Jumat, September 09, 2011

HUJAN

By: Mularto
Sore sudah menjelang ketika Najma memutuskan ingin keluar mencari udara segar.  Sita Resmi siang tadi memberinya petunjuk dimana saja ia dapat memperoleh kebutuhan sehari-hari, termasuk makan. Najma mengendarai mobil yang disewanya sejak tiba di Bali beberapa jam lalu, mobil sedan yang sudah cukup berumur meski tak terlalu tua untuk mengantar dirinya kemanapun ia mau.

Karena pekerjaannya, Najma pernah pergi ke berbagai tempat. Tak ada yang setenang ini sebelumnya. Saat mobil Najma terus terlonjak-lonjak karena lubang jalan, ia mengamati pemandangan. Di sana-sini tumbuh pohon akasia dengan bunga-bunga kuningnya yang sedang berkembang. Ternak merumput di dekat pohon delima yang batangnya digelayuti benalu yang terlihat lebih subur dari inangnya. Di dataran itu juga berserak-serak rumpun semak ilalang yang berayun-ayun dalam angin senja yang lembut. Langit senja yang tua turun ke bumi di atas sederetan pohon. Jauh di sana, tinggi di langit sana, seekor burung camar sedang terbang. Sedikit demi sedikit burung itu menjadi makin kecil, kecil dan kecil, sampai akhirnya ia menghilang di balik sebatang pohon beringin tua yang sangat besar. Mata Najma mengikuti burung itu sampai ia menghilang dari pandangan, kemudian mata itu kembali ke bumi diikuti oleh satu hentakan karena lubang jalan. Mobil meluncur pelan di jalan aspal yang sempit, di antara rumpun ilalang dan kanal irigasi di kanan-kiri jalan.

Najma semakin jauh menyusuri jalan sebelum akhirnya telinganya menangkap irama laut yang memesona. Najma menghentikan mobilnya. Jauh di depannya hamparan samudera Indonesia terbentang. Ia tak mungkin lagi bisa membandingkan bagaimana bisa tanah ini terus menahan gempuran ombak detik demi detik, jam demi jam bahkan berabad-abad lamanya. Najma bersandar di badan mobilnya, menghirup sedalam-dalamnya udara bercampur angin garam yang mengempas. Bayangan tubuhnya terdorong semakin panjang ke timur oleh cahaya senja yang renta. Ada ceruk beberapa meter jauhnya dari jalan, angin tak lagi lembut saat arak-arakan awan kelam menutup angkasa. Najma mendengar desahan dan erangan angin yang semakin kasar saat ia mencoba berjalan lebih jauh menyusuri tanah tipis berbatu yang sudah aus. Ia mendapatkan apa yang diharapkannya di sini, kesunyian. Najma memeluk kesunyian itu, di tanah lapang bersemak dengan irama ilalang yang bergesek diaduk-aduk angin.

Sementara itu angin timur semakin mengencang bertiup menerobos rumpun bambu, kadang begitu hebat, sehingga pucuk-pucuk teratas merunduk ke tanah. Sekejap awan-awan berubah menjadi lebih gelap. Gundukan-gundukan awan itu seperti kapas hitam raksasa yang terlihat lembut namun kejam bergerak menyebrangi langit dari timur ke barat. Kelihatannya seolah-olah gerombolan-gerombolan besar demonstran  sedang maju terdorong amarah menerima kekejian aparat yang dihadapinya. Dan sekonyong-konyong aparat-aparat yang tidak terhitung itu dengan kecepatan yang lebih tinggi mulai melancarkan serangan yang menggelegar dengan guntur-guntur dahsyat, hingga seluruh langit terbakarlah dari berbagai arah mata angin. Awan-awan tercabik berantakan, kekuatan pendemo terbelah dan tercerai- berai menjadi pecahan-pecahan ruang angkasa yang kecil, sebelum pemboman guntur yang mengerikan itu mereda. Namun, pertempuran jauh dari selesai karena segera setelah itu kekuatan-kekuatan yang tak kenal maut sekali lagi menyelubungi bumi dan langit dengan kegelapan yang pekat tak tertembus.

Dengan perasaan khawatir Najma kembali ke mobil. Ia memutar kunci mobil yang menyambutnya dengan raungan-raungan marah, ia mencoba lagi. Najma hanya disambut bunyi berderak kasar yang menambah kekhawatirannya. Seraya mengumpat geram, Najma keluar dari mobil dan membuka kap mesin itu, berharap satu sentakan keras dapat merubah tabiat mesin tua itu. Tapi tenyata, ini tidak seperti  televisi neneknya di desa yang dapat jernih gambarnya setelah digedor bagian atasnya. Ia tersenyum menyadari kekonyolannya.  Setelah menutup kap mobil, Najma mulai memandangi kanan-kiri jalan. Ia tersudut. Satu-satunya teman hanyalah geraman angin yang menerpa rambutnya. Tak ada lagi penawaran yang menarik yang datang dari kepalanya kecuali menunggu. Najma berharap sebuah tumpangan yang dapat mengantarkannya ke penginapan. Sepenggalnya waktu penantian tak berkunjung harapan. Najma mengambil senter dari laci dasbor dan mengikuti naluri. Ia berjalan setelah sebelumnya sempat membungkus dompetnya dalam kantong plastik hitam.

Jalanan semakin rumit dilaluinya dengan kegulitaan musim hujan, tapi ia harus terus berjalan mengikutinya kecuali ia ingin terjerembab di daerah tak bertuan. Batu-batuan  yang berserak tak beraturan semakin menyulitkan langkahnya. Kegelapan semakin pekat menyelimuti meski suasana tetap tak sepi. Dentuman-dentuman amarah guntur bersahut silih berganti. Kini tak lagi angin yang meniup rambut Najma, tetapi kegeraman badai mengoyak menyisiri rambutnya. Kabut tipis menjalar menutupi kakinya, sekarang ia hanya berharap kabut ini tidak menebal dan menutupi pandangan matanya  sebelum ia tiba di penginapan.

Badai terus mengamuk, menghebat dan keadaan yang menyiksa pun akan datang. Hujan turun makin lama makin deras. Taufan meraung-raung menghantamkan diri pada pohon akasia dan semak belukar seperti segerombolan setan yang sedang berang. Dan setiap terkena hantaman, pohon itu terguncang seolah-olah detik berikutnya pucuk-pucuknya akan mencium tanah. Terjungkal. Najma pun ketakutan dan meronta dalam ketiadaan daya. Apakah yang dapat diperbuat oleh seorang perempuan yang sendirian untuk menyelamatkan diri, sedangkan seorang pun tak ada yang dapat dimintai pertolongan, bahkan tak ada orang yang akan mendengarnya kalau ia memanggil.

“O, Tuhan,” demikan doanya. “Apa yang dapat diperbuat pada hujan seperti ini?” Doa ini untuk sesaat lamanya dapat menenangkan syarafnya. Tiba-tiba jauh di sana terdengar bunyi memanjang berdecit, kemudian bunyi sesuatu terjatuh berdebam. Godam yang besar agaknya sudah menghantam pohon akasia dengan lebih kuat lagi dari sebelumnya. Sekali pun ketakutan dan seluruh anggota badannya menggigil, dia paksakan untuk terus berjalan, seolah-olah dengan terus berjalan ia yakin akan ada yang bisa diperbuat, dibanding diam menunggu tanpa harapan.

Dalam sekejap saja ia telah basah kuyub mulai dari kepala sampai kaki, rambut, pakaian dan segalanya. Menggunturnya hujan di atas pohon dapat didengar di tengah lolongan angin ribut yang sedang berpesta-pora. Mereka menderas saja tanpa kenal ampun dengan membawa kengerian menimpa bumi dengan diiringi bunyi-bunyian aneh yang galak, terkadang meraung, terkadang menjerit, terkadang mendesis, terkadang melengking dan seringkali mengguntur dengan bahana maut yang dalam tanpa ampun. Najma tak mampu lagi mengenali dimana ia berada sekarang, dengan hanya mengandalkan cahaya senter yang biasa dipakai di dalam rumah.

Untuk mencegah agar tak tergelincir jatuh, Najma terpaksa bergerak perlahan dan terus memperhatikan jalan. Sedikit demi sedikit ketidaknyamanan menjadi kegelisahan, kegelisahan menjadi kekhawatiran dan kekhawatiran menjadi ketakutan. Sambil bersenandung tak jelas untuk mengusir kepanikan, Najma berkosentrasi pada cahaya senternya.

 Mendadak matanya menangkap sesuatu yang tersamar di kejauhan. Najma mengusap matanya dari tetesan air hujan dan melihat lagi. Cahaya. Sebuah kenyamanan, pikirnya. Jika itu sebuah rumah, berarti kehangatan dan tempat berlindung. Najma melangkah tanpa ragu ke sumber cahaya itu.

Tempat itu cukup menguras energi Najma untuk ditempuh dalam keadaan payah seperti ini. Ingin rasanya ia menyerah dan kembali ke mobil menunggu badai reda. Tapi Najma coba berpikir, apa yang bisa dilakukannya di sana, menghabiskan malam yang basah, menggigil dan ketakutan. Cahaya di kejauhan tak berkedip, membantunya meyakinkan diri akan keselamatannya. Najma tak mau lagi gamang ditengah kondisi seperti ini, tetapi mempercepat langkahnya secepat yang bisa dilakukannya.

Ia mulai berkhayal tentang penghuni yang ramah pemilik cahaya itu. Seorang wanita paruh baya seperti Sita resmi yang menawarkan kehangatan teh dengan aksen bicara Bali  yang kental. Tepat ketika guntur kembali menggelegar, ia telah menaruh banyak harap pada wanita khayalannya itu.

Bangunan  rumah itu tak tampak seperti rumah Bali pada umumnya. Tak ada relief  atau ukiran Bali, tak ada bata merah yang tanpa acian, tak ada komboja Bali. Hanya berpagarkan pohon teh-tehan dan bercat putih yang mampu ia kenali lewat cahaya senternya saat ia mulai mencari-cari daun pintu. Najma menemukan pintu yang terbuat dari kayu nangka tanpa cat dan menggedornya. Gedoran pertama hanya tertelan oleh gemuruh hujan dan angin yang terus mengeluarkan amarahnya. Ia menggedor lagi, berharap perjalanan sejauh ini tak sia-sia. Wanita itu pasti ada di dalam, pikirnya sambil menggedor-gedor pintu, mungkin sedang menjahit, meyulam atau bermalas-malasan di atas kursi goyangnya.

Pasrah, Najma tak tahu harus berbuat apa lagi kecuali tetap menggedor pintu itu. Hingga ia terjerembab duduk bersandar membelakangi pintu itu. Tetesan demi tetesan air yang membasahi rambut mampu ia rasakan mengalir membasahi punggungnya saat ia masih terus coba menggedor, meski saat ini hanya menjadi ketukan. Najma bersimpuh mendekap kakinya. Ketakutan, dan kePutusasaan membuatnya tak mampu lagi membendung air mata yang sedari tadi ditahannya. Ia menundukkan kepalanya bersandar pada kedua lutut kakinya sesaat sebelum tubuhnya terjungkal kebelakang bersamaan dengan berdecitnya bunyi engsel pintu. Pintu terbuka. Bahu Najma ditopang sepasang tangan kekar saat ia terhempas kebelakang.

“Syukurlah,”  Lontaran keterkejutan yang diucapkan Najma sebelum sempat dirinya berdiri. “Maaf aku mengganggumu,” Najma menghela napas, mencoba menenangkan diri setelah apa yang dilewati sebelumnya. Tangan, bahu, kaki dan seluruh tubuhnya bergetar menahan dingin yang seolah sudah meremukkan tulangnya. Bibir tipis yang terlihat selalu mengembang sekarang terlihat mencibir seolah merapalkan mantera yang berulang-ulang. Sweaternya luluh lepek dengan noda-noda tanah liat di sana-sini. Matanya yang teduh sekarang menatap lelaki pemilik tangan lembut itu.

Ternyata lelaki, pikirnya dalam kedinginan yang amat sangat. Sempat Najma tersenyum ketika memikirkan kombinasi apa yang dipikirkan sebelumnya dengan kenyataan di hadapannya. Seorang lelaki muda berusia akhir dua puluhan yang sedang mendengar radio tua miliknya sedang duduk dikursi goyang sambil merajut sesuatu. Pasti sungguh aneh jika memang ada baginya. Pria ini tak terlalu tinggi, tak melebihi tinggi tubuhnya, meski juga tak kurang dari dirinya. Matanya tajam menatap penuh curiga, seperti ingin menginterogasi maksud kedatangan Najma. Air muka yang tenang dengan hidung yang tak terlalu menjorok ke depan, tapi tak berarti pesek. Kumis yang dicukur habis sehingga hanya terlihat arsiran abu-abu di bawah hidungnya.

Pria itu membantu Najma yang masih gemetar untuk berdiri. “Ada apa nona mengganggu saya dimalam badai seperti ini?” Pria itu membuka bibirnya yang sedari tadi terkatup.

“Tidak bisakah anda lebih bersimpati sedikit melihat wanita yang sedang hypotermia di tengah badai?” gerutu Najma ketus. Ia kesal. Sendiri di tengah tempat asing yang sama sekali tak dikenalnya, dengan terdorong oleh angin yang mampu menjungkalkan apa saja yang tabraknya,  amarah hujan yang tak kunjung reda, basah, gemetar dan terdampar di rumah seorang pria yang tak memiliki rasa simpati dan acuh seperti ini. Terbuat dari apa manusia ini, pikirnya. “Apa saya mengganggu tidur anda?” ucap Najma lebih ketus dari sebelumnya. “Aku tersesat, mobilku mogok di ujung pertigaan sana,” katanya coba meraih simpati.

Pria itu tak cepat menanggapi. Namun ia mengangguk sebab naluri menuntunnya begitu. “Bagaimana bisa?” sebutir kalimat itu membuat Najma bertambah jengkel. Dengan nada agak acuh Najma diam. Pria itu memandanginya beberapa saat sebelum mempersilahkan Najma duduk di kursi tamu sederhana berwarna marun.

“Sebentar !” pria itu masuk ke dalam meninggalkan Najma yang masih gemetar menahan dingin. Apa yang harus aku lakukan dengan wanita hypotermia ini? Pikirnya dalam hati sambil berjalan menuju kamarnya. Pintu lemari berdecit saat dibuka olehnya. Satu persatu pakaian dipilih dicari yang sekiranya pantas untuk dikenakan oleh wanita asing yang terdampar dirumahnya itu. Sulit juga mencarinya, sampai ia menemukan baju kakak wanitanya yang beberapa bulan lalu berkunjung ke rumah itu. Mungkin ini cocok, gumamnya dalam hati. Setelah menyambar handuk putih dari dalam lemari pria itu membawanya ke ruang tamu, melemparkannya ke sisi Najma. “Nona bisa menggantinya di kamar mandi di sudut dapur sebelah kanan, saya akan antar,” ucapnya tegas.

Najma tak mengucapkan terimakasih untuk membalas perlakuan orang ini. Setelah menyambutnya dengan tidak ramah, pria ini melemparkan begitu saja pakaian di hadapannya. Jika tak sedang butuh sekali malas sekali rasanya bertemu dan meladeni orang seperti ini, gerutunya dalam hati. Dari sikapnya, mungkin ia tumbuh dari masyarakat yang terlainkan, dan karenanya menanggung juga ciri kepribadian yang khas, lebih tepatnya aneh, pikirnya. Najma mengikutinya langkah demi langkah pria itu dari belakang menuju tempat yang ingin ditunjukkan. Dari belakang pria ini seperti orang yang pernah dikenalnya, entah siapa. Rambutnya terlihat baru dipangkas beberapa hari lalu, potongannya rapi dan tak banyak macam-macam.

Lantai yang baru  dilewati Najma basah tertetesi air dari sekujur tubuhnya, tak terkecuali kursi yang baru saja ditinggalinya. Najma sedikit melangkah berjingkat menghindari licin melewati ruang makan dan ruang bersantai. Kesan berantakan langsung terlihat, sendok yang sudah tersisih dari atas piring bekas makan malam terhampar begitu saja. Tumpukan kertas dan alat tulis saling berdampingan dengan gelas minum yang setengah terisi. Tiga buah buku tak seberapa tebal berserak di sudut meja makan itu dengan alas kaca yang buram. Hanya beberapa langkah sebelumnya Najma melewati ruang bersantai yang tidak berpartisi dengan ruang makan. Keadaanya tidak lebih baik dari ruang makan, bantal yang masih berserak di depan televisi yang masih menyala dengan suara rendah. Buku-buku lebih berserak di situ, didominasi oleh bacaan politik. Ada beberapa judul yang ditangkap mata Najma;  sosialisme religius, biografi politik Sukarno dan beberapa novel karya Dan Brown.

“Namaku Najma,” celetuknya dalam langkah yang berjingkat di belakang pria itu. Ia tak habis pikir, ia telah menghabiskan sekitar sepuluh menit waktunya di rumah ini tanpa tahu siapa nama pemilik rumah. Sedari tadi ia berharap lelaki ini yang lebih dahulu mengeluarkan kata-kata yang diharapkannya, setidaknya sekedar menyebut nama. Najma sendiri ragu di awal penyebutan nama tadi, haruskah menyebut nama di depan - atau lebih tepatnya di belakang posisi berdirinya- orang yang kaku dan seolah tak perduli siapa lawan bicaranya.

“Aku Langit,” jawab pria itu tanpa menoleh. “Ini kamar mandinya, silahkan” ujar langit sambil langsung berbalik arah meninggalkan Najma yang masih terheran-heran mendapat perlakuan tak biasa di malam yang tak biasa pula.

Najma memasuki kamar mandi setelah membuka pintunya terlebih dahulu. Warna biru mendominasi di sini. Porselen berukuran kecil di susun mozaik dan acak dengan gradasi biru menempel di separuh bagian dinding. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat bak mandi setinggi pinggang yang tak terlalu besar, berwarna biru langit. Tepat berhadap-hadapan dengan pintu masuk, sebuah kloset duduk berwarna biru laut yang terlihat terawat dengan baik. Meski tak terlalu besar, secara keseluruhan kamar mandi ini bersih dan tak mengecewakan baginya. Sebelumnya ada perasaan khawatir akan keadaan kamar mandi setelah melihat ruang bersantai dan meja makan tadi. Najma tipe yang cukup pemilih untuk memasuki kamar mandi, sesulit memilih jodoh baginya. Tapi, apakah ia punya pilihan dengan kondisi kamar mandi dalam keterisolasian badai ini? Ini semua melebihi bayangannya, meski tak ada bathtub dan air panas. Ini bukan hotel, gumamnya menghibur diri.

Ia melepas pakaiannya, mengamatinya lagi sekilas lembar demi lembar pakaiannya yang sudah tertanggal, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilewatinya. Badai yang tak kenal ampun, guntur yang terus menyalak disertai petir yang membelah kegelapan, angin yang terus mengaduk-aduk rumpun semak, dentuman pohon yang terjungkal hingga ia terdampar di tempat manusia kaku tanpa senyum.
 Originally By : Langit Mularto..

Ilustrasi ; berandahati.com
                fineartamerica.com
                rumahhangat.wordpress.com