat di Fuimicino aku akan melihatmu di antara kerumunan orang-orang, menungguku. Aku sadar itu sesuatu yang tak mungkin, tapi entah mengapa bayangan itu membuat perasaan meninggalkanmu sedikit lebih mudah. Seolah-olah aku ke sini memang untuk bertemu denganmu, bukan pergi meninggalkanmu.
Serena, sebelum kita berjumpa, aku bagaikan orang tersesat, namun kau melihat sesuatu dalam diriku yang entah bagaimana memberiku arah serta tujuan lagi. Kita berdua tahu alasanku pergi ke Italia. Aku pergi untuk menutup sebuah episode dalam hidupku, berharap hal itu bisa membantu menemukan jalanku. Tapi menurutku, justru kaulah yang aku cari selama ini. Sekarang kaulah yang bersamaku.
Kita berdua tahu aku harus berada di sini untuk beberapa waktu. Aku tak tahu pasti kapan aku akan kembali, dan meskipun kita belum lama bertemu, aku merindukanmu lebih daripada aku merindukan seseorang. Sebagian diriku begitu ingin melompat naik pesawat dan datang menemuimu sekarang, tapi kalau semua ini sungguh nyata seperti yang kubayangkan, aku yakin kita sanggup melampuinya. Aku akan kembali, aku janji. Dalam waktu singkat yang kita lewati bersama, kita memiliki sesuatu yang hanya bisa diimpikan banyak orang, dan aku menghitung hari sampai bisa bertemu kau lagi. Jangan pernah lupa betapa aku mencintaimu.

RESTU 


Rabu, Oktober 12, 2011

Semalam Mimpi di Paris

By : Langit Mularto

Mobilku membelah Champs-Elysees, Paris, melesat keluar tepi jalan dan berbelok ke kanan, lalu kembali ke jalan utama Champs-Elysees dan berkelak-kelok melintasi lalu lintas yang masih sepi. Tatapanku memicing pada deretan toko mewah di tepi jalan legendaris itu. Pada ujung jalan berdiri Arc de Trriomphe -tugu kemenangan- setinggi 49 meter yang di kelilingi oleh putaran dengan sembilan jalur. konon ini adalah putaran terbesar di Prancis.
Laju mobil kearahkan ke utara, menjauh dari pusat kota. Melewati dua buah traffic lamp, aku membelok ke kanan masuk ke Boulevard Malesherbes  lalu ke daerah yang lebih gelap di Gare Saint- Lazare, sebuah stasiun kereta api. Di depanku, stasiun kereta beratap kaca mirip sebuah hanggar pesawat dan rumah kaca. Enam buah taksi berderet di dekat pintu masuk, menunggu kedatangan kereta berikut.
Sebuah rangkaian kereta api menuju Lille sudah mendengus-dengus dan mendesah, bersiap untuk berangkat. lalu aku kembali melintasi lobi da keluar dari pintu samping ke jalan kecil yang sunyi di sebelh barat stasiun itu.
Kembali mobil aku pacu ke arah utara menuju Rue de Clichy. Terhampar di depan mata Montmarte dan sebuah kubah Sacre-Coeur yang indah. Melewati Bios de Boulogne dan perjalananku berhenti di Rue haxo nomor 24, sebuah gereja....

Senin, Oktober 10, 2011

SENYUM ITU MASIH DIINGAT

By : Langit Mularto

Di tengah malam yang pekat itu, Kelana belum juga mampu melepaskan bayangan masa lalunya. Kantuk tak mampu mengusirnya- bahkan sebaliknya- bayangan itu yang mengusir kantuknya. Bayangan ibu dan ayahnya selalu mengawang-awang di atas langit-langit ruangan. Mereka seolah tersenyum menghibur di balik kecut dan masam penyesalan yang tersirat di wajahnya.

Pernah pada suatu hari, sekitar tengah hari, di masa kecilnya, ia membuka peti kayu milik ayahnya. ia melakukannya dengan sangat hati-hati sekali, hingga mencegah bunyi berdecit dari pintu peti. Peti itu sudah sangat usang, terbuat dari kayu jati yang kokoh dan sudah tua. Peti itu padat oleh buku dan di dalam salah satu buku itulah ia menemukan sebuah catatan yang sangat mengagumkan. Kelana kecil sangat senang membaca, bukan main senangnya anak itu membaca. Apabila ia sedang sendirian di rumah, ia menyuruk ke dalam peti di kamar ayahnya untuk mendapatkan sesuatu buku. Ia tahu waktu itu masih tengah hari karena bayangan rumpun bambu belum menyilang pekarangan, panjang dari timur ke barat -orang desa memang masih mengukur waktu dengan melihat panjangnya bayangan pohon yang tumbuh di sekitar halaman rumahnya.

Pada hari yang lain daripada yang lain ayahnya sedang pergi ke sawah, Langit masuk ke dalam kamar, pelan-pelan menutup pintu di belakangnya dan berhasil membuka peti kayu itu tanpa diketahui orang. Ia merasa sangat gembira. Dibukanya buku-buku itu satu persatu, lalu dibalik-baliknya halaman-halamannya untuk mengetahui apakah ada gambar-gambar yang bisa dilihat atau adakah ceritanya. Sebuah buku di antaranya berjudul Manusia Menurut Al-Ghazali. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud judul itu dan tentang apa isi buku itu. Sampul buku itu pun telah memudar dan tanpa motif apapun di atasnya, hanya hitam memudar dimakan usia, ketika dibalikkannya buku itu, segerombolan ngengat merayap di atas halaman-halamannya dan menghilang selekas-lekasnya.

Kelana mengangkat buku itu ke hidung. Baunya sangat khas. Halamannya cukup tebal dan menguning karena usang. Hingga kini ia mampu mengingat baunya. Bau itu mengingatkan akan ayahnya. Ia tak tahu mengapa begitu, tetapi memang selalu demikianlah yang terjadi. Sampulnya yang tebal sudah rusak, karena itu, cepat-cepatlah ia menymbunyikannya di bawah bantal, lalu dikembalikan buku yang lain ke dalam kotak. Ia membaca buku itu ketika sedang sendirian, dan pada suatu hari kembali berjalan mengendap ke dalam kamar ayahnya untuk menukarnya dengan buku lain ketika ia sudah menyerah untuk memahaminya.

Ayahnya selalu dapat mengetahui bahwa ada orang yang telah memegang petinya karena tampak sesuatu yang tidak rapi. Kelana kecil tidak tahu bagaimana menyusun buku-buku itu, maka ia mengaduk-aduk saja sampai ia menemukan yang dicarinya. Tak sukar bagi ayahnya untuk mengetahui siapa pencuri itu dan betapa suka pencuri yang khusus itu kepada bacaan.

Kini, keduanya telah tiada. Tuhan telah berbaik hati kepada mereka, dipeluknya mereka dalam ketenangan, selamanya. Di hari kepergian ibunya, Kelana -yang beranjak dewasa- duduk di sisi ibunya yang sedang berbaring melekapkan kain basah ke kepalanya. Lebih dari dua kali dokter dipanggil untuk melihat perkembangan ibunya, tetapi demamnya masih jauh tinggi dan dokter tak dapat berbuat sesuatu untuk menurunkannya.

Sesekali ia berbicara pada ibunya, "Ibu dengar aku? Oh, Ibu, coba katakan sesuatu padaku. Katakan bagaimana keadaan ibu." Seolah-olah ada tabir di antara mereka berdua. Ibunya seakan-akan sedang bicara. Kelana dapat melihat bibir ibunya bergerak-gerak, tetapi ketika ia membungkuk hendak mendengarkan, tidak didengarnya sesuatu, setidak-tidaknya tak ada yang dimengerti.

Ketika petang hari demam itu meninggalkannya, dan untuk pertama kalinya sesudah berjam-jam ibunya membuka mata dan memandang ke sekitar. Ia sangat lemah. Ketika ia berbicara, kata-katanya hanya terdengar sebagai bisikan yang lemah sekali, sehingga Kelana hampir tidak dapat mengerti apa yang hendak dikatakannya. Kakak perempuannya sedang mengerjakan sesuatu di dapur, sementara ayahnya sedang pergi merantau ke Jakarta sebagai upaya memperbaiki nasibnya sebagai petani derep. Tak ada kabar dari ayahnya berminggu-minggu, komunikasi pada waktu itu sangat sulit.

Kelana tetap duduk di samping ibunya. Hari beranjak senja, tetapi matahari masih menampakkan cahayanya di pucuk pohon kelapa. Ia melongok ke luar jendela. Senang sekali ia melihat matahari senja setelahdua hari hujan tak berhenti dan berdirilah ia di sana sambil mengawasi sinarnya yang terakhir di pucuk pohon.

Hari dan malam berikutnya berlalu. Kelana keluar sebentar membeli bubur nasi untuk ibunya. Ketika kembali, di rumahnya banyak orang telah berkumpul. Ia pun berlari. Kakaknya sedang membungkuk di atas wajah ibunya. "Ibu, lihatlah kami, bukalah mata ibu."

"Ada apa, kak?" Kata Kelana segera sesudah masuk. "Cobalah menyingkir. Kamu mesti emberinya udara segar. Menggeserlah, biar aku lihat." Kakaknya barangkali tidak mendengar kata-katanya dan hanya terus menratap.

Ibunya tidak membuka matanya lagi. Berkali-kali tangan keabadian menerobos tabir surga yang biru dan memberikan isyaratnya kepada seorang wanita tua. Wanita renta itu melepaskan diri dari dada bumi pertiwi, dan hilanglah untuk selama-lamanya di jalan yang tidak kenal kembali. Pada senja hari yang gelap dalam hidupnya yang sakit dan gelisah, ibunya mendengar panggilan itu dan sesudah meninggalkan jalan-jalan yang dicintainya ia pun memulai perjalanan yang baru, menuruni jalan raya yang belum pernah diinjaknya.

Ayahnya belum sampai mengetahui kabar itu. Tempat pertama yang ditujunya ketika ia meninggalkan rumah adalah Bandung. Ia tidak kenal siapapun di situ, tapi ia merasa yakin bahwa karena kota itu kota besar yang ramai, maka kemungkinan akan mendapatkan pekerjaan. Mula-mula harapannya sangat besar karena seseorang yang dijumpainya di jalan mengatakan bahwa para pedagang dan tuan tanah banyak membutuhkan karyawan dengan upah harian atau mingguan. Giranglah ia menghadapi harapan yang demikian baiknya, dan ia pun tinggal tiga minggu lamanya. Namun, harapan yang ditunggu tidak juga datang, sedangkan sedikit uang yang dibawanya sudah habis.

Kini ayahnya berada dalam keadaan sulit yang mengerikan. Ia berada di tempat yang tiada seorangpun dapat membantunya, lebih dari itu, ia pun tidak lagi mampu membayar sewa tempat tinggalnya dan harus mengosongkannya saat itu. Sampai langkah kaki membawanya ke Jakarta dan tidurlah ia secara serampangan di serambi masjid.

Sepanjang hari berikutnya ia habiskan detik demi detik waktunya dengan berkeliling dari rumah ke rumah mengunjungi para penduduk yang kaya. Ketika petang hari ia kembali ke Masjid. Bermalam-malam ia melewati hari-hari beratnya, hingga ia di usir dari masjid dengan alasan ketertiban.

Ke mana pun ia tidak dapat pergi dan mengembara tanpa tujuan, sampe akhirnya menemukan suatu tempat yang sesak di tepi Sungai Ciliwung. Di situ ia menghamparkan alas tidurnya, dan terlelap dengan perut kosong.

Ayahnya selalu bangun dengan ketakutannya menghadapi pagi. Ia merasa khawatir sekali mengingat istrinya di rumah. Ia telah meninggalkannya dengan uang yang hanya cukup untuk dua minggu saja, sedangkan ia telah pergi dari rumah selama hampir tiga bulan. Tentunya istrinya sekarang kelaparan, yang semua itu karena dirinya, suami yang tidak dapat berbuat banyak.

Setelah dua minggu kematian istrinya, ia baru pulang. Sudah tak didapatinya Kelana di sana, hanya kakak perempuan Kelana yang menceritakan semua tragedi takdir itu. Ia menangis, menyesali nasib sulitnya, hingga beberapa tahun kemudian ia menyusul kekasih sejatinya itu menghadap Ilahi.

Mata Kelana membasah, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Dalam hatinya ia menyalahkan dirinya sendiri karena semua nasib sial itu. Jiwanya merintih, terekspresi dalam tangisan kering yang menysakkan napas dan membuat nyeri ulu hatinya. Ia mencoba sedapat mungkin mengusir semua rasa bersalah itu. Penyesalan itu dan rasa pedih yang selalu membuatnya tersedu meratapi masa lalunya. Butir-butir matanya yang bening berjatuhan dari sudut mata yang basah itu.

Badai yang kejam mulai melemah daya upayanya, seperti ribuan amunisi yang telah habis dimuntahkan menerpa bumi. Dentuman-dentuman air hujan yang riuh menerpa atap berubah menjadi rintik-rintik syahdu mengisi dini hari yang gelisah. air yang jatuh dari atap ke pelimbahan masih gemericik menyerupai symphoni, dengan tempo yang semakin melambat.

Malam lirih itu tak mampu dilewatinya dengan terpejamnya mata, hingga hanya kegelisahan tubuhnya terdekap dinginnya dini hari. Kelana mulai bangun, menyandarkan tubuhnya di dinding, merasakan betapa lemahnya ia sebagai lelaki. Keringat dingin di pagi yang dingin membintik di kening dan lehernya, lalu ia mulai bangkit seraya menyambar dua buh buku di sampingnya. Notebook dibuka dan diaktifkan. Energinya ingin dicurahkan ke tugasnya yang tertunda.

Minggu, Oktober 09, 2011

Antologi Kata (belum ada judul)

Mungkin hidup memang tak selalu sesempurna lingkaran, karena hidup adalah kumpulan garis-garis perjalanan. Coretannya kadang membentuk sudut yang sering menyiku atau kadang membentuk sudut yang halus. Mungkin hidup memang tak selalu sesuai pengharapan, karena hidup memang bukan sekumpulan imajinasi dan khayalan dimana lamunannya kadang menawarka keindahan menghempas sedih menolak duka.
Kehidupan dimulai ketika kita telah membalikkan pasir waktu, tak bisa dihentikan dan terus berjalan. Tidak bisa lagi kembali kepada yang sangat jauh kugapai yaitu kemarin. Kehidupan tak semestinya berisi umpulan sesal, lalu memutuskan mencari arah pulang.
Ketika kita sampai pada sebuah pantai kehidupan, maka kita memutuskan untuk membakar sampan kita, berharap dengan begitu kita tak punya niatan untuk kembali pada masa lalu. Hidup harus terus dijalani dengan atau tanpa teman di sisi. Hakekatnya kita memang sepi dalam menelusuri setangkai mawar, durunya kadang menyakitkan meski ujungnya buga indah yang menyenangkan. Tapi siapa yang tahu masa depan? siapa yang bisa merancangnya? Ketika satu persatu duri mawar telah kuinjak aku masih terus berkhayal tentang harumnya bunga. Namun, ketika pasir waktu terus menitik jatuh, sedangkan harum mawar tak kunjung menyapa, akupun memutuskan tak berani lagi berkhayal.
Sakitnya tusukan duri kadang terlupakan meski dilain waktu sering membekas. Lukanya menyadarkanku untuk tak kembali pulang mengendarai sampan sesal. Sakitnya luka itu juga menghentikan aku terlena dalam balutan khayal, imajinasi dan mimpi. perihnya membawaku pada sebuah kesadaran untuk mengikuti semilir angin dan terhanyut mengikuti sungai kehidupan membawaku ke sebuah tujuan.

Dikehingan Tanah Kusir.

01:15 AM

Langit Mularto

Kamis, Oktober 06, 2011

MENGAMBIL HIKMAH DARI SEEKOR ANJING

Buku ini saya dapatkan atas rekomendasi teman saya yang sangat ingin sekali mendapatkannya, cukup sulit memang mendapatkan buku karya Marhaeni Eva, dengan tebal sekitar 274 halaman.
Buku ini berkisah tentang seorang (bernama) Srikandi. Dimana dia memiliki dua kepribadian. Di kala siang hari, dia dikenal oleh masyarakat sebagai orang gila yang menghibur. Di Pasar, di jalanan, di depan sekolahan di perkampungan semua orang mengenalnya. tapi di malam hari, dia menjadi seorang individu yang memiliki sisi komplekstivitas yang tinggi. Banyak melontarkan kisah-kisah sindiran pada negeri ini. dia berperilaku seperti orang gila yang senang mengomentari kinerja para petinggi pemerintahan dengan kritikan-kritikan humoris yang penuh makna. Namun, saat bulan mulai membuka mata, Srikandi berkepribadian layaknya manusia yang sedang mencari jati dirinya. Ia sangat rapuh, ia mencari serpihan-serpihan memori yang ada dalam masa lalu, mencari sebab yang membuatnya menjadi wanita yang hilang akal di pagi hari. diceritakan dengan alur yang gak mudah di tebak dan dengan tata bahasa yang agak susah dipahami pula.
Buku ini banyak menggunakan kosa kata berbahasa Jawa. Namun, pada halaman belakang telah dituliskan arti-arti dari kosakata tersebut sehingga pembaca tetap dapat memahami alur cerita dalam novel ini.
Membaca buku ini mengingatkan saya pada pernyataan Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Kasyifah al-Saja. Kitab ini barangkali tidak asing lagi di kalangan pesantren, khususnya pesantren salaf yang masih memegang tradisi kitab kuning (al-kutub al-shafra’) atau kitab klasik (al-kutub al-qadimah). Berikut ini pernyataan yang penuh makna tersebut: (lihat Kasyifah al-Saja hal. 103 versi Maktabah Syamilah al-Ishdar al-Tsani atau merujuk langsung ke kitabnya)


Dalam diri seekor anjing terdapat sepuluh sifat mulia yang laik kita tiru. Mari kita baca satu per satu, lalu kita renungkan bersama.
1. Anjing terus menerus hidup dalam kondisi lapar. Inilah sifat orang-orang yang saleh. Kita seyogianya tak terpanah akan kebutuhan perut. Jangan sampai predikat abd al-buthun (abdi perut) disematkan di pundak kita. Toh, sejatinya perut yang selalu dipenuhi makanan, lambat laun akan terjejali dengan berbagai penyakit.
2. Pada malam hari anjing tidur dalam waktu yang singkat. Ini adalah sifat orang-orang yang suka bertahajjud. Malam bukan hanya hak kita semata sehingga kita bebas menghabiskan sepenuhnya untuk tidur dalam buaian mimpi. Tahajjud menjadi pembeda antara orang yang malas dan tidak.
3. Bila anjing diusir ribuan kali, ia akan tetap menepi di ambang pintu rumah tuannya. Ini adalah sifat orang-orang yang benar. Ketaatan kepada Allah hendaknya bersemayam dalam diri kita dalam situasi genting sekalipun.
4. Tatkala anjing mati, ia tidak meninggalkan banyak warisan. Ini adalah sifat orang-orang yang zuhud. Harta benda yang menjadi kenikmatan di dunia ini boleh kita miliki, namun hati kita tak boleh terhipnotis olehnya. Zuhud seperti inilah yang disebut dengan zuhud modern. Zuhud tidak selamanya dengan melepas diri dari harta, tapi zuhud juga bisa dilakukan dalam kondisi kaya. Yakni dengan mentasarrufkan harta tersebut ke wilayah amal yang baik.
5. Anjing tidak mengeluh ditempatkan di belahan bumi yang paling hina sekalipun. Ini adalah sifat orang-orang yang rela. Karakter yang kelima ini hendaknya kita genggam. Sedikit atau banyak nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kita, harus kita syukuri. Kita hendaknya senantiasa melatih jiwa dan raga kita untuk menerima ketentuan Allah.
6. Anjing tidak henti-hentinya menatap mata orang lain hingga ia dilempari sepotong daging. Ini adalah sifat orang-orang yang miskin. Di hadapan Allah, kita tak ubahnya orang miskin papa yang tak pernah putus asa mengharap anugerah-Nya.
7. Anjing tak marah meski menerima perlakuan kasar dan dilempari debu. Ini adalah sifat orang-orang yang rindu kepada Tuhannya.
8. Jika ada yang merebut tempatnya, ia rela bergeser/berpindah ke tempat lain. Ini adalah sifat orang-orang yang terpuji.
9. Apabila diberi makanan seberapapun besarnya, ia akan memakannya dengan lahap. Ini adalah sifat orang-orang yang menerima.
10. Ketika bepergian dari satu tempat ke tempat lain, ia tidak membawa bekal apapun. Ini adalah sifat orang-orang yang pasrah kepada Allah.
Demikianlah beberapa hikmah yang bisa kita petik dari seekor anjing. Jadi tepat kiranya jika saya mengatakan, “Mari berguru kepada anjing.” Tulisan ini adalah nasihat untuk diri saya sendiri. Semoga juga bermanfaat bagi teman-teman. Amin....

Jumat, September 09, 2011

HUJAN

By: Mularto
Sore sudah menjelang ketika Najma memutuskan ingin keluar mencari udara segar.  Sita Resmi siang tadi memberinya petunjuk dimana saja ia dapat memperoleh kebutuhan sehari-hari, termasuk makan. Najma mengendarai mobil yang disewanya sejak tiba di Bali beberapa jam lalu, mobil sedan yang sudah cukup berumur meski tak terlalu tua untuk mengantar dirinya kemanapun ia mau.

Karena pekerjaannya, Najma pernah pergi ke berbagai tempat. Tak ada yang setenang ini sebelumnya. Saat mobil Najma terus terlonjak-lonjak karena lubang jalan, ia mengamati pemandangan. Di sana-sini tumbuh pohon akasia dengan bunga-bunga kuningnya yang sedang berkembang. Ternak merumput di dekat pohon delima yang batangnya digelayuti benalu yang terlihat lebih subur dari inangnya. Di dataran itu juga berserak-serak rumpun semak ilalang yang berayun-ayun dalam angin senja yang lembut. Langit senja yang tua turun ke bumi di atas sederetan pohon. Jauh di sana, tinggi di langit sana, seekor burung camar sedang terbang. Sedikit demi sedikit burung itu menjadi makin kecil, kecil dan kecil, sampai akhirnya ia menghilang di balik sebatang pohon beringin tua yang sangat besar. Mata Najma mengikuti burung itu sampai ia menghilang dari pandangan, kemudian mata itu kembali ke bumi diikuti oleh satu hentakan karena lubang jalan. Mobil meluncur pelan di jalan aspal yang sempit, di antara rumpun ilalang dan kanal irigasi di kanan-kiri jalan.

Najma semakin jauh menyusuri jalan sebelum akhirnya telinganya menangkap irama laut yang memesona. Najma menghentikan mobilnya. Jauh di depannya hamparan samudera Indonesia terbentang. Ia tak mungkin lagi bisa membandingkan bagaimana bisa tanah ini terus menahan gempuran ombak detik demi detik, jam demi jam bahkan berabad-abad lamanya. Najma bersandar di badan mobilnya, menghirup sedalam-dalamnya udara bercampur angin garam yang mengempas. Bayangan tubuhnya terdorong semakin panjang ke timur oleh cahaya senja yang renta. Ada ceruk beberapa meter jauhnya dari jalan, angin tak lagi lembut saat arak-arakan awan kelam menutup angkasa. Najma mendengar desahan dan erangan angin yang semakin kasar saat ia mencoba berjalan lebih jauh menyusuri tanah tipis berbatu yang sudah aus. Ia mendapatkan apa yang diharapkannya di sini, kesunyian. Najma memeluk kesunyian itu, di tanah lapang bersemak dengan irama ilalang yang bergesek diaduk-aduk angin.

Sementara itu angin timur semakin mengencang bertiup menerobos rumpun bambu, kadang begitu hebat, sehingga pucuk-pucuk teratas merunduk ke tanah. Sekejap awan-awan berubah menjadi lebih gelap. Gundukan-gundukan awan itu seperti kapas hitam raksasa yang terlihat lembut namun kejam bergerak menyebrangi langit dari timur ke barat. Kelihatannya seolah-olah gerombolan-gerombolan besar demonstran  sedang maju terdorong amarah menerima kekejian aparat yang dihadapinya. Dan sekonyong-konyong aparat-aparat yang tidak terhitung itu dengan kecepatan yang lebih tinggi mulai melancarkan serangan yang menggelegar dengan guntur-guntur dahsyat, hingga seluruh langit terbakarlah dari berbagai arah mata angin. Awan-awan tercabik berantakan, kekuatan pendemo terbelah dan tercerai- berai menjadi pecahan-pecahan ruang angkasa yang kecil, sebelum pemboman guntur yang mengerikan itu mereda. Namun, pertempuran jauh dari selesai karena segera setelah itu kekuatan-kekuatan yang tak kenal maut sekali lagi menyelubungi bumi dan langit dengan kegelapan yang pekat tak tertembus.

Dengan perasaan khawatir Najma kembali ke mobil. Ia memutar kunci mobil yang menyambutnya dengan raungan-raungan marah, ia mencoba lagi. Najma hanya disambut bunyi berderak kasar yang menambah kekhawatirannya. Seraya mengumpat geram, Najma keluar dari mobil dan membuka kap mesin itu, berharap satu sentakan keras dapat merubah tabiat mesin tua itu. Tapi tenyata, ini tidak seperti  televisi neneknya di desa yang dapat jernih gambarnya setelah digedor bagian atasnya. Ia tersenyum menyadari kekonyolannya.  Setelah menutup kap mobil, Najma mulai memandangi kanan-kiri jalan. Ia tersudut. Satu-satunya teman hanyalah geraman angin yang menerpa rambutnya. Tak ada lagi penawaran yang menarik yang datang dari kepalanya kecuali menunggu. Najma berharap sebuah tumpangan yang dapat mengantarkannya ke penginapan. Sepenggalnya waktu penantian tak berkunjung harapan. Najma mengambil senter dari laci dasbor dan mengikuti naluri. Ia berjalan setelah sebelumnya sempat membungkus dompetnya dalam kantong plastik hitam.

Jalanan semakin rumit dilaluinya dengan kegulitaan musim hujan, tapi ia harus terus berjalan mengikutinya kecuali ia ingin terjerembab di daerah tak bertuan. Batu-batuan  yang berserak tak beraturan semakin menyulitkan langkahnya. Kegelapan semakin pekat menyelimuti meski suasana tetap tak sepi. Dentuman-dentuman amarah guntur bersahut silih berganti. Kini tak lagi angin yang meniup rambut Najma, tetapi kegeraman badai mengoyak menyisiri rambutnya. Kabut tipis menjalar menutupi kakinya, sekarang ia hanya berharap kabut ini tidak menebal dan menutupi pandangan matanya  sebelum ia tiba di penginapan.

Badai terus mengamuk, menghebat dan keadaan yang menyiksa pun akan datang. Hujan turun makin lama makin deras. Taufan meraung-raung menghantamkan diri pada pohon akasia dan semak belukar seperti segerombolan setan yang sedang berang. Dan setiap terkena hantaman, pohon itu terguncang seolah-olah detik berikutnya pucuk-pucuknya akan mencium tanah. Terjungkal. Najma pun ketakutan dan meronta dalam ketiadaan daya. Apakah yang dapat diperbuat oleh seorang perempuan yang sendirian untuk menyelamatkan diri, sedangkan seorang pun tak ada yang dapat dimintai pertolongan, bahkan tak ada orang yang akan mendengarnya kalau ia memanggil.

“O, Tuhan,” demikan doanya. “Apa yang dapat diperbuat pada hujan seperti ini?” Doa ini untuk sesaat lamanya dapat menenangkan syarafnya. Tiba-tiba jauh di sana terdengar bunyi memanjang berdecit, kemudian bunyi sesuatu terjatuh berdebam. Godam yang besar agaknya sudah menghantam pohon akasia dengan lebih kuat lagi dari sebelumnya. Sekali pun ketakutan dan seluruh anggota badannya menggigil, dia paksakan untuk terus berjalan, seolah-olah dengan terus berjalan ia yakin akan ada yang bisa diperbuat, dibanding diam menunggu tanpa harapan.

Dalam sekejap saja ia telah basah kuyub mulai dari kepala sampai kaki, rambut, pakaian dan segalanya. Menggunturnya hujan di atas pohon dapat didengar di tengah lolongan angin ribut yang sedang berpesta-pora. Mereka menderas saja tanpa kenal ampun dengan membawa kengerian menimpa bumi dengan diiringi bunyi-bunyian aneh yang galak, terkadang meraung, terkadang menjerit, terkadang mendesis, terkadang melengking dan seringkali mengguntur dengan bahana maut yang dalam tanpa ampun. Najma tak mampu lagi mengenali dimana ia berada sekarang, dengan hanya mengandalkan cahaya senter yang biasa dipakai di dalam rumah.

Untuk mencegah agar tak tergelincir jatuh, Najma terpaksa bergerak perlahan dan terus memperhatikan jalan. Sedikit demi sedikit ketidaknyamanan menjadi kegelisahan, kegelisahan menjadi kekhawatiran dan kekhawatiran menjadi ketakutan. Sambil bersenandung tak jelas untuk mengusir kepanikan, Najma berkosentrasi pada cahaya senternya.

 Mendadak matanya menangkap sesuatu yang tersamar di kejauhan. Najma mengusap matanya dari tetesan air hujan dan melihat lagi. Cahaya. Sebuah kenyamanan, pikirnya. Jika itu sebuah rumah, berarti kehangatan dan tempat berlindung. Najma melangkah tanpa ragu ke sumber cahaya itu.

Tempat itu cukup menguras energi Najma untuk ditempuh dalam keadaan payah seperti ini. Ingin rasanya ia menyerah dan kembali ke mobil menunggu badai reda. Tapi Najma coba berpikir, apa yang bisa dilakukannya di sana, menghabiskan malam yang basah, menggigil dan ketakutan. Cahaya di kejauhan tak berkedip, membantunya meyakinkan diri akan keselamatannya. Najma tak mau lagi gamang ditengah kondisi seperti ini, tetapi mempercepat langkahnya secepat yang bisa dilakukannya.

Ia mulai berkhayal tentang penghuni yang ramah pemilik cahaya itu. Seorang wanita paruh baya seperti Sita resmi yang menawarkan kehangatan teh dengan aksen bicara Bali  yang kental. Tepat ketika guntur kembali menggelegar, ia telah menaruh banyak harap pada wanita khayalannya itu.

Bangunan  rumah itu tak tampak seperti rumah Bali pada umumnya. Tak ada relief  atau ukiran Bali, tak ada bata merah yang tanpa acian, tak ada komboja Bali. Hanya berpagarkan pohon teh-tehan dan bercat putih yang mampu ia kenali lewat cahaya senternya saat ia mulai mencari-cari daun pintu. Najma menemukan pintu yang terbuat dari kayu nangka tanpa cat dan menggedornya. Gedoran pertama hanya tertelan oleh gemuruh hujan dan angin yang terus mengeluarkan amarahnya. Ia menggedor lagi, berharap perjalanan sejauh ini tak sia-sia. Wanita itu pasti ada di dalam, pikirnya sambil menggedor-gedor pintu, mungkin sedang menjahit, meyulam atau bermalas-malasan di atas kursi goyangnya.

Pasrah, Najma tak tahu harus berbuat apa lagi kecuali tetap menggedor pintu itu. Hingga ia terjerembab duduk bersandar membelakangi pintu itu. Tetesan demi tetesan air yang membasahi rambut mampu ia rasakan mengalir membasahi punggungnya saat ia masih terus coba menggedor, meski saat ini hanya menjadi ketukan. Najma bersimpuh mendekap kakinya. Ketakutan, dan kePutusasaan membuatnya tak mampu lagi membendung air mata yang sedari tadi ditahannya. Ia menundukkan kepalanya bersandar pada kedua lutut kakinya sesaat sebelum tubuhnya terjungkal kebelakang bersamaan dengan berdecitnya bunyi engsel pintu. Pintu terbuka. Bahu Najma ditopang sepasang tangan kekar saat ia terhempas kebelakang.

“Syukurlah,”  Lontaran keterkejutan yang diucapkan Najma sebelum sempat dirinya berdiri. “Maaf aku mengganggumu,” Najma menghela napas, mencoba menenangkan diri setelah apa yang dilewati sebelumnya. Tangan, bahu, kaki dan seluruh tubuhnya bergetar menahan dingin yang seolah sudah meremukkan tulangnya. Bibir tipis yang terlihat selalu mengembang sekarang terlihat mencibir seolah merapalkan mantera yang berulang-ulang. Sweaternya luluh lepek dengan noda-noda tanah liat di sana-sini. Matanya yang teduh sekarang menatap lelaki pemilik tangan lembut itu.

Ternyata lelaki, pikirnya dalam kedinginan yang amat sangat. Sempat Najma tersenyum ketika memikirkan kombinasi apa yang dipikirkan sebelumnya dengan kenyataan di hadapannya. Seorang lelaki muda berusia akhir dua puluhan yang sedang mendengar radio tua miliknya sedang duduk dikursi goyang sambil merajut sesuatu. Pasti sungguh aneh jika memang ada baginya. Pria ini tak terlalu tinggi, tak melebihi tinggi tubuhnya, meski juga tak kurang dari dirinya. Matanya tajam menatap penuh curiga, seperti ingin menginterogasi maksud kedatangan Najma. Air muka yang tenang dengan hidung yang tak terlalu menjorok ke depan, tapi tak berarti pesek. Kumis yang dicukur habis sehingga hanya terlihat arsiran abu-abu di bawah hidungnya.

Pria itu membantu Najma yang masih gemetar untuk berdiri. “Ada apa nona mengganggu saya dimalam badai seperti ini?” Pria itu membuka bibirnya yang sedari tadi terkatup.

“Tidak bisakah anda lebih bersimpati sedikit melihat wanita yang sedang hypotermia di tengah badai?” gerutu Najma ketus. Ia kesal. Sendiri di tengah tempat asing yang sama sekali tak dikenalnya, dengan terdorong oleh angin yang mampu menjungkalkan apa saja yang tabraknya,  amarah hujan yang tak kunjung reda, basah, gemetar dan terdampar di rumah seorang pria yang tak memiliki rasa simpati dan acuh seperti ini. Terbuat dari apa manusia ini, pikirnya. “Apa saya mengganggu tidur anda?” ucap Najma lebih ketus dari sebelumnya. “Aku tersesat, mobilku mogok di ujung pertigaan sana,” katanya coba meraih simpati.

Pria itu tak cepat menanggapi. Namun ia mengangguk sebab naluri menuntunnya begitu. “Bagaimana bisa?” sebutir kalimat itu membuat Najma bertambah jengkel. Dengan nada agak acuh Najma diam. Pria itu memandanginya beberapa saat sebelum mempersilahkan Najma duduk di kursi tamu sederhana berwarna marun.

“Sebentar !” pria itu masuk ke dalam meninggalkan Najma yang masih gemetar menahan dingin. Apa yang harus aku lakukan dengan wanita hypotermia ini? Pikirnya dalam hati sambil berjalan menuju kamarnya. Pintu lemari berdecit saat dibuka olehnya. Satu persatu pakaian dipilih dicari yang sekiranya pantas untuk dikenakan oleh wanita asing yang terdampar dirumahnya itu. Sulit juga mencarinya, sampai ia menemukan baju kakak wanitanya yang beberapa bulan lalu berkunjung ke rumah itu. Mungkin ini cocok, gumamnya dalam hati. Setelah menyambar handuk putih dari dalam lemari pria itu membawanya ke ruang tamu, melemparkannya ke sisi Najma. “Nona bisa menggantinya di kamar mandi di sudut dapur sebelah kanan, saya akan antar,” ucapnya tegas.

Najma tak mengucapkan terimakasih untuk membalas perlakuan orang ini. Setelah menyambutnya dengan tidak ramah, pria ini melemparkan begitu saja pakaian di hadapannya. Jika tak sedang butuh sekali malas sekali rasanya bertemu dan meladeni orang seperti ini, gerutunya dalam hati. Dari sikapnya, mungkin ia tumbuh dari masyarakat yang terlainkan, dan karenanya menanggung juga ciri kepribadian yang khas, lebih tepatnya aneh, pikirnya. Najma mengikutinya langkah demi langkah pria itu dari belakang menuju tempat yang ingin ditunjukkan. Dari belakang pria ini seperti orang yang pernah dikenalnya, entah siapa. Rambutnya terlihat baru dipangkas beberapa hari lalu, potongannya rapi dan tak banyak macam-macam.

Lantai yang baru  dilewati Najma basah tertetesi air dari sekujur tubuhnya, tak terkecuali kursi yang baru saja ditinggalinya. Najma sedikit melangkah berjingkat menghindari licin melewati ruang makan dan ruang bersantai. Kesan berantakan langsung terlihat, sendok yang sudah tersisih dari atas piring bekas makan malam terhampar begitu saja. Tumpukan kertas dan alat tulis saling berdampingan dengan gelas minum yang setengah terisi. Tiga buah buku tak seberapa tebal berserak di sudut meja makan itu dengan alas kaca yang buram. Hanya beberapa langkah sebelumnya Najma melewati ruang bersantai yang tidak berpartisi dengan ruang makan. Keadaanya tidak lebih baik dari ruang makan, bantal yang masih berserak di depan televisi yang masih menyala dengan suara rendah. Buku-buku lebih berserak di situ, didominasi oleh bacaan politik. Ada beberapa judul yang ditangkap mata Najma;  sosialisme religius, biografi politik Sukarno dan beberapa novel karya Dan Brown.

“Namaku Najma,” celetuknya dalam langkah yang berjingkat di belakang pria itu. Ia tak habis pikir, ia telah menghabiskan sekitar sepuluh menit waktunya di rumah ini tanpa tahu siapa nama pemilik rumah. Sedari tadi ia berharap lelaki ini yang lebih dahulu mengeluarkan kata-kata yang diharapkannya, setidaknya sekedar menyebut nama. Najma sendiri ragu di awal penyebutan nama tadi, haruskah menyebut nama di depan - atau lebih tepatnya di belakang posisi berdirinya- orang yang kaku dan seolah tak perduli siapa lawan bicaranya.

“Aku Langit,” jawab pria itu tanpa menoleh. “Ini kamar mandinya, silahkan” ujar langit sambil langsung berbalik arah meninggalkan Najma yang masih terheran-heran mendapat perlakuan tak biasa di malam yang tak biasa pula.

Najma memasuki kamar mandi setelah membuka pintunya terlebih dahulu. Warna biru mendominasi di sini. Porselen berukuran kecil di susun mozaik dan acak dengan gradasi biru menempel di separuh bagian dinding. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat bak mandi setinggi pinggang yang tak terlalu besar, berwarna biru langit. Tepat berhadap-hadapan dengan pintu masuk, sebuah kloset duduk berwarna biru laut yang terlihat terawat dengan baik. Meski tak terlalu besar, secara keseluruhan kamar mandi ini bersih dan tak mengecewakan baginya. Sebelumnya ada perasaan khawatir akan keadaan kamar mandi setelah melihat ruang bersantai dan meja makan tadi. Najma tipe yang cukup pemilih untuk memasuki kamar mandi, sesulit memilih jodoh baginya. Tapi, apakah ia punya pilihan dengan kondisi kamar mandi dalam keterisolasian badai ini? Ini semua melebihi bayangannya, meski tak ada bathtub dan air panas. Ini bukan hotel, gumamnya menghibur diri.

Ia melepas pakaiannya, mengamatinya lagi sekilas lembar demi lembar pakaiannya yang sudah tertanggal, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilewatinya. Badai yang tak kenal ampun, guntur yang terus menyalak disertai petir yang membelah kegelapan, angin yang terus mengaduk-aduk rumpun semak, dentuman pohon yang terjungkal hingga ia terdampar di tempat manusia kaku tanpa senyum.
 Originally By : Langit Mularto..

Ilustrasi ; berandahati.com
                fineartamerica.com
                rumahhangat.wordpress.com

Rabu, Agustus 03, 2011

PULANG

BY: MULARTO

Muntamah, seorang janda, sedang duduk di beranda. Ia sedang sarapan pagi yang berupa nasi liwet, ditemani anak tetangganya yang berusia enam tahun, anak perempuan Harsono satu-satunya. Anak itu hanya diam termangu, dengan matanya yang cantik terbuka lebar penuh ingin, mengikuti gerakan tangan wanita tua itu menyuap sisa nasi yang tak seberapa. Ketika akhirnya nasi itu habis tak bersisa, perempuan itu memandang dan berseru kepadanya, “Oh Tuhan... Nak, tak ada lagi buat kamu! Sama sekali tak punya pikiran aku ini.”
Namun, tidak lama. Ibunya memanggil dari dalam rumah, “Buat apa kamu berlama-lama di situ? Masuk sini!”.
Muntamah menjawab, “Tak apa, Ratih. Biarkan ia duduk-duduk di sini denganku. Desi sama sekali tak menggangguku.”
“Jangan!” kata Ratih ketus. “Tidak baik seperti itu, Desi mengamatimu penuh ingin waktu makan. Saya tidak senang anak saya seperti itu. Ayo, cepat masuk, Desi.”
Anak itu bangkit dengan takut dan bingung, lalu masuk ke dalam rumah.
Satu dasawarsa lalu, Harsono datang ke tanah ini membangun sebuah rumah kecil, di sisi bangunan reot Muntamah. Harsono bekerja di kota besar sebagai pesuruh dan hanya mampu pulang tiga bulan sekali. Ia mempunyai anak perempuan kecil, Desi. Muntamah senang sekali dengan anak itu. Ia tak menginginkan kegembiraan yang lain lagi dihidupnya yang miskin ini. Desi adalah jalan untuk membuatnya bahagia dan senang, di masa hidupnya yang tak tersisa banyak lagi.
Tetapi jalan kebahagiannya itu tak selalu mudah terlaksana. Istri Harsono seorang yang cantik, dengan sikap yang tak pernah menentu. Ratih tidak begitu senang melihat perempuan tua itu. Muntamah adalah tetangga terdekat keluarga itu. Harsono selalu berbaik hati pada janda renta itu, namun tidak bagi Ratih. Baginya, Muntamah hanyalah seorang wanita tua yang sekedar biasa duduk di teras rumahnya dan menghabiskan sebagian makan keluarga mereka. Sebenarnya banyak tetangga yang silih berganti menanggung hidupnya, tapi Harsono merasa mempunyai tanggung jawab karena wanita itu hidup di depan matanya.
Minggu-minggu ratih banyak dihabiskan bertengkar dengan nenek tua itu meski disebabkan oleh perkara yang sepele. Seringkali akibat pertengkaran itu Muntamah mengancam akan pergi dari rumahnya sendiri dan berkata “Nyonya Harsono, aku akan pergi. Entah apakah aku akan kembali atau tidak ke rumah ini lagi.” Meski setelah kata-kata itu terucap ia merasa sedih dan berat menggelayuti kakinya untuk melangkah.
Biasanya, Muntamah hanya melewatkan sepanjang harinya di pos ronda di sudut desanya. Menjelang senja mengintip, Desi yang menyadari ketiadaan wanita tua itu mulai menjemputnya, menarik lengan wanita renta itu. “Nek, pulanglah. Nanti saya bilang Ibu untuk tidak bertengkar lagi dengan Nenek. Ayolah Nek, pulang!” Dalam temaram petang itu kembaliah ia ke rumah dalam cengkeraman lengan anak itu.
Ratih dengan judes menolehnya jika Muntamah telah kembali dari pengembaraan sesaat itu. “Hmm... kembali juga si tua itu rupanya. Mungkin sudah tak ada lagi piring-piring yang tersedia di rumah tetangga untuknya. Dasar tak tahu malu.”
Di sisi utara rumah Harsono itulah wanita tua itu tinggal. Di sebuah gubuk beratap seng yang lebih banyak titik bocornya di sana-sini. Hari-hari Muntamah dihabiskan di depan mesin jahit. Tak jelas apa yang dijahitnya, hanya gombalan sobek yang dibuatnya menjadi alas tidurnya. Sekali waktu dibongkarnya kembali jahitannya itu dan coba kembali disusunnya. Di satu sudut dari ruangan itu terhamparlah tikar plastik yang sudah usang dan sejumlah selimut wool yang kusam. Tempayan yang menjadi kebanggannya dipenuhi beras pemberian tetangga. Di sisi-sisi tempayan itu berturut-turut sebuah jambangan yang berisi minyak sayur dan kemudian garam serta gula.
Hampir tak pernah Ratih menginjakkan kakinya di gubuk wanita tua itu, meski hampir setiap senja Desi hadir di sana dan duduk berjam-jam untuk mendengarkan dongeng-dongeng Muntamah. Sering Desi sudah mendengar cerita yang sama berulang-ulang tanpa rasa bosan. Tapi seringkali gadis kecil itu yang memaksa cerita yang berulang.
Bagi Muntamah, bertahun-tahun ia tak menemukan lawan yang gigih untuk mendengar dongeng masa mudanya, dan sekarang ia bisa mengulang ingatannya yang berserak di tepi kepalanya, dengan cara inilah ia menjadi tidak pikun. Di tengah cerita, seringkali Muntamah menatap senyap kepada anak ini dengan senyum bahagia. Hingga menjelang malam Desi segera bangkit menyadari akan ada teriakan dari ibunya kalau ia tak segera bergegas.
Suatu pagi di akhir bulan Juni yang ramah, seorang wanita bernama Titi yang memiliki warung kecil di pertigaan jalan desa itu datang menghampiri pekarangan Ratih yang sedang menyapu dan berseru kepadanya. “Ratih, kamu harus membayar aku dua puluh ribu rupiah.” Katanya ketus, “aku ke sini untuk menagih hutang wanita itu yang telah mengambil sejumlah barang dariku. Katanya, aku bisa menagihnya padamu.”
Senyum yang semula bersahabat di bibir Ratih sekejap memudar berganti seringai kesal. Di hadapannya sekarang adalah Titi, seorang pemilik warung yang terkenal kikirnya. Ratih semakin menjadi kekesalannya ketika Titi makin mencibirnya, “Apa kamu kira aku bohong? Coba tanya ke wanita tua itu, kalau kamu tidak percaya padaku.”
Ratih marah sekali, sehingga hanya dapat tercenung tanpa berkata-kata, lalu pergi ke gubuk itu melabrak Muntamah. “Nenek tua!” Kecamnya. “Apa kamu pikir mencari uang itu mudah? Titi bilang kamu membeli sejumlah barang darinya. Apa saja barang itu? Hari ini dua puluh ribu, kemaren lima ribu, minggu lalu dua belas ribu lima ratus. Apakah kamu pikir aku akan begitu mudah mendapat uang untuk membayar sesuatu yang kamu beli? Kamu tidak malu membeli bukan dengan uangmu sendiri?”
Wajah tua Muntamah yang berkerut sekejap pasi dan semakin mengkerut. “Aku tak akan lama lagi di sini, tolonglah dibayar. Hanya untuk kali ini.”
“Uang, uang dan uang. Selalu itu yang kamu kuras dariku. Tak pernahkah kamu berpikir yang menyenangkan kami? Bukankah kamu punya panci, piring, gelas yang bisa kamu tukarkan? Kenapa kamu tidak menjualnya?”
Desi yang mendengar pertengkaran itu dengan segera berlari menuju warung Titi. “Nenek itu sudah sangat tua. Ia sudah merepotkan ibu Titi. Dengarlah bu, aku punya sepuluh ribu rupiah dalam kotak rahasiaku. Saya akan memberikannya kepada ibu jika semua sudah tidur. Tapi Ibu harus berjanji tidak mengatakan ini pada Mama, aku ambil uang itu malam nanti tanpa sepengatahuan Mama dan akan aku bawa ke Ibu.”
Matahari belum tepat di atas kepala saat Muntamah meninggalkan rumah. Tangan kanannya yang renta memegang kantong plastik merah berisi selimut, sedangkan tangan satunya tampak tergopoh memegang jambangan yang entah apa isinya.
Desi meneriakinya, “Nenek, jangan pergi meninggalkan kami. Jangan. Kemana Nenek akan pergi?” Anak itu berlari mengejar wanita tua itu dan menarik-narik lengannya. “Kalau Nenek pergi, aku akan menangis.”
Ratih yang melihat semua itu berteriak dari beranda. “Pergilah jika itu inginmu. Tidak ada yang akan menahanmu.” Perempuan tua itu tiada menoleh sekalipun Desi berlari sepanjang jalan setapak itu dengan isak yang masih tersisa. “Tak usah kau kejar Nenek itu Desi. Jika ia tau berterimakasih tak seharusnya ia berbuat seperti itu. Hidupnya selama ini telah ditanggung ayahmu. Semestinya ia pertimbangkan itu semua.”
Banyak tetangga yang bersimpati padanya dan ingin menampung di rumahnya. Sempat Muntamah tinggal seminggu bersama keluarga Widodo, di barat desa, kemudian ia berpindah ke rumah Hartaji, dan sesudah itu ke rumah keluarga Putu. Mereka mula-mula menunjukkan kebaikan yang luar biasa, namun sambutan selalu berubah menjadi hambar setelah minggu demi minggu berlalu, hingga dengan berbagai cara, rasa bosan mulai ditunjukkan kepada wanita itu. Setiap awal minggu ia berharap Harsono datang menjemputnya dan memintanya pulang, tapi tak seorangpun datang, bahkan Desi pun tidak. Wanita tua itu coba meyakinkan dirinya bahwa tak mungkin anak seumurnya berjalan jauh dari rumahnya untuk mencarinya. Sekali-dua ia sengaja melintas di depan rumah keluarga Harsono dengan harapan anak itu melihatnya, namun, sekedipan matapun ia tak menjumpainya.
Ia mulai sadar, tak ada yang dapat menampungnya lagi karena semua dari mereka tak ada hubungan kekerabatan yang dekat, tak ada yang mau menerima orang lain di rumahnya sepanjang hidupnya. Di desa tetangga ada sebuah pondok beratap ilalang di sudut utara desanya. Pondok di tengah ladang milik keluarga Warsidi, tetapi sekarang sudah kosong. Pondok itu kecil sekali. Dindingnya terbuat dari gedek bambu dan letaknya persis di tengah ladang dan terpisah dari rumah-rumah yang lain.
Beberapa tetangga masih sesekali memberinya makan, meski tak serutin dulu. Tetangga yang lain coba merayu Ratih untuk mengajak wanita tua itu pulang. “Aku tak peduli. Apapun yang terjadi aku tak akan menerimanya kembali di sini.” Selalu ucapan nyinyir itu yang terucap di bibir Ratih. Hari-hari pertama, beberapa keluarga telah berniat baik mengiriminya segala sesuatu yang mungkin diperlukannya, tetapi sedkit demi sedikit minat mereka itu menyusut, dan mulailah perempuan tua itu kekurangan. Wanita tua itu mulai meratapi kesulitannya. “Tak ada yang menyuruhku pergi dan Desi pun menangis sambil menahanku.” Air mata menuruni pipinya yang cekung.
Matahari menyengat di bulan Juli yang panas. Udara terasa pengap di dalam rumah, sekalipun menjelang sore angin mulai bertiup hanya sedikit saja menyingkirkan panas yang masih banyak tersisa. Muntamah telah berjalan keliling desanya berpanas-panas dengan pengembaraan yang berujung keputus-asaan dari rumah ke rumah, dan ketika ia kembali ke pondok senja hari, ia menderita demam. Ia menggelar tikarnya di halaman pondoknya yang teduh dengan tenang. Di dekatnya kepalanya terdapat poci tanah berisi air. Demam telah membuatnya begitu haus hingga ia beberapa kali meneguk air dari poci tersebut.
“Nek!” Muntamah menoleh dan mengangkat kepalanya akibat seruan itu. Desi datang dengan membawa sesuatu terbungkus dalam kain. Lemah sekali sahutan Muntamah menjawab panggilan anak itu, tetapi ia masih sanggup mengulurkan tangannya yang kurus itu kepada Desi dan mendekapnya dengan kasih sayang. Desi membuka bungkusan kain itu. “Ini kue talam, nek. Aku membelinya di pasar dekat rumah pagi tadi.”
Muntamah duduk tegak lalu mulai menyentuh kue yang dibawa Desi dengan tangannya yang lemah. “Coba nenek lihat,” katanya lemah. “Darimana kamu dapatkan semua ini, sayang.”
“Aku menabung seminggu ini, Nek,” ucapnya lirih. “Nenek makanlah!” Ketika percakapan itu mengalir beberapa saat, Desi baru menyadari sesuatu, “Nek, badanmu panas sekali.”
“Sepanjang hari ini aku berputar-putar keliling desa. Oleh karena itu badanku sedikit demam. Biarlah aku berbaring sebentar.”
Desi hanya seorang anak, namun ia begitu tahu apa yang menyebabkan neneknya bepergian di bawah terik mentari. Ia membelai tubuh tua itu dengan penuh kecintaan yang kini mengkerut karena kesulitan dan kemiskinan. “Nenek pulang ya!” katanya, “tak ada lagi yang mendongeng di senja hari. Pulanglah Nek!”
Muntamah gembira sekali mendengarnya. Memang itu yang diharapkannya selama ini, hingga ia tak dapat menyembunyikan gelembung bahagianya itu. “Ibumu telah memintaku pulang?” katanya bersemangat.
“Tidak, Nek,” jawab Desi. “Tapi meski begitu, pulanglah Nek. Ia akan memaafkan semuanya. Nenek harus bicara padanya.”
Desi pulang diiringi lembayung senja dengan kegembiraan menunggu esok hari yang dijanjikan Muntamah untuk kembali ke rumah.
Malam itu seorang datang dari sisi lain dengan tergopoh-gopoh membawa pesan untuk Harsono. Namun tak dijumpainya Harsono di rumah itu, hanya Ratih yang memandangnya dengan penuh tanya. “Di mana suamimu? Apa dia tidak ada di rumah? Nenek itu... Ia sudah berkeliaran sepanjang hari di bawah panas matahari, kini ia hanya terbaring saja di luar pondok di tengah ladang Warsidi.”
Beberapa tetangga sudah berada di pondok yang hanya diterangi sentir. Satu-dua orang duduk di dekat wanita tua itu dengan menggosokkan minyak pada dada dan punggungnya. Muntamah membuka mata, tetapi hanya tatapan kosong tanpa daya yang dihasilkannya ketika ia menoleh ke beberapa orang itu. Warsidi menuangkan sedikit air ke mulut wanita itu, tetapi tak sedikitpun terhisap ke dalam mulutnya.
Wanita tua itu semakin tenggelam dengan cepat dalam ketiadaan. Warsidi menutupkan kelopak matanya yang mengalir sebutir air mata dari ceruk matanya yang cekung dan terus turun ke pipinya yang berkerut. Hingga kemudian Muntamah menuruni jalan yang belum pernah ia injak sebelumnya. Jalan kembali padaNya.



Jatinegara, 27- Juli- 2011

Jumat, Maret 04, 2011

PUAN dan TUAN

By; MULARTO
Sangat tidak gampang, dan sekali lagi sungguh sulit mempercayai apalagi mencintai partai politik di Indonesia. Meski di awal mereka-mereka sangat memberi harapan, membuat mimpi-mimpi kita bertambah menunya. Seluruh harapan dari yang termewah hingga tertinggi kita gagas dengan mempertaruhkan nasib kita. Ketika kemudian pada suatu hari harapan itu melambai terbawa angin, sebagian kita hanya mampu mengeluh dan sebagian lainnya mengumpat. Namun toh kepercayaan kita kepadanya tak kunjung surut. Maka betapapun memuakkan partai-partai, yang kita lakukan adalah justru memperbesar rasa percaya kita kepadanya.
Saya hanya ingin memberi sebuah gambaran bahwa di semua bidang dan setiap pendidikan, sangat banyak di antara kita yang bermain-main dengan nasib bangsa kita sediri. Dan yang paling menjengkelkan adalah bahwa yang dipermainkan adalah nasib rakyat, dengan subjek utama adalah kekuasaan. Sangat tidak logis bahwa ada sejumput manusia yang meyakini bahwa ia memegang kekuasaan dan lantas memain-mainkan kekuasaan itu tanpa pernah puas. Termasuk mengutak-atik kue menteri hanya untuk transaksional politik.
Reshuffle mungkin saja bukan penerapan kekesalan SBY. Peralihan jabatan menteri mestinya bukan sesuatu yang emosional, yang menyangkut like and dislike untuk menyingkirkan musuh dan merangkul calon kawan. Reshuffle seharusnya juga bukan bagaimana mendukung orang kita sendiri dan menumpas kelompok lain. Terkecuali kita ingin membentuk budaya kuasa yang dengan sengaja mempertahankan ketidakdewasaan dalam memahami hakiki kehidupan manusia.
Reshuffle yang dewasa adalah peralihan tugas yang berfokus pada objektivitas berpikir tentang apa yang terbaik bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Reshuffle yang baik dilihat dari hasil-hasil kerja yang adil dari suatu mekanisme sistem demokrasi. Tidak berlatar-belakang dengan apakah si calon penerima jabatan yang baru nanti anak ketua umum partai, atau teman yang telah berjasa selama masa kampanye. Reshuffle yang arif adalah pemihakan terhadap kemungkinan kedepan yang terbaik bagi nasib seluruh bangsa.
Bangsa ini sudah terbiasa selalu menengok sejarah, hingga kalau ada seseorang yang menonjol di masyarakat, yang pertama-tama ditilik adalah, siapa bapaknya? Sedemikian pentingnya sejarah asal usul dan ilmu asal usul. Mungkin karena setiap peran sejarah membutuhkan identifikasi yang mendasar dan lengkap. Siapakah Puan? O, beliau putri Megawati, presiden kelima Republik ini. Beliau juga cucu Bung Karno, presiden pertama Republik ini. Dalam artian silsilah kuasa Bung Karno belum selesai.
Saya begitu yakin, bahwa PDIP yang paling menunjukkan identitasnya sebagai partai oposisi, yang memakai label demokrasi sebagai wajah utamanya, selalu ingin berkubang keringat bersama pendukungnya. Dan saya –sebagai rakyat non simpatisan- berharap bahwa Puan bukanlah Tuan. Meski kekuatan dan kelemahan Puan adalah bahwa ia putri Megawati dan cucu dari mendiang Bung Karno. Jika menilik ilmu ginekologi, kita akan berpikir justru karena ia anak Megawati dan cucu Bung Karno maka terdapat kapasitas dan kualitas yang bisa memenuhi harapan. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Partai seharusnya menetapkan benang merah komitmen oposisi atau koalisi. Kalau partai lain bicara muluk tentang angka statistik pendapatan perkapita dan angka kemiskinan, harus ada partai langsung mencium keringat buruh dan manusia-manusia bantaran sungai dan pinggir rel kereta sebagai muntahan-muntahan kebobrokan zaman. Setiap ada kesemrawutan sistem politik, atau berlangsung manipulasi angka dan pekikan dan desahan ketidakadilan sosial dan kultural selalu menjadi komoditas partai oposan untuk maju mengkritisi.
Seharusnya partai bukan partai setengah-setengah, yang tak sunguh-sungguh melihat potret nasib rakyat yang selalu menjadi oposan terhadap pimpinannya sendiri. Partai seharusnya juga partai yang identitasnya jelas dan tegas yang mem”bantengi” dirinya dengan realitas budaya politik oposan. Memang kita punya idealitas bahwa acuan partai hendaknya bukan lagi baju dan latar belakang primordial, melainkan rasionalitas aspirasi dan program-program.
Kita memilih ada partai-partai transaksional yang kemudian didisiplinkan untuk nasionalisme oleh sejarah. Kemudian pilihan kita jatuh pula pada partai-partai yang demokratis tetapi realitasnya mengabdi tidak saja kepada golongannya melainkan juga harus dilengkapi dengan kepentingan kelompok kecilnya, bahkan kepada keperluan karier politik pribadi.
Diangkat-angkatnya Puan untuk menjadi kandidat –meminjam istilah Ahmad Mubarok- menteri ringan bisa kita anggap sebagai potret lugas dari natural politik pencitraan bangsa ini. Jika Puan dengan begitu saja dibawa Tuan, maka si Tuan akan menentukan akan dibawa lari kemana Puan, Karena jika Puan suatu saat langkahnya ingin mengikuti “garis kongres” (oposisi) maka siap-siap akan diusir dari Tuan yang mempekerjakannya.
Jadi silakan PKB, PPP dan PAN menghuni koalisi dan nyaman dari perombakan kabinet. PDIP tak usah ikut-ikut capek merebut kue kecil itu, tugas mereka adalah menjadi pemain bebas di lapangan untuk mengembangkan hak asasi politik bangsa agar tidak begini-begini saja. Dan harapan sekaligus pesimisme saya kembali muncul mengingat bangsa ini telh terbiasa mempunyai sifat multipolar. Seandainya pagi ini tidak, lihat saja nanti sore. Jadi jangan kaget jika kita melihat mata banteng yang telah membiru.

Jumat, Februari 18, 2011

MALAM JUM’AT DI BULAN PUASA

By: Mularto

Lonceng stasiun besar senen telah berbunyi, suara announcer memberitahukan kedatangan kereta ekonomi jurusan Semarang yang sejak satu jam tadi kami tunggu. Kereta bertarif Rp. 36.000,- ini sudah menjadi langganan kami setiap pulang ke kampung halaman.
3 jam lalu, tepatnya menjelang maghrib, Pak Lik Gino mengabarkan meninggalnya Kakek. Tanpa tunggu waktu lebih lama, aku dan ibu langsung berkemas. Kami pun melupakan waktu berbuka puasa kami. Ayah terpaksa tak bisa ikut. Stroke menyerangnya sejak setahun lalu. Konon kakek meninggal juga karena stroke. Gumpalan darah membanjiri otaknya, hingga saraf kanannya tak berfungsi. Stroke yang diderita Kakek lebih lama dan telah berulang kali terjadi dibanding yang terjadi dengan Ayah.
Deru lokomotif telah bersiap menarik sembilan gerbong yang terangkai di belakangnya. Kami menempati gerbong ke tujuh, persis di belakang gerbong restorasi. Suasana hiruk-pikuk pedagang keliling beradu dengan penumpang mengisi lorong gerbong. Suara gaduhnya mencirikan kelas ekonomi, kelas marjinal perkotaan, apa boleh buat, inilah kelas yang sanggup kami bayar.
Tak lama kereta ini berhenti menunggu penumpang, hentakan pertamanya sedikit mendorong penumpang. Goncangan ini seperti teredam oleh suasana emosional ibu. Sejak dari rumah tadi Ibu tak kunjung bersuara. Raut muka sedihnya terpancar meski airmata tak juga terlihat. Ibu sangat diharapkan kedatangannya, ia anak tertua dan paling berpengaruh dari delapan adiknya yang masih hidup. Ibu juga yang tinggal paling jauh dari keluarga besar kami, seluruh adiknya tak ada yang hidup merantau.
Aku hanya merekam sedikit nostalgia dengan Kakek. Beliau abangan, setidak begitu dikotomi yang dikemukakan Clifford Gertz, meskipun aku tak pernah mendefinisikan spt itu. Kakek memang tidak pernah shalat lima waktu, namun beliau lebih sering bercerita tentang ratu adil yang akan datang suatu hari nanti untuk menggantikan goro-goro belakangan ini. Cerita ini mirip yang dikembangkan kaum Bathiniyah tentang Imam yang ma’shum.
Sebagai petani desa, Kakek banyak bercerita tentang filosofi alat bajak sawah. Semua unsur bajak sawah disebutnya satu persatu, dari mulai kajen, cekelan, singkal hingga racuk.
“Cekelan yang kamu pegang ini adalah pegangan hidupmu di dunia, sementara racuk yang di ujung sana adalah tujuan hidup yang paling sempurna,” ujarnya berapi-api. “Singkal yang di bawah ini adalah cara yang dapat diterima akal budi manusia,” lanjut Kakek. Aku hanya melongo mendengarkan tanpa tahu maksudnya waktu itu. “sementara pacul yng kakek pegang ini untuk membuang jauh-jauh segala sesuatu yang tidak sesuai. Bawak yang melingkar ini adalah obahing awak atau amalan masa hidupmu. Sementara doran yang Kakek pegang ini adalah dedonga marang pangeran, berdoa kepada Gusti,” sambungnya.
Kakek yang tak fasih berbahasa Indonesia, merasa telah cukup mengambil pelajaran dari alam. Menurutnya agama adalah pakaian dari orang-orang yang terhormat, sementara kakek menyebut dirinya hanya seorang petani. “Kakek bukan tidak butuh agama. Hidup kakek hanya berlandaskan tiga hal; keluhuran, kesejahteraan dan ilmu pengetahuan. Bila tidak memiliki satu di antaranya, habislah arti sebagai manusia,” nasihatnya waktu itu.
Terakhir kali kami kunjungi kakek terbaring tak berdaya di rumah adik pertama ibu. Tegap dan kekar tubuhnya masih tersisa. Matanya masih bercahaya. Kulit di pipinya masih terlihat kencang dan bersih tak tergambar seorang pria berumur 70-an. Bicaranya pelan, sangat pelan dan terbata. Daya ingatnya tajam, dengan mudah ia mengingat Wisnu, cicitnya, keponakanku.
Konon ia selalu bertanya tentang Wisnu, meski keponakanku itu hanya pernah berkunjung sekali. Pernah bu likku dibuat repot karenanya. Dalam ketidakberdayaan itu, kakek bersikeras ingin ke Jakarta, mengunjungi Wisnu, tetapi tubuh lemahnya yang mencegahnya. Sayangnya kepada Wisnu ia tunjukkan beberapa bulan lalu ketika kami berkunjung untuk menghadiri pernikahan adik wanita ibu yang terakhir. Seolah tubuh bocah lima tahun itu tak ingin dilepasnya. Wisnu sendiri merasa setengah risih dengn perlakuan itu. Ucapannya tak mendapat respon dari Wisnu. Sangat pelan dengan bahasa jawa yang tak akrab di kuping Wisnu.
***
Ibu masih tersandar mematung di sudut kursi hijau kereta. Tatapannya kosong. Di luar terlalu gelap untuk dipandang oleh matanya yang terlihat mengantuk. Hilir mudik pdagang menawarkan barang tak dihiraukannya. Kerut merut di kening sangat jelas terlihat. aku tak punya keberanian untuk mengajaknya bicara. Setetes airmata mengalir dari rongga pipinya. Tetes air mata itu coba dihapus dengan dengan punggung tangannya. Kali ini tatapannya masih dibuang keluar. Wajahnya beradu dengan jendela kaca. Suara sirene perlinatsan kereta tak jua membuatnya kaget.
Tak ada interaksi antara kami dengan penumpang lainnya. Gerbong ini sepi. Kursi di depan kami kosong, juga di samping. Di seberang depan kursi kami duduk seorang pemuda yang sedang mengepulkan asap rokoknya. Kursi panjang berkapasitas tiga penumpang itu didudukiya seorang diri, sama seperti kami. Aku coba merebaahkan diri di kursi panjangku dengan kepala diganjal jaket. Pedagang masih tetap tak tahu lelah yang menggelayuti kami. Disaat seperti ini aku sangat rindu kamarku. Meskipun tak pernah rapi, namun terasa nyaman.
Pukul dua dini hari ketika kereta transit di stasiun Tegal. Penjaja makanan berdesak masuk, melalui pintu selebar satu meter. Beberapa orang petugas kereta didampingi seorang polisi memeriksa karcis seraya mengingatkan waktu sahur. “Kereta berhenti dua puluh lima menit, sahur....sahur...” teriaknya mengisi lorong kereta. Aku pun bergegas turun mencari warung nasi. Makanan yang dijual di atas kereta tak mungkin cukup sebagai santapan sahur. Sejumput mie sebagai pelengkap segenggam nasi dihargainya dua ribu rupiah. Cukup mahal untuk porsi seperti itu.
Tak seperti dugaanku, ternyata di luar stasiun kota ini masih riuh kehidupan. Berjajar barisan becak selalu setia menunggu penumpang. Satu persatu pemiliknya mulai menyambangiku. Aku diam, tak sepatah kata keluar dari mulutku untuk menerima atau menolak ajakannyanya. Aku seolah merasa tidak asing di luar sini. Ada satu penumpang lain yang mmepunyai tujuan sama denganku, mencari santapan sahur. Orang yang tak kukenal ini mengajakku ke arah utara, sekitar 30 meter dari pintu stasiun. Tampak dari kejauhan kios makan padang bersebelahan dengan warung makan Tegal. Dua bungkus nasi aku pesan dari warung makan Tegal ini, sementara seorang teman yang tak kukenal namanya ini lebih tertarik dengan nasi Padang sebagai teman santap sahurnya.
Bungkus nasi kuletakkan di meja kecil di depan ibu. Kutawari dia. Tangannya membuka bungkusan itu. Santapan pertama sejak di rumah tadi langsung tersimpan di perutnya. Perlahan kunyahan demi kunyahan diresapinya. Sementara aku memilih untuk menunggu dekatnya waktu imsak. Kereta melaju seiring kegundahan ibu. Angin yang bertiup melalui jendela yang terbuka menghalau bau pesing yang menyeruak masuk dari toilet. Gerbong ini terus menguncang-guncang tubuh kami. Guncangannya mungkin sama yang dirasakan ibu saat menerima telepon tadi.
Lamunanku buyar ketika kereta berhenti di stasiun Comal, dua belas kilometer arah timur Pemalang. Santapan sahur ku buka. Porsinya cukup mengenyangkanku, meski ku tak yakin puasaku sampai hingga maghrib nanti. Dua jam lagi perjalanan ini berakhir. Hal yang sangat menjemukan untuk bertahan lebih dari dua jam lagi di sini.
Suatu yang paling menyenangkan jika tiba di stasiun Batang, kota setelah Pekalongan yang akan kami lewati, sebab lima kilometer setelahnya kereta akan melintasi pesisir pantai utara bertepatan dengan waktu matahari terbit. Aku pasti telah bersiap di sisi pintu yang selalu terbuka untuk menyongsong waktu itu. Pintu ini memang selalu terbuka, sebuah “keistemewaan” yang tak akan kita dapat di kereta kelas bisnis atau eksekutif. Deburan ombak menjilat-jilat bibir pantai. Bau amis penghuni laut tersapu laju kereta. Di batas cakralawa, surya mengintip melalu bilik-bilik awan yang menjingga. Semburat cahayanya menghampiri sesuatu yang tak tersembunyi. Di kejauhan bahtera di goyang angin, mencoba mengurungkan niat pemiliknya untuk mencari nafkah.
Di selatan berdiri kokoh bukit berdinding semak dan pohon-pohon nan lebat. Perjalanan melelahkan ini sejenak terlupa oleh satu-satunya fasilitas perjalanan kelas ekonomi ini. setelah melalui pemandangan menakjubkan ini tibalah waktunya kami turun di stasiun Wleri. Stasiun kecil di barat kota Semarang. Kami masih harus menyambung menaiki tiga kali angkutan desa untuk sampai di rumah kakek di desa pikatan, di balik punggung gunung yang tak pernah ku tau namanya. Namun, aku harus sabar menunggu dua jam itu.
***
Pijakan pertama kakiku menyentuh tanah becek, samping gapura desa. Sebuah desa santri dengan penduduk yang sangat agamis. Agak kontradiktif degan kakek yang abangan. Pesantren di desa ini baru berdiri sekitar 15 tahun lalu. Jauh sesudah kakek hidup, belajar dari alam dan berprinsip. Rumah kakek sudah terlihat di ujung jalan becek ini.
Di depan rumah sepi, tiada kesan rumah duka. Hanya kerabat yang menyambut kami, tanpa warga yang bergugur-gunung, tanpa sesepuh pengurus jenazah, seperti biasanya. Rangkaian bunga melati dikerjakan oleh sepupuku. Pak lik Yanto memotong kayu untuk dijadikan nisan di makam nanti. Praktis semua dikerjakan sendiri. Begitu masuk ruang depan ibu disambut sedu sedan keluarga besar kami. Suasana begitu diselimuti haru saat ibu menghambur ke tubuh jenazah kakek.
Di depan jenazah ada seorang yang belum kukenal, namun sepertinya seorang kiai, setidaknya terlihat dari identitas pakaiannya. Nenek dan Pak lik Gino sedang bercakap dengan kiai itu. Aku berinisiatif mengaji di depan jenazah kakek, sebagai bentuk dharma bakti terakhir. Pak Kiai mendekatiku seraya menepuk pundak kananku, “kakekmu orang baik, meninggal malam jum’at di bulan puasa,” ucap pria setengah baya itu setengah berbisik.
Nenek memperkenalkan orang ini kepada kami, “ini, Kiai Fachruddin, ustadz baru di pesantren depan,” ujar nenek. Aku ulurkan tanganku seraya menyebutkan namaku. Ibu masih memeluk kakek. Diusapnya wajah kakek yang pucat. Air matanya menitik, jatuh tepat di atas kapas di lubang hidung kakek. Ia menumpahkan segala kebekuan selama di perjalanan. Air mata terisak yang tak pernah memicu raungan tertumpah di depan enazah kakek.
Selepas shalat jum’at jenazah dihadapkan ke liang lahat. Kiai Fachrudin memberikan kesaksian bahwa jenazah kakek orang baik, karena meninggal di malam jum’at bulan puasa. Kiai Fachruddin meminta kesaksian warga untuk mendukung kesaksiannya. Warga yang didominasi santri itu terlihat malas-malasan menjawab dan tidak antusias mengatakan khair. Salah satu santri memberanikan diri berkata, “Mbah Djati bukan santri seperti kita kiai.”
Kakek diidentifikasikan sebagai orang non santri. Jenazah kakek dimasukkan ke liang pengasingan dari peradaban monolitis kaum santri Jawa.