Senin, Oktober 10, 2011

SENYUM ITU MASIH DIINGAT

By : Langit Mularto

Di tengah malam yang pekat itu, Kelana belum juga mampu melepaskan bayangan masa lalunya. Kantuk tak mampu mengusirnya- bahkan sebaliknya- bayangan itu yang mengusir kantuknya. Bayangan ibu dan ayahnya selalu mengawang-awang di atas langit-langit ruangan. Mereka seolah tersenyum menghibur di balik kecut dan masam penyesalan yang tersirat di wajahnya.

Pernah pada suatu hari, sekitar tengah hari, di masa kecilnya, ia membuka peti kayu milik ayahnya. ia melakukannya dengan sangat hati-hati sekali, hingga mencegah bunyi berdecit dari pintu peti. Peti itu sudah sangat usang, terbuat dari kayu jati yang kokoh dan sudah tua. Peti itu padat oleh buku dan di dalam salah satu buku itulah ia menemukan sebuah catatan yang sangat mengagumkan. Kelana kecil sangat senang membaca, bukan main senangnya anak itu membaca. Apabila ia sedang sendirian di rumah, ia menyuruk ke dalam peti di kamar ayahnya untuk mendapatkan sesuatu buku. Ia tahu waktu itu masih tengah hari karena bayangan rumpun bambu belum menyilang pekarangan, panjang dari timur ke barat -orang desa memang masih mengukur waktu dengan melihat panjangnya bayangan pohon yang tumbuh di sekitar halaman rumahnya.

Pada hari yang lain daripada yang lain ayahnya sedang pergi ke sawah, Langit masuk ke dalam kamar, pelan-pelan menutup pintu di belakangnya dan berhasil membuka peti kayu itu tanpa diketahui orang. Ia merasa sangat gembira. Dibukanya buku-buku itu satu persatu, lalu dibalik-baliknya halaman-halamannya untuk mengetahui apakah ada gambar-gambar yang bisa dilihat atau adakah ceritanya. Sebuah buku di antaranya berjudul Manusia Menurut Al-Ghazali. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud judul itu dan tentang apa isi buku itu. Sampul buku itu pun telah memudar dan tanpa motif apapun di atasnya, hanya hitam memudar dimakan usia, ketika dibalikkannya buku itu, segerombolan ngengat merayap di atas halaman-halamannya dan menghilang selekas-lekasnya.

Kelana mengangkat buku itu ke hidung. Baunya sangat khas. Halamannya cukup tebal dan menguning karena usang. Hingga kini ia mampu mengingat baunya. Bau itu mengingatkan akan ayahnya. Ia tak tahu mengapa begitu, tetapi memang selalu demikianlah yang terjadi. Sampulnya yang tebal sudah rusak, karena itu, cepat-cepatlah ia menymbunyikannya di bawah bantal, lalu dikembalikan buku yang lain ke dalam kotak. Ia membaca buku itu ketika sedang sendirian, dan pada suatu hari kembali berjalan mengendap ke dalam kamar ayahnya untuk menukarnya dengan buku lain ketika ia sudah menyerah untuk memahaminya.

Ayahnya selalu dapat mengetahui bahwa ada orang yang telah memegang petinya karena tampak sesuatu yang tidak rapi. Kelana kecil tidak tahu bagaimana menyusun buku-buku itu, maka ia mengaduk-aduk saja sampai ia menemukan yang dicarinya. Tak sukar bagi ayahnya untuk mengetahui siapa pencuri itu dan betapa suka pencuri yang khusus itu kepada bacaan.

Kini, keduanya telah tiada. Tuhan telah berbaik hati kepada mereka, dipeluknya mereka dalam ketenangan, selamanya. Di hari kepergian ibunya, Kelana -yang beranjak dewasa- duduk di sisi ibunya yang sedang berbaring melekapkan kain basah ke kepalanya. Lebih dari dua kali dokter dipanggil untuk melihat perkembangan ibunya, tetapi demamnya masih jauh tinggi dan dokter tak dapat berbuat sesuatu untuk menurunkannya.

Sesekali ia berbicara pada ibunya, "Ibu dengar aku? Oh, Ibu, coba katakan sesuatu padaku. Katakan bagaimana keadaan ibu." Seolah-olah ada tabir di antara mereka berdua. Ibunya seakan-akan sedang bicara. Kelana dapat melihat bibir ibunya bergerak-gerak, tetapi ketika ia membungkuk hendak mendengarkan, tidak didengarnya sesuatu, setidak-tidaknya tak ada yang dimengerti.

Ketika petang hari demam itu meninggalkannya, dan untuk pertama kalinya sesudah berjam-jam ibunya membuka mata dan memandang ke sekitar. Ia sangat lemah. Ketika ia berbicara, kata-katanya hanya terdengar sebagai bisikan yang lemah sekali, sehingga Kelana hampir tidak dapat mengerti apa yang hendak dikatakannya. Kakak perempuannya sedang mengerjakan sesuatu di dapur, sementara ayahnya sedang pergi merantau ke Jakarta sebagai upaya memperbaiki nasibnya sebagai petani derep. Tak ada kabar dari ayahnya berminggu-minggu, komunikasi pada waktu itu sangat sulit.

Kelana tetap duduk di samping ibunya. Hari beranjak senja, tetapi matahari masih menampakkan cahayanya di pucuk pohon kelapa. Ia melongok ke luar jendela. Senang sekali ia melihat matahari senja setelahdua hari hujan tak berhenti dan berdirilah ia di sana sambil mengawasi sinarnya yang terakhir di pucuk pohon.

Hari dan malam berikutnya berlalu. Kelana keluar sebentar membeli bubur nasi untuk ibunya. Ketika kembali, di rumahnya banyak orang telah berkumpul. Ia pun berlari. Kakaknya sedang membungkuk di atas wajah ibunya. "Ibu, lihatlah kami, bukalah mata ibu."

"Ada apa, kak?" Kata Kelana segera sesudah masuk. "Cobalah menyingkir. Kamu mesti emberinya udara segar. Menggeserlah, biar aku lihat." Kakaknya barangkali tidak mendengar kata-katanya dan hanya terus menratap.

Ibunya tidak membuka matanya lagi. Berkali-kali tangan keabadian menerobos tabir surga yang biru dan memberikan isyaratnya kepada seorang wanita tua. Wanita renta itu melepaskan diri dari dada bumi pertiwi, dan hilanglah untuk selama-lamanya di jalan yang tidak kenal kembali. Pada senja hari yang gelap dalam hidupnya yang sakit dan gelisah, ibunya mendengar panggilan itu dan sesudah meninggalkan jalan-jalan yang dicintainya ia pun memulai perjalanan yang baru, menuruni jalan raya yang belum pernah diinjaknya.

Ayahnya belum sampai mengetahui kabar itu. Tempat pertama yang ditujunya ketika ia meninggalkan rumah adalah Bandung. Ia tidak kenal siapapun di situ, tapi ia merasa yakin bahwa karena kota itu kota besar yang ramai, maka kemungkinan akan mendapatkan pekerjaan. Mula-mula harapannya sangat besar karena seseorang yang dijumpainya di jalan mengatakan bahwa para pedagang dan tuan tanah banyak membutuhkan karyawan dengan upah harian atau mingguan. Giranglah ia menghadapi harapan yang demikian baiknya, dan ia pun tinggal tiga minggu lamanya. Namun, harapan yang ditunggu tidak juga datang, sedangkan sedikit uang yang dibawanya sudah habis.

Kini ayahnya berada dalam keadaan sulit yang mengerikan. Ia berada di tempat yang tiada seorangpun dapat membantunya, lebih dari itu, ia pun tidak lagi mampu membayar sewa tempat tinggalnya dan harus mengosongkannya saat itu. Sampai langkah kaki membawanya ke Jakarta dan tidurlah ia secara serampangan di serambi masjid.

Sepanjang hari berikutnya ia habiskan detik demi detik waktunya dengan berkeliling dari rumah ke rumah mengunjungi para penduduk yang kaya. Ketika petang hari ia kembali ke Masjid. Bermalam-malam ia melewati hari-hari beratnya, hingga ia di usir dari masjid dengan alasan ketertiban.

Ke mana pun ia tidak dapat pergi dan mengembara tanpa tujuan, sampe akhirnya menemukan suatu tempat yang sesak di tepi Sungai Ciliwung. Di situ ia menghamparkan alas tidurnya, dan terlelap dengan perut kosong.

Ayahnya selalu bangun dengan ketakutannya menghadapi pagi. Ia merasa khawatir sekali mengingat istrinya di rumah. Ia telah meninggalkannya dengan uang yang hanya cukup untuk dua minggu saja, sedangkan ia telah pergi dari rumah selama hampir tiga bulan. Tentunya istrinya sekarang kelaparan, yang semua itu karena dirinya, suami yang tidak dapat berbuat banyak.

Setelah dua minggu kematian istrinya, ia baru pulang. Sudah tak didapatinya Kelana di sana, hanya kakak perempuan Kelana yang menceritakan semua tragedi takdir itu. Ia menangis, menyesali nasib sulitnya, hingga beberapa tahun kemudian ia menyusul kekasih sejatinya itu menghadap Ilahi.

Mata Kelana membasah, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Dalam hatinya ia menyalahkan dirinya sendiri karena semua nasib sial itu. Jiwanya merintih, terekspresi dalam tangisan kering yang menysakkan napas dan membuat nyeri ulu hatinya. Ia mencoba sedapat mungkin mengusir semua rasa bersalah itu. Penyesalan itu dan rasa pedih yang selalu membuatnya tersedu meratapi masa lalunya. Butir-butir matanya yang bening berjatuhan dari sudut mata yang basah itu.

Badai yang kejam mulai melemah daya upayanya, seperti ribuan amunisi yang telah habis dimuntahkan menerpa bumi. Dentuman-dentuman air hujan yang riuh menerpa atap berubah menjadi rintik-rintik syahdu mengisi dini hari yang gelisah. air yang jatuh dari atap ke pelimbahan masih gemericik menyerupai symphoni, dengan tempo yang semakin melambat.

Malam lirih itu tak mampu dilewatinya dengan terpejamnya mata, hingga hanya kegelisahan tubuhnya terdekap dinginnya dini hari. Kelana mulai bangun, menyandarkan tubuhnya di dinding, merasakan betapa lemahnya ia sebagai lelaki. Keringat dingin di pagi yang dingin membintik di kening dan lehernya, lalu ia mulai bangkit seraya menyambar dua buh buku di sampingnya. Notebook dibuka dan diaktifkan. Energinya ingin dicurahkan ke tugasnya yang tertunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar