Jumat, Desember 30, 2011

Aku Ingin Memelukmu.

By : Langit Mularto

Aku ingin memelukmu dalam diam
Yang menyenandungkan lagu shalawat terpendam
Hingga kita lemah di ujung senja yang padam
Namun cinta tetap mengalun menganyam

Aku ingin memelukmu dalam tawa
Yang menggelembungkan bahagia kita
HIngga kita terkekeh dalam kerapuhan masa tua
Namun cinta kan tetap ada

Aku ingin memelukmu di kala sepi
Bersenandung Alif, Ba,Ta sambil mengaji
Hingga kita ringkih menatap pelangi
Namun cinta tetap di sini

Aku ingin memelukmu dalam angkara
Yang melumat dan meluluh-lantakkan jasad kita
Hingga nyawa terberai dari raga
Namun cinta kan tetap ada.

Senin, Desember 12, 2011

DEMOKRATISASI ROKOK

By : Langit Mularto


Wak Haji Abdullah, seorang kiai desa yang namanya tak setenar A'a Gym dan hanya berkecimpung sebagai marbot masjid -entah masjid NU atau Muhammadiyah- ternyata mempunyai pengalaman spritual yang mungkin sama dengan Gus Dur. Ketika seorang keponakannya mengaji dan mengajak berdiskusi tentang berbagai masalah sepele sampai rumit, Wak Haji dengan enteng menjawab seraya berseloroh gaya Gus Dur kiai panutannya itu "Begitu aja kok repot."

Pertanyaan-pertanyaan yang sering terlontar seperti ; hukum pacaran, melihat gadis tetangga sebelah dengan pakaian minim, sampai mencuri sesuatu demi anak yang lapar tidak luput ditanyakan keponakan itu. Tak lupa Wak Haji menjawabnya dengan diakhiri kalimat sakti tadi. Mungkin Wak Haji tadi ingin mengikuti jejak idolanyaitu sebagai kiai yang sulit dipahami, sehingga jawabannya pun nyaris tak dipahami orang sekelilingnya apalagi keponakannya yang masih bau kencur.

Pada suatu hari sang keponakan bertandang ke rumah Wak haji sambil mengumpat, mengutuk dan ngegerundel. Wak haji tentu bingung, "wong ga ngerti masalahnya kok digerundeli."
Hingga sang keponakan bercerita menumpahkan kekesalannya. "Begini Wak, masak tadi di mobil orang merokok seenaknya, padahal dia sudah tahu ada tanda dilarang merokok di depan matanya." Ujar sang keponakan berapi-api seperti sedang menyaingi pidato Bung Tomo dan Bung Karno itu. "Emang di dunia ini dia hidup sendiri? emang asap rokoknya ditelan sendiri? atau jangan dia sudah tidak punya jantung ya, Wak?" sambung sang ponakan.
Diberondong pertanyaan seperti itu, Wak Haji dengan santai menjawab. "Orang merokok dengan duitnya sendiri, mulutnya sendiri kok dimarahi. Merokok itukan bagi sebagaian orang nikmat. Kata iklan bikin hidup lebih hidup, meskipun tanpa merokok kita bisa hidup melebihi orang yang merokok."

"Katanya merokok itu makruh, kok masih banyak yang mendekati bahkan menghisap rokok ya Wak?"
"Kata siapa merokok makruh? apakah dengan merokok dapat mengganggu imanmu, lantas kamu lupa untuk syahadat? lupa dengan shalat? emoh naik haji kalo kaya raya nanti? jangankan saking asyiknya merokok kamu bisa lupa sama penciptamu Yang Maha Gede dan Maha tidak butuh rokok itu. Kalau sudah sampai tahap ini merokok itu haram, mungkin sama haramnya dengan syirik, karena jika merokok sudah sampai tahap ini, kita merasa kenikmatan hanya datang dari rokok dan tidak ada yang nikmat selain rokok. Ini bahaya nanti Dji Sam soe kita anggap sebagai tuhan. Marlboro bisa dianggap Djibrilnya.
"Kalau merokok hanya mengganggu  stabilitas fungsi hidung sebelahmu duduk hingga khawatir akan berjalannya fungsi jantung, ini masih agak ringan karena berarti rokok hanya tidak demokratis. Rokok memasung kebebasan dalam urusan hisap menghisap, berarti rokok masih perlu penataran ala orde baru agar menyadari hak dan kewajiban sebatang rokok."
"Memangnya ada rokok yang demokratis, wak?" potong sang keponakan ditengah arus deras pernyataan Wak Haji Abdullah.
"Wah ada itu, kalau saja asap rokok dengan bijaksana memilih hidung siapa saja yang harus dimasuki, atau yang tak perlu dimasuki, hingga asap rokok tak mengganggu stabilitas fungsi hidung, tak mengganggu pertahanan dan kenyamanan jantung yang benci merokok. Namun mungkin saja ia sedanag memaknai fungsi hidung sebagai indera pencium yang dapat mubazir jika tidak ada yang dicium, sehingga ia dapat menyalurkan rezeki yang berupa asap rokok itu ke hidung masuk melalui kerongkongan dan berhenti di jantung, sehingga merokok dapat bermakna. Jadi, jenis orang ini mempunyai rasa syukur sehingga fungsi organ tubuh tertentunya bisa bergerak disaat organ tubuh yang lain hanya menunggu rezeki dalam bidang lain." Ucapan Wak Haji terus mengalir sebelum dipotong keponakan.
"Tunggu-tunggu, Uwak sedang membicarakan asap rokok, bukan? atau sedang membicarakan orang yang sedang memaksakan pendapat?"
"Memang kamu pikir tentang apa?"
"Ah, Uwak selalu saja metafor...."

Kamis, Desember 01, 2011

7 PINTU

By : Langit Mularto

Sendirian musafir berjalan merenungi nasibnya. Baru saja ia tertolak memasuki pintu pertama dari tujuh pintu yang harus dilaluinya. Niatnya untuk mengantarkan setetes air dalam jambangan kepada Sang Raja terpaksa tertunda. Sang penjaga pintu pertama terlebih dahulu mencegah dan menghardiknya.

"Raja tak akan menerima airmu yang berwarna keruh itu," bentak sang penjaga pintu itu.
"Airmu terlalu sering berubah warna. Kadang emas, esok hitam, lusa abu-abu. Kembalilah jika kualitas airmu sudah baik," usirnya.

Musafir gontai melangkah sambil bergumam, "oh Raja, aku yang tidak mengetahui, tetapi mengira bahwa aku mengetahui."

Sebelum tiba di jalan ini, selama bertahun-tahun ia berkelana mencari Sang Raja. Daerah yang pertama di kunjungi adalah Hejaz dan Cordova. Ia pandangi semua penjuru tempat, di gunung, di bukit atau di lembah, tak dijumpainya Sang Raja. Ditempat pemujaan Hindu, ke Pagoda kuno, tiada tanda-tanda keberadaannya. Ia coba bertanya di setiap orang yang dijumpainya, tetapi tak ada seorangpun yang mampu memberi keterangan baginya. Jalan yang ia temukan saat ini dipelajarinya dari tabib Cina yang memeberikan resep berbeda bagi orang yang berbeda pada penyakit yang sama.

Baginya yang dibawa adalah setetes air dari laut yang tak terbatas yang menunjukkan individualitas yang sekarang sebagai sebuah tetes, kepada semua individualitas yang lampau sebagai tetes-tetes dan gelombang-gelombang yang berurutan dan juga pada ikatan yang lebih besar yang mempersatukan semua tahap dengan semua tetes lainnya yang bergabung dengan keseluruhan yang lebih besar.

Setelah menukar tetes air dari laut yang maha luas, musafir dengan tegak berjalan menuju pintu pertama. Kali ini yang didapatnya sambutan ramah dan hangat. "Silahkan masuk kawan. Air ini sangat pantas untuk hadiah sang Raja."

Tugasnya saat ini aalah menuju pintu kedua. Sementara ia terus berusaha menjaga air dari sengatan api yang dapat mengurangi kualitasnya.
"Dari mana asalmu?" Tanya penjaga ketika ia tiba di pintu kedua.
"Aku dari penginapan anak-anak."
"Apa yang kau bawa dalam jambangan itu?"
"Air. Ini untuk hadiah Rajaku."
"Apa mungkin Raja hendak menerima, sedangkan jambanganmu hitam, kusam dan buruk seperti itu?"
"Jangan memandang bentuk luarku, tetapi akaan kuserahkan apa yang ada di dalamnya. Lagipula, apakah Raja masih bisa tertipu dengan kemasan ini?"
"Tidak," sergah sang penjaga pintu.
"Apakah dia tidak mengetahui isi di dalam jambangan ini?"
"Dia paling mengetahui, bahkan melebihi dirimu."
"Kalau begitu aku tak akan menipunya dengan kemasan bagus."
"Cukuplah penjelasanmu, masuklah! Kau diterima dengan ramah di sini."

****

Kegembiraannya meluap hingga hampir membanjiri rasa sombongnya. Sesaat kemudian lumpur kesenangan itu surut atas kesadarannya. Perjalanan ini menguras segala komponen dalam dirinya. Peperangan dalam dirinya mengisyaratkan kehati-hatian langkah. Perjalanan kali ini berbeda, karena tubuhnya tak lagi muda dan banyaknya pengalaman tak selalu menguntungkannya.

Di pintu kedua dimana rahasia-rahasia terjawab membuatnya semakin yakin melangkah kepintu berikutnya. Penjaga pintu ketiga sudah menanti. Di tangannya tergenggam buku yang berisi nama calon tamu Sang Raja.
"Hai penjaga pintu, apa yang kau genggam?" Seru musafir sebelum disapa.
"Aku membawa buku," seraya menunjukkan buku yang tidak terlalu tebal. "Dalam buku ini, aku menulis nama-nama sahabat Raja," sambungnya.
Musafir bertanya, "Apakah namaku ada di sana?"
"Engkau bukan bagian dari sahabat Raja."
"Tetapi aku adalah teman dari sahabat Raja."
Penjaga terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. "Baiklah, baru saja aku menerima perintah untuk menuliskan namamu paling atas dari daftar ini, sebab kau tulus memintanya."

*****
Di depan pintu keempat musafir mengetuk pintu perlahan. Pintu belum terbuka, namun suara sudah menyambut dari dalam.
"Siapa itu?" Nada berat terlantun dari dalam.
"Inilah aku." Jawab musafir.
"Raja berpesan, tidak ada ruangan di sini untukNya dan untukmu." Suara kemudian menghilang.
Musafir sedikit jengkel, diperiksa air dalam kendi. Air masih jernih. Kembali ia bergumam, "oh Raja, aku yang tidak mengetahui tetapi mengira bahwa aku mengetahui, bebaskan aku dari kebingungan ketidaktahuan ini." Ia mulai ragu atas perjalanan ini. Ia sadar ia tak punya kehendak apapun atas semua ini. Sesaat kemudian ia meloncat kegirangan. Teriakannya mengguncang diri. "Aku tak berarti. Seharusnya sejak semula aku tidak mengatakan ; untukku, denganku dan milikku," gumamnya. Begitulah akhirnya ia melewati pintu keempat dengan menjawab, "inilah Engkau," maka pintu dapat dilaluinya.

*****

Penjaga pintu kelima menyapa dari kejauhan, "apa yang kau inginkan musafir yang bodoh?" Setengah berteriak sambutan itu. "Raja mengetahui bahwa Dialah yang kau inginkan. Keinginan bertemu Raja sangat berbahaya."
"Saya akan dengan senang hati mengalami apapun demi berada bersama Raja, dan dengan senang hati kehilangan apapun yang kami punya."

*****

Di pintu ke-enam, musafir ditanya tujuan pemberian hadiah tersebut. "Hai tuan, sepertinya kau punya keinginan dari pemberian itu. Apakah kau ingin merayu Raja agar kau dapat menikmati hidangan Raja, ataukah kau terlalu takut dengan kesengsaraan yang diberikan raja jika upetimu tidak mencukupi?" Tanya penjaga pintu.
"Apakah jika aku melihat cahaya Raja, aku masih merasa butuh hidangannya?" Musafir balik bertanya.
"Tentu saja tidak, karena kau akan lupa dengan semua hidangan itu." Jawab penjaga pintu.
"Apakah ketika aku melihat cahaya Raja, dibalik penjara kesusahannya, aku masih merasa sengsara?" Kembali musafir bertanya.
"Jelas tidak, karena Raja kami adalah pusat segala kesenangan. Kau bahkan takkan butuh apapun lagi jika telah bertemu dengannya."
"Kalau begitu tujuanku hanya ingin bertemu denganNya, karena aku tak ingin selain diriNya."

Musafir terus melaju dipersilahkan penjaga pintu. Inilah akhir sebuah jalan yang dijanjikan. Di depan pintu ke tujuh berkali-kali pintu diketuk, tetapi tak kunjung dibuka. Tekadnya sedikit susut merembesi jiwa dan hatinya. Perjalanan telah sejauh ini, tak mungkin ia menyerah. Duduk ia terpengkur di depan pintu. Seperti seorang pengemis sejati yang mengharapkan belas kasih dari si pemilik rumah. Nafasnya mulai tersengal-sengal, tercampur sesak di dada dan lelahnya perjalanan yang menguras tenaga. Musafir tak habi pikir, seharusnya petunjuk yang diterimanya dahulu sangat jelas. 7 pintu, rahasia dan singgasana Raja. Ia tak mungkin menggerutu, mengumpat dan mempertanyakan kebijakan Sang Raja. Karena hal itu semua dapat membuatnya tercampak dan tertolak dari jalan ini. Baginya Sang Raja punya otoritas penuh pada air ini. Kadang air ini memang dikoyak teraduk-aduk. Raja melakukan ini untuk menguji kualitasnya. Tetapi kadang air juga dijaga tenang, meskipun jambang terguncang. Pada beberapa waktu ia merasa butuh akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, namun pada saat lain pertanyaan ini dibiarkan menjadi rahasia Raja yang tidak diketahui karena keterbatasannya.
"Berapa lama engkau akan mengetuk pintu dan menunggu pintu terbuka? Pintu itu tidak pernah ditutup." Musafir kaget atas teguran itu. Di sekelilingnya tak ada seorangpun. Pintu berderit terbuka. Jalan dan pintu tak lagi berarti begitu tujuan telah terlihat. Ketakjuban luar biasa menyelimutinya. Sebuah singgasana yang dijaga delapan pengawal. Para panglima perang ditempatkan di sebelah kiri. Menteri-menteri berada di sebelah kanan untuk mengesahkan keputusan Raja. Sedangkan musafir disediakan tempat berhadapan langsung dengan Raja, karena ia adalah cermin dari setetes air itu, bahkan lebih baik dari air itu.

Inspiried : Rumi, Juzjani, Rabiah el-Adawiyah.

By : Langit Mularto

Tanah Kusir, Iedul Fitri 2005