Minggu, September 14, 2008

ANTROPOLOGI KIAI (1)*

Kiai Sahal Kajen, Kiai Pencari Mutiara

Sebagaimana banyak terjadi pada kiai pesantren, kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat. Itu tidak hanya tampak pada rokok yang selalu dipegang dan diisapnya, tapi juga keadaan fisiknya: kurus kering dan tenggorokan yang acap terkena penyakit batuk.
kebiasaan merugikan itu mungkin datang dari " kebiasaan kiai" untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan bangun. Kalau tidak untuk membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemui tamu yang mengajaknya berbicang.
Lahir, dibesarkan dan juga akhirnya menetap di "desa pondok" Kajen di Kabupaten Pati - sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain - Kiai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri sewaktu kecil, kiai Mahfudz, yang juga "kiai ampuh", adik sepupu almarhum Ra'is 'Am NU kiai Bisri Syamsuri.
Kemudian ia melanjutkan pelajaran dengan bimbingan "kiai ampuh" lain, seperti almarhum Kiai Zubair Sarang. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru (bermoral luhur).
Anehnya, kiai berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup "aneh" bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren daerah pesisir utara jawa. termasuk ketika berani mempertaruhkan wibawanya dikalangan sesama ulama pesantren, dengan menerima kehadiran seorang "bule" Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantrennya.
Jawabannya: fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau, diperlakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya' Imam Ghazali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur dengan 'orang dzimmi' (non muslim)?
Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan hanya aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlakukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara, yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki.
Toh kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. terbukti dari pengayoman oleh sesepuh para kiai di desanya sendiri, kiai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan Al-Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya maupun pemerintah, karena takut "kecampuran barang haram", dan begitu dihormati tokoh legendaris Embah Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal.
Itu memang bukti kuatnya akar 'rangkaian mutiara' seperti yang dipungut kiai Sahal itu, untuk masa lampau maupun masa depan.




*Antropologi Kiai adalah diambil dari buku dengan judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah penulis Abdurrahman Wahid.

Selasa, September 02, 2008

Ramadhan Ya Ramadhan

By : Langit Mularto

Gegap gempita menyambut kedatangan Ramadan dan hiruk pikuk kaum muslimin menjalani Ramadan, disatu sisi bisa dipandang sebagai pertanda maraknya kehidupan beragama, khususnya di negeri ini. Namun, dilain pihak, bias sebagai bahan perenungan kita semua, terutama bagi peningkatan mutu keberagamaan kita. Lihatlah, bagaimana repotnya pemerintah mengkoordinasikan pihak-pihak yang di ajak bersama-sama mengitung dan meneropong hilal untuk menetapkan awal Ramadan. Bahkan, tahun ini masyarakat umumpun dilibatkan dalam kegiatan rukyah. Lihatlah spanduk-spanduk menyambut kedatangan Ramadan yang terpampang di seantero jalan. Lihatkan kesibukan para produser dan insan-insan pertelevisian serta para pemilik PH yang bahkan jauh-jauh hari menyusun program-program Ramadan. Lihatlah ingar-bingar masjid-masjid dan mushola serta meriahnya acara buka bersama dimana-mana. Lihatlah kepedulian instansi-instansi, termasuk kepolisian yang dengan serius berusaha menghormati Ramadan. Luar biasa. Pendek kata pada Ramadan ini, Indonesia seolah-olah menjadi milik kaum muslimin. Lautan, daratan, dan udara boleh dikata dikuasai kaum muslimin. Subhanallah! Kata Ilham dan ustad-ustad dalam takjub. Fenomena ini bisa kita saksikan setiap tahun. Setiap Ramadan. Hanya pada Ramadan. Inilah acara rutin tahunan kita selama ini. Seakan-akankita hanya menunggu datang dan perginya Ramadan, lalu setelah itu kembali kepada kesibukan lain yang biasa kita lakukan di sebelas bulan yang lain. Seakan-akan kita menghormati Ramadan hanya pada Ramadan. Kita berpuasa, menahan diri hanya kepada Ramadan. Termasuk berakrab-akrab dengan keluarga pun hanya pada Ramadan. Itu pun – kehidupan Ramadan yang seperti itu – masih menyisakan sekian tanda Tanya bagi mereka yang benar-benar ingin mendapatkan keridaan Tuhan mereka. Tanda Tanya itu antara lain, dimanakah posisi Allah dalam diri kita di tengah kesibukan kita yag khas itu? Seberapa murnikah niat kita dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah kita? Atau seberapa jauh dorongan nafsu yang samara menyusupi keinginan kita mendapatkan rida Allah? Dengan perenungan yang agak dalam, kita mungkin akan menyadari bahwa nafsu begitu halus tersembunyi dalam diri kita, sering berimpita dengan kehendak mendapatkan rida Allah. Kita berzikir atau membaca Quran, misalnya, tentulah dengan kehendak ingin mendapatkan rida-Nya. Namun, bersamaan dengan itu, sering tanpa kita sadari nafsu justru mendorong kita untuk berlebih-lebihan, sehingga kehendak yang mulia itu malah melenceng melanggar anggar-anggar-Nya. Kita berzikir atau membaca Quran tidak lagi murni bagi Allah Yang Mahadekat, tetapi kita keraskan suara kita sedemikian rupa seolah-olah kita sedang menyeru orang tuli. Bahkan, di negeri ini, kebiasaan berzikir, membaca Quran, dan sebagainya, dengan pengeras suara sudah merupakan hal jamak lumrah. Tak ada seorang kiai pun yang mengingatkannya. Saya sendiri pernah menyinggung masalah kemaruk pengeras suara ini, di koran ini. Besoknya ada penelepon yang marah-marah, “MUI saja, Gus Dur saja, tidak mempersoalkan, kok sampeyan mempersoalkan!” Saya mempersoalkan hal ini justru karena MUI dan Gus Dur tidak terang-terangan mempersoalkannya, jawab saya ketika itu. Biasanya orang yang membenarkan zikir dsb dengan pengeras suara beralasan bahwa itu merupakan syi’ar. Saya tidak tahu apakah maksud mereka dengan syi’ar itu? Apakah Rasulullah SAW yang melarang berzikir keras-keras itu tidak mengerti syi’ar? Apakah para sahabat, Imam Syafi’i dan ulama-ulama besar yang mengecam zikir dengan suara keras itu tiak mengerti syi’ar? Lagi pula apakah, karena kita merasa besar, lalu kita merasa merdeka dan menafikkan hak mereka yang lain – sekecil apa pun – untuk tidak diganggu dengan suara-suara keras? Kehendak untuk diterima amal kita sering juga disusupi nafsu yang samar, lalu kita menjadi egois; ingin agar amal kita sendiri yang diterima tanpa mengindahkan hak orang lain untuk berkehendak diterima amalnya. Bahkan, sering karena kita terlalu ingin mendapatkan rida Allah, lalu kita mempersetankan hak orang lain untuk menjadi hamba-Nya sesuai kemampuannya. Tengoklah mereka yang karena ingin menghormati Ramadan, lalu ingin memaksa para pemilik warung untuk menutup warung. Mereka lupa bahwa tidak semua orang muslim wajib melaksanakan puasa pada Ramadan. Di sana ada musafir-musafir yang di perkenankan tidak puasa dan perempuan-perempuan yang datang bulan yang malah tidak boleh berpuasa. Maraknya kehidupan beragama secara lahiriah seharusnya diikuti dengan maraknya spiritualitas kaum beragama secara batiniah. Dengan demikian, Ramadan tidak begitu saja berlalu sebagaimana momen-momen rutin lain yang tidak membekas. Apalagi justru menjadikan kita hamba-hamba yang bangga diri terhadap kebesaran semu kita. Selamat berpuasa Ramadan! Semoga Allah mengampuni kekurangan-kekurangan kita dan menrima amal ibadah kita. Amin.

Ditulis ulang dari KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)