Kiai Sahal Kajen, Kiai Pencari Mutiara
Sebagaimana banyak terjadi pada kiai pesantren, kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat. Itu tidak hanya tampak pada rokok yang selalu dipegang dan diisapnya, tapi juga keadaan fisiknya: kurus kering dan tenggorokan yang acap terkena penyakit batuk.
kebiasaan merugikan itu mungkin datang dari " kebiasaan kiai" untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan bangun. Kalau tidak untuk membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemui tamu yang mengajaknya berbicang.
Lahir, dibesarkan dan juga akhirnya menetap di "desa pondok" Kajen di Kabupaten Pati - sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain - Kiai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri sewaktu kecil, kiai Mahfudz, yang juga "kiai ampuh", adik sepupu almarhum Ra'is 'Am NU kiai Bisri Syamsuri.
Kemudian ia melanjutkan pelajaran dengan bimbingan "kiai ampuh" lain, seperti almarhum Kiai Zubair Sarang. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru (bermoral luhur).
Anehnya, kiai berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup "aneh" bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren daerah pesisir utara jawa. termasuk ketika berani mempertaruhkan wibawanya dikalangan sesama ulama pesantren, dengan menerima kehadiran seorang "bule" Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantrennya.
Jawabannya: fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau, diperlakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya' Imam Ghazali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur dengan 'orang dzimmi' (non muslim)?
Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan hanya aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlakukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara, yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki.
Toh kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. terbukti dari pengayoman oleh sesepuh para kiai di desanya sendiri, kiai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan Al-Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya maupun pemerintah, karena takut "kecampuran barang haram", dan begitu dihormati tokoh legendaris Embah Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal.
Itu memang bukti kuatnya akar 'rangkaian mutiara' seperti yang dipungut kiai Sahal itu, untuk masa lampau maupun masa depan.
*Antropologi Kiai adalah diambil dari buku dengan judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah penulis Abdurrahman Wahid.
Sebagaimana banyak terjadi pada kiai pesantren, kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat. Itu tidak hanya tampak pada rokok yang selalu dipegang dan diisapnya, tapi juga keadaan fisiknya: kurus kering dan tenggorokan yang acap terkena penyakit batuk.
kebiasaan merugikan itu mungkin datang dari " kebiasaan kiai" untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan bangun. Kalau tidak untuk membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemui tamu yang mengajaknya berbicang.
Lahir, dibesarkan dan juga akhirnya menetap di "desa pondok" Kajen di Kabupaten Pati - sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain - Kiai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri sewaktu kecil, kiai Mahfudz, yang juga "kiai ampuh", adik sepupu almarhum Ra'is 'Am NU kiai Bisri Syamsuri.
Kemudian ia melanjutkan pelajaran dengan bimbingan "kiai ampuh" lain, seperti almarhum Kiai Zubair Sarang. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru (bermoral luhur).
Anehnya, kiai berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup "aneh" bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren daerah pesisir utara jawa. termasuk ketika berani mempertaruhkan wibawanya dikalangan sesama ulama pesantren, dengan menerima kehadiran seorang "bule" Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantrennya.
Jawabannya: fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau, diperlakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya' Imam Ghazali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur dengan 'orang dzimmi' (non muslim)?
Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan hanya aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlakukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara, yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki.
Toh kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. terbukti dari pengayoman oleh sesepuh para kiai di desanya sendiri, kiai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan Al-Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya maupun pemerintah, karena takut "kecampuran barang haram", dan begitu dihormati tokoh legendaris Embah Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal.
Itu memang bukti kuatnya akar 'rangkaian mutiara' seperti yang dipungut kiai Sahal itu, untuk masa lampau maupun masa depan.
*Antropologi Kiai adalah diambil dari buku dengan judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah penulis Abdurrahman Wahid.