Jumat, Maret 16, 2012

5 Tahun

By : Langit Mularto


Lintang menikmati keindahan pagi itu. Hari yang sempurna di awal musim penghujan. Udara bersih dengan sedikit angin yang berhembus, matahari bersinar sempurna, angkasa membiru dihiasi beberapa gumpal awan seperti kapas. Pagi yang membuat orang-orang akan selalu bersyukur karena diberi kehidupan baru. Lintang memandang ke luar jendela dan memperhatikan bahwa sinar matahari yang menerpa dedaunan tampak sebening kristal. Pagi yang sempurna.

Nisha masih di dapur dengan rutinitas paginya. Lintang masih menyesap teh yang Nisha hidangkan sesaat setelah shubuh berjamaah mereka. Sampai sekarang Lintang masih tak habis pikir, bagaimana Nisha bisa begitu rutin selama lima tahun masa pernikahannya membuatkan teh untuknya. Karena ia wanita luar biasa. Ia sangat menyayangi Lintang. Tepat hari ini tahun kelima pernikahan mereka.

“Aku tadi memanggang roti. Kau mau coba?” kata Nisha.

“Terima kasih. Kau sedang apa?”

“Membuat teh, untukku.”

“Boleh Ayah membantumu?”

“Tidak, tak usah. Tehnya sudah hampir siap. ” Nisha berjalan tenang sambil membawa dua piring berisi roti dan menghampiri Lintang yang telah menyandarkan dirinya di kursi ruang makan. “Cobalah rotinya. Rasa coklat kacang, mungkin Ayah akan suka.”

“Baik,” kata Lintang. Lintang menyobek irisan roti panggang berbentuk segitiga itu sambil melirik di balik gelas tehnya.

“Aku ingin memasakkan sesuatu untukmu, ayah ingin makan apa selain roti?”

Sambil tersenyum, Lintang berkata, “ beberapa buah telur saja,’

 “Apa yang bunda buat?” Tanya Lintang menghampiri Nisha. Lintang memeluk tubuhnya dari belakang. Aroma tengkuknya menghampiri hidung pria itu.

“Membuat telur dadar. Kau ingin telur seperti apa?”

“Direbus saja, Ayah ingin makan putihnya saja.”

“Baiklah, Bunda buatkan untuk Ayah.’

Ia membawa secangkir teh itu ke meja makan dan menaruhnya tepat di seberang tempat ia duduk.

Sementara itu diperhatikan terus Nisha merebus tiga butir telur untuk mereka berdua. Setelah dikuliti, telur-telur itu diletakkan di piring lalu dibawanya di meja. Ia membawanya ke meja makan dan menaruhnya tepat di seberang tempat ia duduk.

Nisha duduk di seberang Lintang  dan menghirup teh manisnya dan mengambil sebutir telur. Ia memasukkan telur rebus itu ke dalam mulutnya, dan menyadari bahwa ternyata ia hanya makan sendiri.

Rasanya masih tersisa rasa bahagianya  semalam merayakan lima tahun pernikahan mereka. Lintang berpakaian seperti pelayan restoran dengan dasi kupu-kupu hitam tersemat di leher. Suasana formil (pada awalnya) seperti menyambut pelanggan restoran.

Nisha  berjalan menuju ruang makan yang disulap secantik mungkin, seperti restoran kelas satu.

Lintang menyambut “ Nona, berapa orang?”

“Bunda tak pesan tempat,” jawab Nisha senyum.

“Baiklah. Suka tempat ini?”

Nisha kembali tersenyum. Ia tak dapat menahan rasa gelinya melihat tingkah suaminya yang di luar kebiasaanya itu.

“Silahkan duduk.” Lintang menggeser mundur kursi. mempersilahkan puteri cantiknya terlayani dengan penuh hormat.

“Terima kasih.”

“Nona ingin disajikan apa?”

“Apa yang kau rekomendsikan?”

“Mau coba makan rekomendasi juru masak kami?”

“Boleh”

“Baiklah mohon ditunggu”

Nisha berusaha mengendalikan diri. Ia kagum dengan setting yang dibuat Lintang, cukup detil untuk sebuah makan malam yang romantis. Lintang mematikan seluruh lampu, hanya ada beberapa batang lilin yang menyala dengan cahaya api kecil. Hampir saja tadi ia tak mampu lagi membendung rasa gelinya menjadi tawa yang terpingkal-pingkal, tapi ia tak ingin merusak suasana, yang mungkin saja telah dibangun Lintang dengan susah payah.

 ‘Boleh aku menemui kokinya,” tanya Nisha.

Lintang masuk kedalam, dan dalam sekejap berubah dengan topi juru masak yang dibuat dari kertas koran.

“Nona cari aku?”

Kini Nisha tak bisa lagi menahan gelak tawanya.

“Kau seorang koki yang tampan dan berbakat,” gelembung tawanya pecah

“Terimakasih”

“Bunda boleh tanya satu pertanyaan, Mengapa membuat semua yang cantik ini untukku?”

“Alasannya panjang, boleh aku duduk dulu”

“Baiklah”

“Terima kasih.” Lintang membungkuk memberi hormat, dan melepas topi kokinya serta menaruhnya di dada. Ia kini duduk. Matanya menghujam jauh ke mata Nisha. Menyelaminya dan mereguk sepuas-puasnya mata cantik itu. Gelas berisi air putih di angkat, lalu mereka bersulang.

 “Ini white wine-nya?” Nisha bergurau.

Lintang memonyongkan bibirnya. ”Hari ini istimewa.”

Senyum Nisha belum juga hilang dari bibir manisnya. Ia menatap wajah Lintang yang mengucapkan kalimatnya dengan menunduk.

“Aku ingat seorang yang sangat penting. Dialah yang menyelamatkanku dari hidupku yang kosong. Sebenarnya dia bisa membuangku ke masa lalu yang tak kusukai. Tapi dia memilih menyia-nyiakan hidupnya menemaniku.’

Ada perasaan tersentuh yang sangat dalam di dasar hati Nisha. tak pernah ada seorangpun yang mengatakan itu sebelumnya. Terlebih tak pernah ada yang mengatakan bahwa dirinya sangat berarti.

“Aku tak tahu bagaimana berterimakasih kepadanya.”

Pandangan mereka bertemu.

 “Siapa yang mengajarimu kata-kata itu? Nanti ulangi sekali lagi aku ingin mencatatnya.” Senyumnya melebar, hingga menonjolkan kerut-kerut tipis di sekitar pipinya. Gelak tawanya hampir saja pecah, tetapi berusaha ditahannya. Syaraf-syarafnya kembali mengendur melihat tingkah laku Lintang.

*****

Mereka baru kenal beberapa bulan, tetapi bagi Lintang rasanya seperti sudah lama sekali. Dia yakin bahwa pribadi mereka saling melengkapi. Ada hal-hal lain yang disukai Lintang pada wanita itu. Selera humor Nisha sangat lembut, dia suka tersenyum dan sangat feminin. Nisha wanita yang sangat lembut, mempunyai ketegaran dan rasa percaya diri.

Mereka kenal melalui dunia maya. Dunia penuh keraguan. Maka, tak heran ayah Nisha pun ragu pada Lintang. Namun Lintang tahu, ia hanya butuh sedikit usaha untuk mendapat kepercayaan itu. Semua orang tua pasti tak ingin anaknya jatuh  pada tangan yang salah. Nisha begitu spesial di mata ayahnya, dan Lintang  tahu untuk mendapatkan gadis yang begitu istimewa haruslah lelaki yang istimewa. Setidaknya memiliki komitmen. Hingga akhirnya Lintang berjuang membuktikannya dan membuat hubungan itu tak lagi sekedar dunia maya.

“Nis, Aku ingin mengajakmu makan es krim. Kau ada waktu?”

“Benarkah? Dimana?” jawabnya antusias.

“Dekat sini.”

“Kalau begitu aku ganti pakaian dulu.’

“Aku rasa tak perlu, Nis.” Nada lelaki itu sangat halus saat menyebutkan namanya.

“Baiklah kalau begitu,” ucapnya sambil mengenakan sandalnya. “Aku sudah siap.”

“Apa kesukaanmu?”

Nisha tersentak gugup mendengar pertanyaan mendadak itu. ‘Kesukaan apa?”

“Es krim kesukaanmu. Aku paling suka cokelat, dan di sini juga ada es krim kacang hijau.”

“Aku suka cokelat.”

Lintang tersenyum padanya. “Semuanya produksi rumahan. Sangat lembut.”

Toko es krim itu penuh sesak dengan pengunjung, terutama disaat sore yang hangat ini. Lintang mengantar Nisha duduk di kursi di dekat jendela, lalu ia pergi mengantre dengan sabar. Ketika ia kembali, Nisha hampir melompat kaget ketika Lintang membawa dua mangkuk penuh es krim di kedua tangannya. “Aku tidak akan bisa menghabiskan es krim sebanyak ini.”

“Coba saja. Kau pasti akan suka.”

Untuk beberapa saat, tidak ada suara sedikit pun kecuali dengung keheningan. Menyadari bahwa Nisha tidak akan mengucapkan apa-apa lagi untuk memecahkan keheningan itu, Lintang menarik napas dan mengucapkan sesuatu yang terlintas di benaknya.

“Nisha. matamu sungguh cantik.” Lintang berusaha mengalihkan perhatian. Seketika Nisha tersipu dan tak kuasa lagi menatap Lintang. “Aku tidak tahu apakah itu karena matamu begitu besar, begitu gelap, atau karena wajahmu yang proporsional. Tapi semua pesonanya keluar begitu saja.”

“Kau merayuku?” dengan candanya ia menangkupkan kedua tangan untuk menutupi matanya.

“Tidak. Itu hanya pengamatan. Kebetulan saja aku sedang memperhatikannya, dan terlintas dalam pandanganku bahwa wajahmu begitu banyak kekontrasan. Kulit wajahmu putih, namun matamu begitu gelap, dan juga rambutmu.” Lintang sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Nis, will you walk to the road with me to the end?”

“Berikan alasan mengapa kau memintaku menjadi istrimu,” pinta Nisha seolah sedang menimbang-nimbang.

“Karena kau mampu mengisi lubang yang kosong dalam hatiku,” jawab Lintang serius. “Dalam dirimu aku menemukan apa yang aku cari selama ini.  Pencarianku akan berakhir di hatimu.”

Nisha terbayang apa yang pernah dikatakan oleh Lintang kepadanya, bahwa mencintai seseorang berarti mencintai tanpa syarat. “Apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku, Lintang?” Nisha mengulangi pertanyaannya yang dulu pernah ditanyakannya.

“Apakah harus ditanyakan lagi?”

“Kalau begitu jangan minta aku menikah denganmu lalu kau menetapkan syarat-syarat untukku. Cintailah aku tanpa syarat, seperti yang pernah kau janjikan.”.

“Menikahlah denganku, Nisha. Tanpa syarat, Cuma menikahlah denganku,” Lintang terus memohon.

Nisha mengangguk. “Aku berharap setiap keputusan tentang masa depan kita nanti merupakan keputusan bersama.” Nisha membalas tatapan Lintang. Wajah Lintang sangat serius, matanya menyorot tajam memancarkan kerinduan dari lubuk hatinya. Tatapan mata yang menunjukkan bahwa pria itu sungguh-sungguh, lebih kuat bagi Nisha daripada pernyataan cintanya.

“Aku tahu, mungkin ada banyak wanita lain yang bisa membuatku bahagia bersamanya, membangun kehidupan yang pantas bersamanya. Tapi itu saja tak cukup. Aku selalu menunggu seorang wanita impian yang akan berbagi kehidupan denganku.” Matanya seakan memohon, mengatakan apa yang tidak semua dapat dilahirkannya di ujung lidah. “Aku telah menunggu selama ini. Aku mencintaimu. Aku ingin menjalani sisa hidupku bersamamu. Aku ingin menjaga dan dijaga olehmu. Aku sudah menantimu, Nisha, sepanjang hidupku.”

“Aku tahu. Aku juga sudah menantimu.”

*******

Selama lima tahun pernikahan mereka, Nisha menghadiahi seorang gadis kecil yang cantik. Sofia. Melihat gadis kecil itu seperti melihat pribadi Nisha. Senyum Nisha yang selalu memesona melekat kuat di bibir tipis sofia. Matanya bulat bagai yakut. Benar-benar jernih. Tawanya mampu meluruhkan lelah setelah seharian bekerja. Ketika ia bercerita hari-hari yang telah dilaluinya, tak ada satupun yang dapat menghentikannya, kecuali rasa lapar di perutnya.

Sofia benar-benar mewarisi garis-garis kecantikan Nisha. Rambutnya bak mayang terurai, begitu kata pujangga. Rambutnya bagaikan karangan bunga yang terbelah di tengah. Lintang senang memandanginya. Alisnya yang lebat dan bagus, hampir bertemu di atas batang hidung yang panjang dan lurus. Nisha dan Sofia menyempurnakan hidup Lintang.

Sofia saat ini masih tertidur di kamarnya. Siang nanti ia minta diantar untuk lomba melukis di playgroup dekat kompleks rumah. Begitulah mereka, selalu menghabiskan sabtu-minggunya untuk Sofia. Mengantar Sofia ke sekolah benar-benar seperti rekreasi bagi mereka. Membawa bekal makanan kecil, menggelar alas duduk di taman sekolah dan menikmati sinar matahari pagi di bawah canopy pohon akasia.

Untuk sekejap mereka merasa, mungkinkah mereka bisa tinggal di sini, persis seperti ini, untuk selamanya. Tidak harus mencemaskan apa yang akan terjadi esok hari atau hari-hari berikutnya. Tidak perlu mengejar banyak ambisi untuk sukses atau khawatir untuk gagal. Ketenangan seperti ini. Kebahagiaan seperti ini. Selamanya.


Tanah Kusir  6 Februari 2012