Kamis, Januari 12, 2012

Dari Tempatku Berdiri

By: Langit Mularto Putra

Langit berada di dalam rumah sakit tersibuk di Jakarta dengan segala bunyi dan aromanya. Meskipun semua keadaan Unit Gawat Darurat selalu sama saja, apapun rumah sakitnya. Selalu sibuk. Udara di dalam begitu sesak karena ketegangan, kekhawatiran, keputusasaan dan darah segar. Bau antiseptik, alkohol, disinfektan, darah, keringat dan amoniak bersatu memekatkan udara bergabung dengan suara sepatu bersol para perawat dan decitan roda-roda emergency stretcher. Setiap lima menit – bahkan mungkin kurang- selalu terdengar suara sirene yang melengking dan menjerit putus asa dengan kerlap-kerlip lampu merah berputar menyilaukan.

Pintu Instalasi Gawat Darurat terbuka, menuju ruang lobi berbentuk oval dengan interior yag mewah. Ada sepasang pintu kaca dan tulisan yang mempersilakan pengunjung masuk yang langsung terhubung dengan ruang tunggu dan loket penerimaan pasien. Ruang itu berbentuk persegi dan terang benderang. Di samping pintu ada seorang resepsionis berjas putih. Ia sudah separuh baya, tidak cantik dan wajahnya terlihat tenang tanpa senyum. Sepertinya resepsionis itu dipilihnya dengan tidak begitu teliti, karena keluarga pasien selalu memasang muka masam dan bingung setelah bertanya padanya. Lorong-lorong gawat darurat dipenuhi aktivitas pekerja rumah sakit yang tiada hentinya memasukkan pasien ke ruang gawat darurat, sedangkan pekerja yang lain mengeluarkan pasien yang telah mendapatkan pertolongan pertama di ruang itu untuk dipindahkan ke ruang perawatan lainya. Udara di penuhi semerbak bau antiseptik yang menerpa hidung Langit saat ia memasuki rumah sakit itu.

Ruang gawat darurat itu mempunyai jendela utama yang lebar, serta sepasang jendela lain yang berukuran lebih kecil di kanan-kirinya, yang menghadap ke taman berumput dan menyajikan pemandangan ke lorong-lorong menuju ke ruangan lainnya. 

Dokter yang sedang bertugas masih muda, cantik dan ramah. Wajahnya putih, mata gelap di balik kacamata berbingkai mika. Rambutnya tergerai keriting, tapi matanya terlihat lelah. Bibirnya yang tipis tidak dipoles dengan lipstik.

Di tengah malam rumah sakit ini sunyi. Di bawah penerangan lampu jalan, jalan di bawah sana nampak hitam kelam di antara deretan mobil yang terparkir secara paralel. Walau jendelanya tertutup, Langit dapat mendengar deru lalu lintas malam di jalan Diponegoro.

 Malam itu berawan, dan rona merah di angkasa terbias oleh sinar kota yang tak pernah tidur itu. Di sebelah kiri sana, bagi bayang-bayang siluet yang gelap berlatar belakang cahaya lampu jalan yang kuning kusam itu, nampak gedung Universitas Indonesia yang berarsitektur gaya eropa awal abad dua puluh-an. Lalu lintas terdengar lebih bising di jalan di hadapannya itu. Konon di tempat inilah dapur pergerakan reformasi diperjuangkan. Jalan Salemba dipenuhi lautan manusia waktu itu, hingga pemerintah terasa sesak dan sulit bernafas sampai akkhirnya memutuskan diri untuk menyerah pada tuntutan rakyat.

 Langit meneguk sedikit kopi dengan nikmat, lalu membuka kunci jendela yang menghubungkn ruangan itu dengan dunia luar. Udara malam menyeruak masuk, bersih, dan segar. Ditutupnya jendela, lalu ia bersandar termangu menatap malamnya Jakarta. Awan rendah dan berat telah membias cahaya rembulan, dan kini tergantung bagai kapas kemerahan yang disusun diatas lembaran kelamnya malam. Angin berembus sepoi-sepoi, menggoyang dedunan di pohon-pohon. Tepat di seberang rumah sakit ini, gedung sebuah universitas akuntasi tinggi menjulang, mungkin hingga belasan lantai, memandangnya bagi bayang-bayang raksasa nan hitam. Menyaksikan lalu lintas malam merupakan keasyikan tersendiri. Terkadang jalan itu tampak begitu lengang, hingga seakan kita dapat melakukan kegiatan apapun di tengah jalan itu, termasuk berbaring. Terkadang lagi, seperti saat ini, nampak begitu ramai, seperti barisan tentara yang ber-devile tanpa putusnya, hingga sepertinya menyebrang saja begitu sulit. Memandang dari tempat Langit berdiri sekarang seperti menikmati pertunjukan cahaya lampu yang bervariasi, dengan latar belakang lengkung lampu jalan yang mendominasi, silih berganti kita melihat kerjapan-kerjapan berikutnya dari kendaraan lain yang tiada putusnya; motor, mobil mewah, bis-bis usang. Tampak jalanan seperti sungai yang terus mengalirkan arus kendaraan tanpa lelah.


 

 

 

Minggu, Januari 01, 2012

Aku Ingin Ada, Menjadi Imammu

By : Langit Mularto

Aku ingin ada di saat Shubuhmu
Menaruh bunga matahari di setiap pagi di sisi ranjangmu
Mengumandangkan tasbih melihat parasmu
Berwudhu dan menjadi Imammu

Aku ingin ada di saat Dzuhurmu
Bahu membahu menaklukkan dunia
Berucap basmalah memulai kerja
Lalu bertakbiratul ihram menjadi Imammu

Aku ingin ada di saat Asharmu
Saling mengusap peluh dari lelahnya raga
Bersyukur tahmid setelah usaha
Hingga ru'ku menjadi Imammu

Aku ingin ada di saat Maghribmu
Membebaskan diri dari tuntutan dunia
Mengalun takbir di penghujung senja
Tertunduk sujud menjadi Imammu

Aku ingin ada di saat Isyamu
Mengecup kening, mengulas senyum, menderai tawa
Bersesal istigfar di malam yang tua
Bersalam menjadi Imammu.