Rabu, April 18, 2012

SEPATU BARU (Cerpen berlatar Kejadian Mei 98)

By : Langit Mularto

Waktu itu pagi sudah merambat naik, suatu hari di bulan Mei yang panas, Lasmi sedang meracik beberapa bumbu yang digerusnya dengan muntu di atas cobek. Ia bergeser dari duduknya hendak menjangkau bawang merah dari keranjang parcel yang diubahnya menjadi tempat sekumpulan bumbu dapur.
“O, dasar pengganggu kecil. Kamu taruh di mana bumbu ibu?” katanya. “Sudah ingin bermain-main rupanya kamu, Mahes! Kalau caranya seperti ini ibu tidak bisa menyelesaikan memasak, dan kamu pasti akan berteriak lapar.”
Tidak ada di dapur yang kecil itu jejak-jejak kehadiran Mahesa.
“Mahesa, cepat bawa kemari bumbu-bumbu ibu,” pintanya. “Hari sudah akan siang, sampai kapan kamu akan mengganggu ibu?”
Mahesa melongok dari balik gorden pembatas dapur dan ruang tengah, wajahnya yang kecil cerah dihiasi dengan senyuman nakal, tetapi begitu ibunya memergokinya, ia pun dengan sigap menyembunyikan kembali wajahnya seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan.
“Mahesa,” setengah berteriak Lasmi, “Jangan nakal, nak. Berikan kepada ibu bumbu-bumbu itu. Ibu sedang sibuk, mengapa kamu terus mengganggu?”
Mahesa mengintip untuk kesekian kalinya dari balik gorden. Senyumnya masih nakal menggoda ibunya.
“Ibu sudah melihatmu, tak ada gunanya kamu terus bersembunyi seperti itu. Cepat kembalikan bumbu ibu!”
Mahesa menganggap dirinya masih cukup kecil untuk menggoda ibunya dengan cara seperti ini. Ia akan bersembunyi di tempat-tempat yang oleh orang buta pun akan cepat ketahuan, namun Lasmi harus berpura-pura tidak mengetahui di mana ia bersembunyi. Tetapi hari itu Lasmi sedang sibuk menyiapkan sedikit pesta kecil untuk hari jadi Mahesa yang sudah beranjak enam tahun. Hari ini juga ia berjanji untuk membelikan Mahesa sepatu baru di mall terdekat. “Kalau kamu terus juga seperti ini, Mahesa, ibu tidak dapat selesai memasak, mungkin kamu senang sekarang, tapi nanti jika masakan ibu tak selesai dan kamu tak dapat sepatu barumu, pasti kamu akan menangis.”
Mahesa keluar dari tempat persembunyiannya sambil tertawa, lalu meletakkan bungkusan bumbu itu di depan ibunya. “Sekarang kamu main di luar,” katanya, “sebentar lagi ibu selesai, dan kita akan pergi mencari sepatu barumu.”
Lasmi begitu menyayangi Mahesa, anak semata wayangnya. Ia ibu yang pantang menyerah. Berbagai pekerjaan dilakoninya untuk membahagiakan anaknya. Ketika siang Lasmi bekerja sebagai pekerja rumah tangga di rumah keluarga Bu Amir –ketua RT setempat- dan sore harinya ia mengumpulkan pakaian-pakaian tetangga yang ingin dicucikan olehnya. Malamnya, dia menjahit baju pesanan. Jahitannya begitu halus sekali dan termasuk yang terbaik di kampung itu. Hidupnya benar-benar untuk Mahesa yang sejak kecil tidak pernah hidup dalam kesenangan.
Ayah Mahesa sangat jarang pulang. Dia pulang hanya jika menginginkan sesuatu dari istrinya. Ia memperlakukan Lasmi dengan sangat kasar. Tamparan, hardikan dan pukulan lelaki penganggur itu pada Lasmi semakin menjadi pelengkap penderita bagi wanita itu. Lasmi sudah banyak berkorban. Sejak awal menikah mereka tidak pernah hidup dalam kesenangan. Penuh pahit dan getir. Terutamanya ketika suaminya tidak henti-henti membuat onar. Lasmi tidak pernah menyerah pada takdir yang harus dijalaninya. Ia terus bangkit. Bekerja tak henti-henti seakan tidak menghiraukan lelah diri. Terus menbimbing Mahesa tanpa gundah. Senyum tetap mengembang walau luka terus terukir. Suaminya terus menghilang tidak terlihat dua minggu belakangan ini. Mungkin sudah dapat apa yang dicitanya.
Mahesa telah menghitung-hitung hari ini, dan ia begitu gembira, sehingga hampir-hampir tak dapat tidur pada malam harinya. Kemudian tibalah saat yang dinanti-nantikan ini. Beruntung bagi Mahesa, karena hari ini sekolah diliburkan. Sejak suasana Jakarta memanas, guru-guru meliburkan anak didiknya. Lasmi terlalu lugu untuk memahami kondisi politik Jakarta beberapa hari belakangan ini. Ia hanya sedikit saja mengikuti perkembangannya melalui televisi di rumah Bu Amir. Suasana keruh tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Solo, Bandung, Semarang dan Medan beragam desas-desus yang tidak masuk akal merebak ke mana-mana.
Sudah dua hari kemarin situasi di Jakarta sudah begitu tegang. Berbagai aksi mahasiswa di galang di pusat-pusat pendidikan. Universitas Atmajaya makin bergolak, Trisakti sudah mendidih, Universitas Moestopo menjadi basis untuk masuk ke Semanggi dan sebagian besar mahasiswa terakumulasi di Universitas Indonesia, Salemba. Jumlah mahasiswa di sepanjang jalan salemba raya sudah mencapai titik jenuhnya.
Sepanjang jalan salemba menuju jalan Diponegoro dan jalan Imam Bonjol lautan massa beriring melakukan long march. Pelampiasan kekesalan terjadi di jalan Imam Bonjol, seorang mahasiswa dengan sengaja menabrakan mobilnya kepada polisi yang sedang berjaga.
Siang itu dimulai dengan ketenangan. Langkah kaki baru saja mengayun menuju pusat perbelanjaan yang telah dijanjikan Lasmi kepada Mahesa. Matahari selanjutnya mulai memerah di langit, cahayanya menerobos melalui keteduhan jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender. Udara dipenuhi timbal dan belerang dari asap-asap knalpot metro mini.
Lasmi mengayun langkah mengenggam lengan Mahesa. Pakaiannya begitu bersahaja, dan telah tipis karena sering dicuci. Terkadang Mahesa sedikit tergopoh mengikuti langkah ibunya. Rambutnya yang telah disisir dengan penuh kasih sayang oleh ibunya begitu lembut dan bersinar diterpa sang surya. Di matanya yang besar dan indah itu memancarkan ketakjuban yang tak dimengertinya, seakan-akan mata itu baru saja terbuka karena untuk pertama kalinya melihat dunia yang lebih luas dari kampungnya yang kumuh. Mahesa hanya memahami dunia kecilnya. Sepetak tanah dengan pohon-pohonan di sekitarnya, tempat ibunya setiap hari menyuapinya dengan tangan kasih sayang.
Siaran berita di televisi begitu mencekam hingga sempat tersirat keraguan di benak Lasmi untuk keluar rumah di tengah Jakarta yang begitu tegangnya, namun janji telah terucap kepada Mahesa. Lasmi berusaha menenangkan dirinya dengan membuat keyakinannya sendiri. Klender bukan daerah pecinan seperti Glodok yang kemarin ia lihat di televisi di bakar massa, begitu pikirnya. Begitulah memang. Para etnis keturunan selalu harus menjadi tumbal kerusuhan. Sasaran sebuah dendam yang mengkristal harus ditumpahkan serta merta saat itu juga.
Sementara suhu politik Jakarta makin memanas. Gerakan politik untuk menggulingkan Presiden Soeharto begitu gencar. Sejak awal bulan, dunia seolah tertuju pada Jakarta. Meski staff-staffnya yang loyal –termasuk menantunya, Jenderal Prabowo- melindunginya dengan cara mengerahkan pasukan-pasukan terbaik negeri ini, posisi Presiden tetap di ujung tanduk. Lima belas ribu pasukan bersenjata dari Kopassus dan Kostrad telah disiapkan mengamankan Jakarta.
Kaki mereka sudah terjejak di pintu mall di bilangan Klender. Semua tampak tenang. Lasmi dan Mahesa bergandengan tangan dan melangkah menaiki tangga. Di lantai tiga, mereka berada di antara gerai-gerai yang memajang sepatu dan sandal. Mereka terus melangkah di antara beberapa orang yang berlalu lalang. Lasmi mendekati pelayannya, dan coba menanyakan sesuatu. Pelayan itu menunjukkan tumpukan sepatu yang terpajang di atas rak-rak logam. Lasmi mengamat-amati tumpukan sepatu itu, mencari model dan ukuran yang pas untuk Mahesa. Ia mulai membanding-bandingkan antara model yang satu dengan lainnya. Mahesa mengambil jarak dari Lasmi. Matanya seolah ditarik oleh sekumpulan mainan anak yang ada di sudut ruangan itu. Anak itu semakin jauh dari ibunya, dan kini ia benar-benar terpisah.
Beberapa orang masih terus asyik melihat-lihat diiringi dentuman musik dari pengeras suara mall tersebut. Tiba-tiba terdengar kegaduhan. Beberapa orang yang lewat mulai berlari dan berdesakan menuju pintu keluar. Tepat pada waktu itu, Mahesa seperti melihat kelebatan ayahnya. Samar. Pria berjaket kulit murahan berkelebat di balik kerumunan pengunjung lainnya menuruni tangga.
Udara sangat panas. Angin berhembus kencang. Angin berdebu. Cahaya siang menyepuh lanskap kota yang gamang. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Mereka tak mau tahu dan sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Mereka tak peduli. Mereka semua mendekat lalu berteriak-teriak minta petugas segera memberi tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Seorang lelaki yang berkacamata hitam bahkan menggedor-gedor loket. Beberapa kaca terdengar mulai pecah.
Seseorang menarik tangan Mahesa. “Ayo, cepat lari nak.” Orang itu menyeret Mahesa hingga anak itu kehilangan sebelah sandalnya. Tidak mungkin untuk kembali lagi, tidak mungkin menerobos orang yang berlari dengan melawan arah seperti itu. Dengan hanya meraba-raba dalam pekatnya kegelapan asap, orang itu mencengkeran tangan mungil anak itu dengan begitu kuatnya. Akhirnya mereka tiba di jalanan dan terbebas dari bekapan asap nan hitam. Dinding-dinding mall dipenuhi jelaga hasil dari goresan lengan-lengan api yang memerah.
Pengunjung panik, berlarian, seperti baru saja terjadi ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung-gedung menghitam karena hangus, seluruh kacanya berjelaga sehingga jendela-jendela tampak seperti mulut-mulut yang menganga. Beberapa pedagang kaki lima yang tadinya semangat menawarkan barang dagangannya kini menjerit karena dagangannya berhamburan.
Mahesa berpaling ke gedung yang dilumat api itu. Kini ia sendiri, entah kemana orang yang semula menggenggam lengannya. “Ibu, di mana ibu.” Anak itu menangis.
Api mulai membesar. Jelaga semakin pekat. Mahesa menangis sejadi-jadinya sambil melihat ke arah bayangan yang tertutup kepekatan asap yang seperti neraka itu. Matanya menatap pintu masuk yang memuntahkan kepulan asap dan api yang semakin tebal. Banyak pula yang senasib dengannya, mereka berteriak-teriak mencari keluarganya. Sementara kerumunan semakin padat menonton “pertunjukkan kebakaran” itu.
“Ibuuu..!!” Mahesa menatap pada satu tempat di lantai dua, di balik bentangan kaca yang berjelaga, tepat di atas pintu keluar. Lasmi mencoba memukul-mukul kaca dengan kepanikan yang putus asa. Masih ada beberapa orang di sekeliling Lasmi. Mereka tak kalah takutnya. Semua tangan ingin coba mengalahkan dinding kaca, seakan-akan mereka hendak menyingkirkan penghalang itu.
Di belakang Lasmi muncul lidah maut yang bersiap menjilatnya. Lasmi sudah tak dapat lagi menghindar dari kepungan api yang sudah menyebar di lantai dua. Ia terperangkap dalam kebakaran yang dapat membuat kulit pun mencair.
Muka Mahesa menjadi biru karena takut. Bangunan itu, ibunya, dan bahkan orang-orang di sekelilingnya pun mulai terselimut kabut dalam pandangan matanya. Tak ada seorang pun bersamanya, hanya ketakutan yang menerjangnya. Jauh di atas sana, samar ia mendengar ibunya memanggil-manggil. Kemudian, tiba-tiba dengan keberanian bercampur putus asa yang timbul pada seorang anak saat melihat maut, ia pun menjerit dalam ketakutan.
Lidah-lidah setan yang kemerahan itu dengan cepat melahap gedung, menghanguskan apa saja yang dilaluinya. Lantai tiga sudah benar-benar habis dalam kepekatan asap. Mereka yang sempat turun di lantai dua pun –seperti Lasmi- tak sanggup berbuat banyak. Mereka berjatuhan tak sanggup melawan maut yang marah.
Lasmi masih sempat melihat ke arah anak yang disayanginya. Dengan mata penuh ketakutan Lasmi menangis putus asa. Api sudah menjalar dengan begitu cepat tanpa belas kasihan. Rambutnya yang tergerai panjang mulai dijilat api. Kulitnya mencair. Tangannya merekat pada dinding kaca yang mendidih. Api mulai mengepung tubuhnya, kepalanya dan Lasmi roboh.
Mahesa melihat semua itu. Melihat detik demi detik ibunya dilahap maut. Tubuhnya menggigil. Gelap gulita. Apakah ini kiamat ? Petir bersahutan di dalam benaknya seperti dihamburkan dari langit yang membuatnya menutup telinga dan gemetar. Rasanya tubuh anak itu membeku.
Di luar, orang-orang seperti terhipnotis oleh kekuatan api yang berkobar. Sirene pemadam kebakaran dan ambulance meraung-raung. Dengan tergopoh petugas menarik selang dan menyemprotkan air berkekuatan besar. Api yang sedang mengacak-acak gedung itu tak mudah dijinakkan begitu saja oleh air. Wajah api semakin memerah.
Tangisan Mahesa berubah menjadi raungan yang tak terkendali. Anak itu kini menjadi perhatian banyak orang selain gedung yang terbakar itu. Banyak mata tertuju padanya tak terkecuali ayah Mahesa yang berdiri bersama sekumpulan orang berwajah seram, tak jauh dari anak itu yang sedang menjadi saksi bagi maut yang melumat tubuh Lasmi. Hingga laki-laki itu menghampiri tubuh Mahesa yang lemah, ia tak paham apa yang ditangisi Mahesa. Anak itu hanya dapat memeluk tubuh ayahnya yang beraroma minyak tanah. Anak itu menangis. “Ibuuu.... Tolong ibu ayah. Ibu...!!!” Dan tubuh mungil Mahesa terkulai, pingsan.

Senin, April 02, 2012

TAMU

By : Langit Mularto

Sekarang ini, bacaan sebelum tidur Najma adalah sebuah karya Bibhutibhusan Banerji. Pater Pancali. Kehidupan dua orang anak bernama Apu dan kakaknya, Durga, dengan setting India pada pertengahan 1800-an. Petualangan seorang anak yang begitu alami, hingga petualangan itu membawa Apu keluar dari desanya mengikuti ayahnya yang seorang pendeta Brahmana untuk mencari nafkah. Hal yang kemudian tidak pernah dirasakan Durga -sebagai anak wanita- yang hanya bisa berpetualang di hutan desa.

Sekarang sudah hampir tengah malam. Terlalu banyak yang ia alami hari ini dan membuat tubuhnya begitu lelah hingga Najma melupakan rasa laparnya. Rasanya perlu melahap makanan ringan sebelum tidur. Camilan terbaiknya adalah apel yang dibelinya siang tadi.

Dalam kamarnya, Najma bersandar pada tumpukan bantal yang lembut. Kepalanya menghadap pintu, membentuk sudut empat puluh lima derajat dari dipan. Ujung kaki-kakinya menyentuh lantai. Tangan yang kiri terlentang dan yang kanan lebih dekat dengan tubuhnya. Sambil bersandar di bantal-bantal itu, Najma merasa seperti kembali ke tempat tidur masa kecilnya dulu, ketika itu ia hanyalah seorang anak kecil yang berusia delapan tahun yang tak dapat menutup matanya meski telah mengantuk, sementara jemarinya terus memilin-milin ujung bantal. Beberapa dari pertengkaran yang tak berkesudahan yang terdengar samar-samar dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan dari bulan ke bulan, lama kelamaan membentuk sesuatu di bawah sadarnya. Awalnya hanya sebagian kecil yang dapat dipahaminya, tetapi setelah rutin didengar tiap malam, jadi tak terlupakan hingga kini.

Malam itu, Diah Prameswari, ibu Najma terisak dengan sedan. "Mereka kan anakmu, tak pedulikah kau? Tak sayangkah kau pada mereka?"
"Dengan keadaan begini, terus terang aku tak peduli. Kau menginginkan kebebasan, aku juga," jawab ayahnya, Zulfikar.
"Baiklah, kita bagi. Aku bawa Najma, kau bawa Aulia."
"Tidak bisa begitu, bukan itu masalahnya. Suruh saja ayah anak itu, kalau kau tahu siapa ayahnya. Silakan suruh lelaki itu bawa Aulia. Aku takkan menghalanginya. Anak itu sama sekali tak mirip aku," teriak Zulfikar.

Najma ingat, awal pertengkaran besar itu bermula dari kedatangan wanita muda bernama Gadys.
"Ibu...ibu...," seru Aulia Ramadani mencari Diah yang sedang di dapur membuatkan sup untuk Najma yang sedang demam seja pagi.
"Ada apa, Lia?" tanya Diah menjawab panggilan anak sulungnya dengan senyum.
"Ada tamu yang mencari ayah," jawab Aulia, sambil menarik lengan ibunya menuju ruang tamu.
"Tamunya sudah dipersilahkan duduk?" Diah seperti tergopoh mengikuti tarikan anaknya.
Ya, sudah bu.”
 “Kalau gitu, ibu akan ganti baju sebentar, kamu bisa menemaninya dulu, kan?” Diah menuju ke kamarnya dengan langkah cepat.

Aulia bergegas ke ruang tamu untuk menemani tamu itu. Tamu wanita berusia sekitar awal tiga puluh-an, beserta seorang anak perempuan berusia sekitar empat atau lima tahun dipersilahkan duduk olehnya. Usia Aulia waktu itu sekitar lima belas tahun, baru akan masuk sekolah menengah atas. Dengan tangkas ia meladeni kemauan tamu itu.

Sebelum masuk ke ruang tamu, Diah mengintip tamu yang mencari suaminya itu dari balik tirai pembatas ruang. Tidak ada perasaan aneh ketika ia melihat tamu yang berwajah anggun dengan rambut yang ikal sebatas bahu. Pandangan Diah beralih menuju pada seorang anak perempuan yang duduk tenang mengapit ibunya. Aulia yang menemani di hadapannya hanya diam memandangi kedua tamu perempuan itu yang sedang bercengkrama dengan logat sunda kasar.

Diah menyurutkan langkahnya menuju ruang tengah dan bercermin kembali, kemudian dengan helaan napas panjang ia keluar menuju ruang tamu. Aulia menoleh melihat kedatangan ibundanya dan berdiri. Dengan isyarat Diah memerintah anak sulungnya beranjak dari ruangan itu.

“Selamat siang,” Diah menyapa tamunya, sambil tersenyum ia mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan. “Saya Diah, istri bapak Zulfikar..., ibu?” tanyanya dengan nada datar.

“Saya Gadys. Saya datang dari Bandung, baru pagi tadi saya sampai Jakarta dan langsung mencari alamat rumah ini.”

“Apa yang bisa saya bantu untuk anda?” Mata Diah beralih memandang bocah perempuan yang berada di sisi kanan perempuan itu. Anak itu sedang duduk tenang memainkan makanan ringan yang disuguhkan oleh Aulia sebelumnya. “Anak anda cantik” Dengan memajukan tubuhnya, Diah berusaha menjangkau pipi anak itu. “Siapa nama mu anak cantik?” tanyanya lembut dengan dengung suara seperti anak-anak.

“Namaku Sheila, tante,” sahut Gadys mewakili anak-anak itu. Anak pemalu itu langsung menghimpit ke dada ibunya, menghindari sentuhan Diah. Wajahnya tertutup oleh rambutnya yang keriting.

Pandangan Diah beralih ke Gadys yang mengapit leher anak itu. “Ok. Ada perlu apa anda ingin berjumpa suami saya, mungkin bisa saya sampaikan nanti. Beliau tak ada di rumah sekarang,” Diah langsung membuka katup komunikasi yang sempat berhenti karena basa-basi tadi.

“Maksud kedatangan saya ke sini ingin meminta pertanggung-jawaban Zulfikar.” Ucapan Gadys tercekat sesaat.

Diah melongo bingung, pikirannya mulai digerayangi dengan banyak pertanyaan dan kegundahan. Pertanggung-jawaban? Ada apa ini sebenarnya? Apa yang telah dilakukan suaminya? Diah mendesah pelan. Ia merasa harus mengontrol dirinya agar tidak gugup atau kikuk di depan tamunya itu. Semua kegalauan itu disimpannya bersama sekumpulan pertanyaan tadi. Berbagai prasangka muncul begitu saja dalam benaknya. Satu persatu datang silih berganti. Prasangka-prasangka negatif yang kemudian dihalaunya dengan keragu-raguan.

“Saya ingin meminta pengakuan dari Zulfikar tentang status anak ini. Sheila, anak Zulfikar, ia berhak bertemu dengan bapaknya,” cetus Gadys mantap tanpa keraguan.

Sepotong kalimat itu membuat Diah hancur. Bangunan kekuatan yang disusunnya sejak kecurigaan tadi, tidak mampu membendung hujaman dahsyat kata-kata yang menghujam hatinya. Kata-katanya tercekat tak mampu keluar, meski ia berusaha tetap tenang. Diah menatap lagi ke wajah anak itu. Mengamati dengan pandangan menyelidik, adakah kemiripan yang diwariskan Zulfikar kepada anak itu. Mata dan hidungnya mungkin saja mewarisi mata dan hidung Zulfikar. Walaupun tak sepenuhnya mirip, tapi ada gurat-gurat kesamaan yang cukup terlihat. Dagunya tidak mirip sama sekali, lebih mewarisi dagu ibunya, Gadys.

“Saya hanya ingin masa depan anak ini jelas, jangan sampai anak ini berstatus anak haram dalam surat-surat administratifnya nanti. Nyonya tahu jika itu semua terjadi? Anak ini tak bisa mendapatkan akta kelahiran, itu berarti akan sulit mengurus apapun kelak.” Gadys menggeser posisi duduknya, lalu memberikan beberapa lembar foto kenangannya bersama Zulfikar di Bandung sebagai bukti kesungguhannya.

Wajah Diah memerah menatap satu persatu lembaran foto itu. Pada lembaran ketiga ia tak mampu lagi melihatnya dan menaruhnya kembali ke meja. Ingin rasanya ia melempar begitu saja foto-foto itu jika tak menghormati tamu. Mendadak kakinya gemetar dan keringat dingin membasahi keningnya. Matanya terpejam sesaat saat ia menengadahkan kepalanya sambil menghela napas lembut.

“Zulfikar membohongi saya, ia bilang belum menikah saat itu.” Mata Gadys berkaca-kaca. Nafasnya mulai tidak teratur, hingga dadanya sesekali terangkat. “Saya mohon kearifan nyonya memahami semua ini, kasihan anak ini,” Gadys memohon.

Najma terbangun dan menjerit. Suatu jeritan yang tak terdengar tentu, tetapi bergema sampai kerongkongan hingga kepalanya. Dibukanya matanya, dan dikenalinya cahaya di atas meja kecil di samping ranjangnya. Rupanya dia tertidur. Jadi kali ini memang merupakan mimpi buruk. Najma menarik napas dalam untuk menenangkan saraf-sarafnya yang berantakan. Dia bangun dan duduk, melihat ke bagian-bagian yang temaram dari kamarnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, tanganya terapit di antara lutut. Diletakkannya sikunya di atas lututnya, lalu ditopangkannya kepalanya ditangannya. Debar jantungnya yang kuat bergema dengan nyaring ke gendang telinganya. Diulurkannya tangannya dan dinyalakannya lampu di samping tempat tidurnya. Setengah memicingkan mata, wanita cantik itu melihat jam yang berdetik lembut di samping ranjangnya. Baru pukul tiga lewat lima menit. Mustahil menanti hingga pagi.

Malam masih begitu sunyi. Lama Najma memandangi ambang pintu yang kosong. Pikirannya sama letihnya dengan tubuhnya, namun ia tak bisa tidur. Dia mendesah, memadamkan lampu, lalu menyusup kembali ke balik selimut dan mencoba tidur lagi. Tetapi pikirannya mulai mengganggu, memikirkan ibunya yang hidupnya selalu tersudut karena ayahnya. Dan memikirkan bagaimana mengusir mimpi itu yang berkali-kali hadir.
 

Minggu, April 01, 2012

PERTEMUAN

By : Langit Mularto

"....Hingga aku hembuskan nafas yang terakhir dan kitapun bertemu."
Ahmad Dhani.

Ketika menikmati lirik dari band Dewa tersebut, keponakan saya yang berumur 5 tahun bertanya merujuk lirik yang metafor tersebut, "maksudnya apa Om?"
"Kalau nanti kita mati, kita bisa bertemu Tuhan," jawab saya ringan.
Kemudian tanpa diduga oleh pikiran dewasa saya dia berujar, "Kalau gitu Wisnu mau cepat mati ah, biar bertemu Tuhan."
Oh, Tuhan. Bergetar hati saya. Dahsyat sekali anak sekecil itu membicarakan mati. Fantastis bagi saya, disaat anak sebayanya hanya memikirkan gameboy, playstation dan berbagai jenis teman elektronik lainnya. Bahkan saya yang sudah dewasa ini masih mengejar tujuan-tujuan utama saya; yaitu kekayaan yang berlimpah-limpah dan kemerdekaan dari orang-orang lain karena memiliki kekayaan yang berlimpah tersebut. Sebagian hati saya yang lain berambisi pada reputasi pribadi yang luas. Menunggu ucapan manis penjilat-pejilat yang berkata terimakasih dan pujian-pujian kolega terhadap kemurahan hati dan amal baik saya. Kemudian sisi hati saya yang lain mengutamakan kekuasaan dan prestise yang besar sehingga sejawat saya mau tidak mau tunduk patuh terhadap saya.
Kita sebagai makhluk dewasa ternyata sering lupa tujuan terakhir dan kewajiban kita. Dunia ini diciptakan untuk memberi makan "binatang tunggangan" manusiad dalam menempuh perjalanan menuju "pertemuan." Saya lupa makna metafor dari kehidupan seperti hidup sebatang pohon. Tujuan dari dahan adalah buah yang matang, tidak sekedar sebatang dahan yang lain.
Dalam diri keponakan saya ini timbul untuk secara kritis memeriksa hasratnya terhadap kehidupan yang kekal dan sempurna. Mati adalah suatu hal di luar logikanya. Dengan mengingat mati seseorang dapat melepaskan dirinya dari kepentingan sesaat dari segala sesuatu itu terhadap pengembangan dirinya dari perspektif hidupnya yang menyeluruh.
Alih-alih ia menyadarkan saya. Jika tujuan pokok dalam hidup saya adalah untuk memperoleh prestise dan kesuksesan dunia, pun jika motif pokok dalam puasa saya adalah sekedar kekuatiran terhadap kesehatan, maka usaha saya dalam hidup dan puasa itu mungkin penting bagi dunia namun tidak bermanfaat bagi usaha menuntut sebuah "Pertemuan."
Keasyikan mengejar prestise akan mengecilkan saya, sementara hasrat mati dan berjumpa dengan-Nya akan membesarkan bocah polos itu. Saya yang berkesibukan mencari prestise beranggapan bahwa memiliki hal-hal tertentu adalah sangat penting, sementara keponakan saya itu yang ingin bertemu Tuhan mungkin tak acuh pada hal-hal tertentu walaupun jalannya sangat lapang di masa depannya.
Saya seolah diajarkan bahwa mati itu hanyalah saat yang membatasi dua keadaan eksistensi yang berbeda. Dunia kita (hidup sekarang) dan akhirat kita (hidup sesudah mati) merupakan dua keadaan kita. Mati itu sendiri bukanlah keadaan ketiadaan, mati adalah kebebasan dari kesibukan duniawi.
Keponakan saya ini mengingatkan saya pada sebuah contoh cerita sufistik. Syahdan ada seorang anak laki-laki sedang menangis dan meratapi peti mati ayahnya. "Ayah, mereka membawamu ke tempat yang tiada apapun yang menutupi lantai, tiada penerangan, tiada makanan, tiada pintu atau tetangga yang suka menolong." Anak yang cemas oleh uraian itu nampak tennag kembali, lalu berseru kepada ayahnya, "orang tuaku yang terhormat, Demi Allah, mereka membawamu ke rumah kita."
Sekali lagi hatiku bergetar tak habis pikir dan aku ingin masuk ke kosmos hatimu yang selalu berirama puisi pada masa Rumi.
"Salib dan orang-orang Kristen kau selidiki. Ia tak ada di salib itu. Kau pergi ke candi Hindu, ke pagoda kuno, pun tak ada suatu tanda di tempat itu. Ke tanah tinggi Herat kau pergi, dan ke Kandahar, di sana ia tak ada. Kau tanya Ibnu Sina yang filosof. Ia di luar jangkauan Ibnu Sina. Kau pandang ke dalam hatimu sendiri. Di situlah tempat-NYA, kau melihat-NYA. Ia tak ada di tempat lain."

Tanah Kusir,
13 Oktober 2005.
Langit Mularto