Kamis, Oktober 27, 2011

Sebuah Surat Untuk Serena

By: Langit Mularto

Dear Serena,

Sejak dulu aku memang tak pandai menulis surat, jadi kuharap kau bersedia memaafkanku apabila aku tak sanggup menyatakan perasaanku dengan jelas.

Aku tiba pagi ini dan menemukan tempat yang akan aku tinggali selama beberapa waktu ke depan. Tempat ini lebih baik dari yang kubayangkan. Sulit rasanya untuk tidak membayangkanmu berada di sini bersamaku mengarungi jalanan seindah ini. Hunian bergaya Renaissance yang luar biasa, lukisan-lukisan dinding warna-warni dan rumah-rumah petak bersejarah melebur menjadi campuran marmer dan emas sepanjang tepi jalan.
Venesia selalu menjadi tempat yang akan selalu kita kenang, Serena. Ketika kita mengapung di atas gondola tradisional (traghetto) di Grand Canal, mendengarkan dengungan suara tenor sang perakit, mengabadikan setiap sudut dan permukaan lengkungan yang Gothic. Terlalu banyak yang akan terlintasi nantinya yang akan mengingatkan aku akan dirimu ; Jembatan Rialto, Basilika Santa Maria della Salute Palazzo Dario atau indahnya Ca'd'oro.
Aku terus menerus memikirkanmu sejak berangkat, dan tak habis pikir mengapa perjalanan yang kutempuh sepertinya menuntunku bertemu denganmu. Aku tahu perjalananku belum selesai, dan bahwa hidup adalah jalan yang berkelok-kelok, tapi aku hanya bisa berharap, entah bagaimana, jalan hidupku akan memutar kembali ke tempat seharusnya kuberada.
Itulah yang ada di pikiranku sekarang. Tempatku adalah bersamamu. Sewaktu di mobil, dan ketika pesawatku mengudara, aku membayangkan, jika aku mendarat di Fuimicino aku akan melihatmu di antara kerumunan orang-orang, menungguku. Aku sadar itu sesuatu yang tak mungkin, tapi entah mengapa bayangan itu membuat perasaan meninggalkanmu sedikit lebih mudah. Seolah-olah aku ke sini memang untuk bertemu denganmu, bukan pergi meninggalkanmu.
Serena, sebelum kita berjumpa, aku bagaikan orang tersesat, namun kau melihat sesuatu dalam diriku yang entah bagaimana memberiku arah serta tujuan lagi. Kita berdua tahu alasanku pergi ke Italia. Aku pergi untuk menutup sebuah episode dalam hidupku, berharap hal itu bisa membantu menemukan jalanku. Tapi menurutku, justru kaulah yang aku cari selama ini. Sekarang kaulah yang bersamaku.
Kita berdua tahu aku harus berada di sini untuk beberapa waktu. Aku tak tahu pasti kapan aku akan kembali, dan meskipun kita belum lama bertemu, aku merindukanmu lebih daripada aku merindukan seseorang. Sebagian diriku begitu ingin melompat naik pesawat dan datang menemuimu sekarang, tapi kalau semua ini sungguh nyata seperti yang kubayangkan, aku yakin kita sanggup melampuinya. Aku akan kembali, aku janji. Dalam waktu singkat yang kita lewati bersama, kita memiliki sesuatu yang hanya bisa diimpikan banyak orang, dan aku menghitung hari sampai bisa bertemu kau lagi. Jangan pernah lupa betapa aku mencintaimu.

RESTU 


Rabu, Oktober 12, 2011

Semalam Mimpi di Paris

By : Langit Mularto

Mobilku membelah Champs-Elysees, Paris, melesat keluar tepi jalan dan berbelok ke kanan, lalu kembali ke jalan utama Champs-Elysees dan berkelak-kelok melintasi lalu lintas yang masih sepi. Tatapanku memicing pada deretan toko mewah di tepi jalan legendaris itu. Pada ujung jalan berdiri Arc de Trriomphe -tugu kemenangan- setinggi 49 meter yang di kelilingi oleh putaran dengan sembilan jalur. konon ini adalah putaran terbesar di Prancis.
Laju mobil kearahkan ke utara, menjauh dari pusat kota. Melewati dua buah traffic lamp, aku membelok ke kanan masuk ke Boulevard Malesherbes  lalu ke daerah yang lebih gelap di Gare Saint- Lazare, sebuah stasiun kereta api. Di depanku, stasiun kereta beratap kaca mirip sebuah hanggar pesawat dan rumah kaca. Enam buah taksi berderet di dekat pintu masuk, menunggu kedatangan kereta berikut.
Sebuah rangkaian kereta api menuju Lille sudah mendengus-dengus dan mendesah, bersiap untuk berangkat. lalu aku kembali melintasi lobi da keluar dari pintu samping ke jalan kecil yang sunyi di sebelh barat stasiun itu.
Kembali mobil aku pacu ke arah utara menuju Rue de Clichy. Terhampar di depan mata Montmarte dan sebuah kubah Sacre-Coeur yang indah. Melewati Bios de Boulogne dan perjalananku berhenti di Rue haxo nomor 24, sebuah gereja....

Senin, Oktober 10, 2011

SENYUM ITU MASIH DIINGAT

By : Langit Mularto

Di tengah malam yang pekat itu, Kelana belum juga mampu melepaskan bayangan masa lalunya. Kantuk tak mampu mengusirnya- bahkan sebaliknya- bayangan itu yang mengusir kantuknya. Bayangan ibu dan ayahnya selalu mengawang-awang di atas langit-langit ruangan. Mereka seolah tersenyum menghibur di balik kecut dan masam penyesalan yang tersirat di wajahnya.

Pernah pada suatu hari, sekitar tengah hari, di masa kecilnya, ia membuka peti kayu milik ayahnya. ia melakukannya dengan sangat hati-hati sekali, hingga mencegah bunyi berdecit dari pintu peti. Peti itu sudah sangat usang, terbuat dari kayu jati yang kokoh dan sudah tua. Peti itu padat oleh buku dan di dalam salah satu buku itulah ia menemukan sebuah catatan yang sangat mengagumkan. Kelana kecil sangat senang membaca, bukan main senangnya anak itu membaca. Apabila ia sedang sendirian di rumah, ia menyuruk ke dalam peti di kamar ayahnya untuk mendapatkan sesuatu buku. Ia tahu waktu itu masih tengah hari karena bayangan rumpun bambu belum menyilang pekarangan, panjang dari timur ke barat -orang desa memang masih mengukur waktu dengan melihat panjangnya bayangan pohon yang tumbuh di sekitar halaman rumahnya.

Pada hari yang lain daripada yang lain ayahnya sedang pergi ke sawah, Langit masuk ke dalam kamar, pelan-pelan menutup pintu di belakangnya dan berhasil membuka peti kayu itu tanpa diketahui orang. Ia merasa sangat gembira. Dibukanya buku-buku itu satu persatu, lalu dibalik-baliknya halaman-halamannya untuk mengetahui apakah ada gambar-gambar yang bisa dilihat atau adakah ceritanya. Sebuah buku di antaranya berjudul Manusia Menurut Al-Ghazali. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud judul itu dan tentang apa isi buku itu. Sampul buku itu pun telah memudar dan tanpa motif apapun di atasnya, hanya hitam memudar dimakan usia, ketika dibalikkannya buku itu, segerombolan ngengat merayap di atas halaman-halamannya dan menghilang selekas-lekasnya.

Kelana mengangkat buku itu ke hidung. Baunya sangat khas. Halamannya cukup tebal dan menguning karena usang. Hingga kini ia mampu mengingat baunya. Bau itu mengingatkan akan ayahnya. Ia tak tahu mengapa begitu, tetapi memang selalu demikianlah yang terjadi. Sampulnya yang tebal sudah rusak, karena itu, cepat-cepatlah ia menymbunyikannya di bawah bantal, lalu dikembalikan buku yang lain ke dalam kotak. Ia membaca buku itu ketika sedang sendirian, dan pada suatu hari kembali berjalan mengendap ke dalam kamar ayahnya untuk menukarnya dengan buku lain ketika ia sudah menyerah untuk memahaminya.

Ayahnya selalu dapat mengetahui bahwa ada orang yang telah memegang petinya karena tampak sesuatu yang tidak rapi. Kelana kecil tidak tahu bagaimana menyusun buku-buku itu, maka ia mengaduk-aduk saja sampai ia menemukan yang dicarinya. Tak sukar bagi ayahnya untuk mengetahui siapa pencuri itu dan betapa suka pencuri yang khusus itu kepada bacaan.

Kini, keduanya telah tiada. Tuhan telah berbaik hati kepada mereka, dipeluknya mereka dalam ketenangan, selamanya. Di hari kepergian ibunya, Kelana -yang beranjak dewasa- duduk di sisi ibunya yang sedang berbaring melekapkan kain basah ke kepalanya. Lebih dari dua kali dokter dipanggil untuk melihat perkembangan ibunya, tetapi demamnya masih jauh tinggi dan dokter tak dapat berbuat sesuatu untuk menurunkannya.

Sesekali ia berbicara pada ibunya, "Ibu dengar aku? Oh, Ibu, coba katakan sesuatu padaku. Katakan bagaimana keadaan ibu." Seolah-olah ada tabir di antara mereka berdua. Ibunya seakan-akan sedang bicara. Kelana dapat melihat bibir ibunya bergerak-gerak, tetapi ketika ia membungkuk hendak mendengarkan, tidak didengarnya sesuatu, setidak-tidaknya tak ada yang dimengerti.

Ketika petang hari demam itu meninggalkannya, dan untuk pertama kalinya sesudah berjam-jam ibunya membuka mata dan memandang ke sekitar. Ia sangat lemah. Ketika ia berbicara, kata-katanya hanya terdengar sebagai bisikan yang lemah sekali, sehingga Kelana hampir tidak dapat mengerti apa yang hendak dikatakannya. Kakak perempuannya sedang mengerjakan sesuatu di dapur, sementara ayahnya sedang pergi merantau ke Jakarta sebagai upaya memperbaiki nasibnya sebagai petani derep. Tak ada kabar dari ayahnya berminggu-minggu, komunikasi pada waktu itu sangat sulit.

Kelana tetap duduk di samping ibunya. Hari beranjak senja, tetapi matahari masih menampakkan cahayanya di pucuk pohon kelapa. Ia melongok ke luar jendela. Senang sekali ia melihat matahari senja setelahdua hari hujan tak berhenti dan berdirilah ia di sana sambil mengawasi sinarnya yang terakhir di pucuk pohon.

Hari dan malam berikutnya berlalu. Kelana keluar sebentar membeli bubur nasi untuk ibunya. Ketika kembali, di rumahnya banyak orang telah berkumpul. Ia pun berlari. Kakaknya sedang membungkuk di atas wajah ibunya. "Ibu, lihatlah kami, bukalah mata ibu."

"Ada apa, kak?" Kata Kelana segera sesudah masuk. "Cobalah menyingkir. Kamu mesti emberinya udara segar. Menggeserlah, biar aku lihat." Kakaknya barangkali tidak mendengar kata-katanya dan hanya terus menratap.

Ibunya tidak membuka matanya lagi. Berkali-kali tangan keabadian menerobos tabir surga yang biru dan memberikan isyaratnya kepada seorang wanita tua. Wanita renta itu melepaskan diri dari dada bumi pertiwi, dan hilanglah untuk selama-lamanya di jalan yang tidak kenal kembali. Pada senja hari yang gelap dalam hidupnya yang sakit dan gelisah, ibunya mendengar panggilan itu dan sesudah meninggalkan jalan-jalan yang dicintainya ia pun memulai perjalanan yang baru, menuruni jalan raya yang belum pernah diinjaknya.

Ayahnya belum sampai mengetahui kabar itu. Tempat pertama yang ditujunya ketika ia meninggalkan rumah adalah Bandung. Ia tidak kenal siapapun di situ, tapi ia merasa yakin bahwa karena kota itu kota besar yang ramai, maka kemungkinan akan mendapatkan pekerjaan. Mula-mula harapannya sangat besar karena seseorang yang dijumpainya di jalan mengatakan bahwa para pedagang dan tuan tanah banyak membutuhkan karyawan dengan upah harian atau mingguan. Giranglah ia menghadapi harapan yang demikian baiknya, dan ia pun tinggal tiga minggu lamanya. Namun, harapan yang ditunggu tidak juga datang, sedangkan sedikit uang yang dibawanya sudah habis.

Kini ayahnya berada dalam keadaan sulit yang mengerikan. Ia berada di tempat yang tiada seorangpun dapat membantunya, lebih dari itu, ia pun tidak lagi mampu membayar sewa tempat tinggalnya dan harus mengosongkannya saat itu. Sampai langkah kaki membawanya ke Jakarta dan tidurlah ia secara serampangan di serambi masjid.

Sepanjang hari berikutnya ia habiskan detik demi detik waktunya dengan berkeliling dari rumah ke rumah mengunjungi para penduduk yang kaya. Ketika petang hari ia kembali ke Masjid. Bermalam-malam ia melewati hari-hari beratnya, hingga ia di usir dari masjid dengan alasan ketertiban.

Ke mana pun ia tidak dapat pergi dan mengembara tanpa tujuan, sampe akhirnya menemukan suatu tempat yang sesak di tepi Sungai Ciliwung. Di situ ia menghamparkan alas tidurnya, dan terlelap dengan perut kosong.

Ayahnya selalu bangun dengan ketakutannya menghadapi pagi. Ia merasa khawatir sekali mengingat istrinya di rumah. Ia telah meninggalkannya dengan uang yang hanya cukup untuk dua minggu saja, sedangkan ia telah pergi dari rumah selama hampir tiga bulan. Tentunya istrinya sekarang kelaparan, yang semua itu karena dirinya, suami yang tidak dapat berbuat banyak.

Setelah dua minggu kematian istrinya, ia baru pulang. Sudah tak didapatinya Kelana di sana, hanya kakak perempuan Kelana yang menceritakan semua tragedi takdir itu. Ia menangis, menyesali nasib sulitnya, hingga beberapa tahun kemudian ia menyusul kekasih sejatinya itu menghadap Ilahi.

Mata Kelana membasah, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Dalam hatinya ia menyalahkan dirinya sendiri karena semua nasib sial itu. Jiwanya merintih, terekspresi dalam tangisan kering yang menysakkan napas dan membuat nyeri ulu hatinya. Ia mencoba sedapat mungkin mengusir semua rasa bersalah itu. Penyesalan itu dan rasa pedih yang selalu membuatnya tersedu meratapi masa lalunya. Butir-butir matanya yang bening berjatuhan dari sudut mata yang basah itu.

Badai yang kejam mulai melemah daya upayanya, seperti ribuan amunisi yang telah habis dimuntahkan menerpa bumi. Dentuman-dentuman air hujan yang riuh menerpa atap berubah menjadi rintik-rintik syahdu mengisi dini hari yang gelisah. air yang jatuh dari atap ke pelimbahan masih gemericik menyerupai symphoni, dengan tempo yang semakin melambat.

Malam lirih itu tak mampu dilewatinya dengan terpejamnya mata, hingga hanya kegelisahan tubuhnya terdekap dinginnya dini hari. Kelana mulai bangun, menyandarkan tubuhnya di dinding, merasakan betapa lemahnya ia sebagai lelaki. Keringat dingin di pagi yang dingin membintik di kening dan lehernya, lalu ia mulai bangkit seraya menyambar dua buh buku di sampingnya. Notebook dibuka dan diaktifkan. Energinya ingin dicurahkan ke tugasnya yang tertunda.

Minggu, Oktober 09, 2011

Antologi Kata (belum ada judul)

Mungkin hidup memang tak selalu sesempurna lingkaran, karena hidup adalah kumpulan garis-garis perjalanan. Coretannya kadang membentuk sudut yang sering menyiku atau kadang membentuk sudut yang halus. Mungkin hidup memang tak selalu sesuai pengharapan, karena hidup memang bukan sekumpulan imajinasi dan khayalan dimana lamunannya kadang menawarka keindahan menghempas sedih menolak duka.
Kehidupan dimulai ketika kita telah membalikkan pasir waktu, tak bisa dihentikan dan terus berjalan. Tidak bisa lagi kembali kepada yang sangat jauh kugapai yaitu kemarin. Kehidupan tak semestinya berisi umpulan sesal, lalu memutuskan mencari arah pulang.
Ketika kita sampai pada sebuah pantai kehidupan, maka kita memutuskan untuk membakar sampan kita, berharap dengan begitu kita tak punya niatan untuk kembali pada masa lalu. Hidup harus terus dijalani dengan atau tanpa teman di sisi. Hakekatnya kita memang sepi dalam menelusuri setangkai mawar, durunya kadang menyakitkan meski ujungnya buga indah yang menyenangkan. Tapi siapa yang tahu masa depan? siapa yang bisa merancangnya? Ketika satu persatu duri mawar telah kuinjak aku masih terus berkhayal tentang harumnya bunga. Namun, ketika pasir waktu terus menitik jatuh, sedangkan harum mawar tak kunjung menyapa, akupun memutuskan tak berani lagi berkhayal.
Sakitnya tusukan duri kadang terlupakan meski dilain waktu sering membekas. Lukanya menyadarkanku untuk tak kembali pulang mengendarai sampan sesal. Sakitnya luka itu juga menghentikan aku terlena dalam balutan khayal, imajinasi dan mimpi. perihnya membawaku pada sebuah kesadaran untuk mengikuti semilir angin dan terhanyut mengikuti sungai kehidupan membawaku ke sebuah tujuan.

Dikehingan Tanah Kusir.

01:15 AM

Langit Mularto

Kamis, Oktober 06, 2011

MENGAMBIL HIKMAH DARI SEEKOR ANJING

Buku ini saya dapatkan atas rekomendasi teman saya yang sangat ingin sekali mendapatkannya, cukup sulit memang mendapatkan buku karya Marhaeni Eva, dengan tebal sekitar 274 halaman.
Buku ini berkisah tentang seorang (bernama) Srikandi. Dimana dia memiliki dua kepribadian. Di kala siang hari, dia dikenal oleh masyarakat sebagai orang gila yang menghibur. Di Pasar, di jalanan, di depan sekolahan di perkampungan semua orang mengenalnya. tapi di malam hari, dia menjadi seorang individu yang memiliki sisi komplekstivitas yang tinggi. Banyak melontarkan kisah-kisah sindiran pada negeri ini. dia berperilaku seperti orang gila yang senang mengomentari kinerja para petinggi pemerintahan dengan kritikan-kritikan humoris yang penuh makna. Namun, saat bulan mulai membuka mata, Srikandi berkepribadian layaknya manusia yang sedang mencari jati dirinya. Ia sangat rapuh, ia mencari serpihan-serpihan memori yang ada dalam masa lalu, mencari sebab yang membuatnya menjadi wanita yang hilang akal di pagi hari. diceritakan dengan alur yang gak mudah di tebak dan dengan tata bahasa yang agak susah dipahami pula.
Buku ini banyak menggunakan kosa kata berbahasa Jawa. Namun, pada halaman belakang telah dituliskan arti-arti dari kosakata tersebut sehingga pembaca tetap dapat memahami alur cerita dalam novel ini.
Membaca buku ini mengingatkan saya pada pernyataan Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Kasyifah al-Saja. Kitab ini barangkali tidak asing lagi di kalangan pesantren, khususnya pesantren salaf yang masih memegang tradisi kitab kuning (al-kutub al-shafra’) atau kitab klasik (al-kutub al-qadimah). Berikut ini pernyataan yang penuh makna tersebut: (lihat Kasyifah al-Saja hal. 103 versi Maktabah Syamilah al-Ishdar al-Tsani atau merujuk langsung ke kitabnya)


Dalam diri seekor anjing terdapat sepuluh sifat mulia yang laik kita tiru. Mari kita baca satu per satu, lalu kita renungkan bersama.
1. Anjing terus menerus hidup dalam kondisi lapar. Inilah sifat orang-orang yang saleh. Kita seyogianya tak terpanah akan kebutuhan perut. Jangan sampai predikat abd al-buthun (abdi perut) disematkan di pundak kita. Toh, sejatinya perut yang selalu dipenuhi makanan, lambat laun akan terjejali dengan berbagai penyakit.
2. Pada malam hari anjing tidur dalam waktu yang singkat. Ini adalah sifat orang-orang yang suka bertahajjud. Malam bukan hanya hak kita semata sehingga kita bebas menghabiskan sepenuhnya untuk tidur dalam buaian mimpi. Tahajjud menjadi pembeda antara orang yang malas dan tidak.
3. Bila anjing diusir ribuan kali, ia akan tetap menepi di ambang pintu rumah tuannya. Ini adalah sifat orang-orang yang benar. Ketaatan kepada Allah hendaknya bersemayam dalam diri kita dalam situasi genting sekalipun.
4. Tatkala anjing mati, ia tidak meninggalkan banyak warisan. Ini adalah sifat orang-orang yang zuhud. Harta benda yang menjadi kenikmatan di dunia ini boleh kita miliki, namun hati kita tak boleh terhipnotis olehnya. Zuhud seperti inilah yang disebut dengan zuhud modern. Zuhud tidak selamanya dengan melepas diri dari harta, tapi zuhud juga bisa dilakukan dalam kondisi kaya. Yakni dengan mentasarrufkan harta tersebut ke wilayah amal yang baik.
5. Anjing tidak mengeluh ditempatkan di belahan bumi yang paling hina sekalipun. Ini adalah sifat orang-orang yang rela. Karakter yang kelima ini hendaknya kita genggam. Sedikit atau banyak nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kita, harus kita syukuri. Kita hendaknya senantiasa melatih jiwa dan raga kita untuk menerima ketentuan Allah.
6. Anjing tidak henti-hentinya menatap mata orang lain hingga ia dilempari sepotong daging. Ini adalah sifat orang-orang yang miskin. Di hadapan Allah, kita tak ubahnya orang miskin papa yang tak pernah putus asa mengharap anugerah-Nya.
7. Anjing tak marah meski menerima perlakuan kasar dan dilempari debu. Ini adalah sifat orang-orang yang rindu kepada Tuhannya.
8. Jika ada yang merebut tempatnya, ia rela bergeser/berpindah ke tempat lain. Ini adalah sifat orang-orang yang terpuji.
9. Apabila diberi makanan seberapapun besarnya, ia akan memakannya dengan lahap. Ini adalah sifat orang-orang yang menerima.
10. Ketika bepergian dari satu tempat ke tempat lain, ia tidak membawa bekal apapun. Ini adalah sifat orang-orang yang pasrah kepada Allah.
Demikianlah beberapa hikmah yang bisa kita petik dari seekor anjing. Jadi tepat kiranya jika saya mengatakan, “Mari berguru kepada anjing.” Tulisan ini adalah nasihat untuk diri saya sendiri. Semoga juga bermanfaat bagi teman-teman. Amin....