Rabu, Agustus 03, 2011

PULANG

BY: MULARTO

Muntamah, seorang janda, sedang duduk di beranda. Ia sedang sarapan pagi yang berupa nasi liwet, ditemani anak tetangganya yang berusia enam tahun, anak perempuan Harsono satu-satunya. Anak itu hanya diam termangu, dengan matanya yang cantik terbuka lebar penuh ingin, mengikuti gerakan tangan wanita tua itu menyuap sisa nasi yang tak seberapa. Ketika akhirnya nasi itu habis tak bersisa, perempuan itu memandang dan berseru kepadanya, “Oh Tuhan... Nak, tak ada lagi buat kamu! Sama sekali tak punya pikiran aku ini.”
Namun, tidak lama. Ibunya memanggil dari dalam rumah, “Buat apa kamu berlama-lama di situ? Masuk sini!”.
Muntamah menjawab, “Tak apa, Ratih. Biarkan ia duduk-duduk di sini denganku. Desi sama sekali tak menggangguku.”
“Jangan!” kata Ratih ketus. “Tidak baik seperti itu, Desi mengamatimu penuh ingin waktu makan. Saya tidak senang anak saya seperti itu. Ayo, cepat masuk, Desi.”
Anak itu bangkit dengan takut dan bingung, lalu masuk ke dalam rumah.
Satu dasawarsa lalu, Harsono datang ke tanah ini membangun sebuah rumah kecil, di sisi bangunan reot Muntamah. Harsono bekerja di kota besar sebagai pesuruh dan hanya mampu pulang tiga bulan sekali. Ia mempunyai anak perempuan kecil, Desi. Muntamah senang sekali dengan anak itu. Ia tak menginginkan kegembiraan yang lain lagi dihidupnya yang miskin ini. Desi adalah jalan untuk membuatnya bahagia dan senang, di masa hidupnya yang tak tersisa banyak lagi.
Tetapi jalan kebahagiannya itu tak selalu mudah terlaksana. Istri Harsono seorang yang cantik, dengan sikap yang tak pernah menentu. Ratih tidak begitu senang melihat perempuan tua itu. Muntamah adalah tetangga terdekat keluarga itu. Harsono selalu berbaik hati pada janda renta itu, namun tidak bagi Ratih. Baginya, Muntamah hanyalah seorang wanita tua yang sekedar biasa duduk di teras rumahnya dan menghabiskan sebagian makan keluarga mereka. Sebenarnya banyak tetangga yang silih berganti menanggung hidupnya, tapi Harsono merasa mempunyai tanggung jawab karena wanita itu hidup di depan matanya.
Minggu-minggu ratih banyak dihabiskan bertengkar dengan nenek tua itu meski disebabkan oleh perkara yang sepele. Seringkali akibat pertengkaran itu Muntamah mengancam akan pergi dari rumahnya sendiri dan berkata “Nyonya Harsono, aku akan pergi. Entah apakah aku akan kembali atau tidak ke rumah ini lagi.” Meski setelah kata-kata itu terucap ia merasa sedih dan berat menggelayuti kakinya untuk melangkah.
Biasanya, Muntamah hanya melewatkan sepanjang harinya di pos ronda di sudut desanya. Menjelang senja mengintip, Desi yang menyadari ketiadaan wanita tua itu mulai menjemputnya, menarik lengan wanita renta itu. “Nek, pulanglah. Nanti saya bilang Ibu untuk tidak bertengkar lagi dengan Nenek. Ayolah Nek, pulang!” Dalam temaram petang itu kembaliah ia ke rumah dalam cengkeraman lengan anak itu.
Ratih dengan judes menolehnya jika Muntamah telah kembali dari pengembaraan sesaat itu. “Hmm... kembali juga si tua itu rupanya. Mungkin sudah tak ada lagi piring-piring yang tersedia di rumah tetangga untuknya. Dasar tak tahu malu.”
Di sisi utara rumah Harsono itulah wanita tua itu tinggal. Di sebuah gubuk beratap seng yang lebih banyak titik bocornya di sana-sini. Hari-hari Muntamah dihabiskan di depan mesin jahit. Tak jelas apa yang dijahitnya, hanya gombalan sobek yang dibuatnya menjadi alas tidurnya. Sekali waktu dibongkarnya kembali jahitannya itu dan coba kembali disusunnya. Di satu sudut dari ruangan itu terhamparlah tikar plastik yang sudah usang dan sejumlah selimut wool yang kusam. Tempayan yang menjadi kebanggannya dipenuhi beras pemberian tetangga. Di sisi-sisi tempayan itu berturut-turut sebuah jambangan yang berisi minyak sayur dan kemudian garam serta gula.
Hampir tak pernah Ratih menginjakkan kakinya di gubuk wanita tua itu, meski hampir setiap senja Desi hadir di sana dan duduk berjam-jam untuk mendengarkan dongeng-dongeng Muntamah. Sering Desi sudah mendengar cerita yang sama berulang-ulang tanpa rasa bosan. Tapi seringkali gadis kecil itu yang memaksa cerita yang berulang.
Bagi Muntamah, bertahun-tahun ia tak menemukan lawan yang gigih untuk mendengar dongeng masa mudanya, dan sekarang ia bisa mengulang ingatannya yang berserak di tepi kepalanya, dengan cara inilah ia menjadi tidak pikun. Di tengah cerita, seringkali Muntamah menatap senyap kepada anak ini dengan senyum bahagia. Hingga menjelang malam Desi segera bangkit menyadari akan ada teriakan dari ibunya kalau ia tak segera bergegas.
Suatu pagi di akhir bulan Juni yang ramah, seorang wanita bernama Titi yang memiliki warung kecil di pertigaan jalan desa itu datang menghampiri pekarangan Ratih yang sedang menyapu dan berseru kepadanya. “Ratih, kamu harus membayar aku dua puluh ribu rupiah.” Katanya ketus, “aku ke sini untuk menagih hutang wanita itu yang telah mengambil sejumlah barang dariku. Katanya, aku bisa menagihnya padamu.”
Senyum yang semula bersahabat di bibir Ratih sekejap memudar berganti seringai kesal. Di hadapannya sekarang adalah Titi, seorang pemilik warung yang terkenal kikirnya. Ratih semakin menjadi kekesalannya ketika Titi makin mencibirnya, “Apa kamu kira aku bohong? Coba tanya ke wanita tua itu, kalau kamu tidak percaya padaku.”
Ratih marah sekali, sehingga hanya dapat tercenung tanpa berkata-kata, lalu pergi ke gubuk itu melabrak Muntamah. “Nenek tua!” Kecamnya. “Apa kamu pikir mencari uang itu mudah? Titi bilang kamu membeli sejumlah barang darinya. Apa saja barang itu? Hari ini dua puluh ribu, kemaren lima ribu, minggu lalu dua belas ribu lima ratus. Apakah kamu pikir aku akan begitu mudah mendapat uang untuk membayar sesuatu yang kamu beli? Kamu tidak malu membeli bukan dengan uangmu sendiri?”
Wajah tua Muntamah yang berkerut sekejap pasi dan semakin mengkerut. “Aku tak akan lama lagi di sini, tolonglah dibayar. Hanya untuk kali ini.”
“Uang, uang dan uang. Selalu itu yang kamu kuras dariku. Tak pernahkah kamu berpikir yang menyenangkan kami? Bukankah kamu punya panci, piring, gelas yang bisa kamu tukarkan? Kenapa kamu tidak menjualnya?”
Desi yang mendengar pertengkaran itu dengan segera berlari menuju warung Titi. “Nenek itu sudah sangat tua. Ia sudah merepotkan ibu Titi. Dengarlah bu, aku punya sepuluh ribu rupiah dalam kotak rahasiaku. Saya akan memberikannya kepada ibu jika semua sudah tidur. Tapi Ibu harus berjanji tidak mengatakan ini pada Mama, aku ambil uang itu malam nanti tanpa sepengatahuan Mama dan akan aku bawa ke Ibu.”
Matahari belum tepat di atas kepala saat Muntamah meninggalkan rumah. Tangan kanannya yang renta memegang kantong plastik merah berisi selimut, sedangkan tangan satunya tampak tergopoh memegang jambangan yang entah apa isinya.
Desi meneriakinya, “Nenek, jangan pergi meninggalkan kami. Jangan. Kemana Nenek akan pergi?” Anak itu berlari mengejar wanita tua itu dan menarik-narik lengannya. “Kalau Nenek pergi, aku akan menangis.”
Ratih yang melihat semua itu berteriak dari beranda. “Pergilah jika itu inginmu. Tidak ada yang akan menahanmu.” Perempuan tua itu tiada menoleh sekalipun Desi berlari sepanjang jalan setapak itu dengan isak yang masih tersisa. “Tak usah kau kejar Nenek itu Desi. Jika ia tau berterimakasih tak seharusnya ia berbuat seperti itu. Hidupnya selama ini telah ditanggung ayahmu. Semestinya ia pertimbangkan itu semua.”
Banyak tetangga yang bersimpati padanya dan ingin menampung di rumahnya. Sempat Muntamah tinggal seminggu bersama keluarga Widodo, di barat desa, kemudian ia berpindah ke rumah Hartaji, dan sesudah itu ke rumah keluarga Putu. Mereka mula-mula menunjukkan kebaikan yang luar biasa, namun sambutan selalu berubah menjadi hambar setelah minggu demi minggu berlalu, hingga dengan berbagai cara, rasa bosan mulai ditunjukkan kepada wanita itu. Setiap awal minggu ia berharap Harsono datang menjemputnya dan memintanya pulang, tapi tak seorangpun datang, bahkan Desi pun tidak. Wanita tua itu coba meyakinkan dirinya bahwa tak mungkin anak seumurnya berjalan jauh dari rumahnya untuk mencarinya. Sekali-dua ia sengaja melintas di depan rumah keluarga Harsono dengan harapan anak itu melihatnya, namun, sekedipan matapun ia tak menjumpainya.
Ia mulai sadar, tak ada yang dapat menampungnya lagi karena semua dari mereka tak ada hubungan kekerabatan yang dekat, tak ada yang mau menerima orang lain di rumahnya sepanjang hidupnya. Di desa tetangga ada sebuah pondok beratap ilalang di sudut utara desanya. Pondok di tengah ladang milik keluarga Warsidi, tetapi sekarang sudah kosong. Pondok itu kecil sekali. Dindingnya terbuat dari gedek bambu dan letaknya persis di tengah ladang dan terpisah dari rumah-rumah yang lain.
Beberapa tetangga masih sesekali memberinya makan, meski tak serutin dulu. Tetangga yang lain coba merayu Ratih untuk mengajak wanita tua itu pulang. “Aku tak peduli. Apapun yang terjadi aku tak akan menerimanya kembali di sini.” Selalu ucapan nyinyir itu yang terucap di bibir Ratih. Hari-hari pertama, beberapa keluarga telah berniat baik mengiriminya segala sesuatu yang mungkin diperlukannya, tetapi sedkit demi sedikit minat mereka itu menyusut, dan mulailah perempuan tua itu kekurangan. Wanita tua itu mulai meratapi kesulitannya. “Tak ada yang menyuruhku pergi dan Desi pun menangis sambil menahanku.” Air mata menuruni pipinya yang cekung.
Matahari menyengat di bulan Juli yang panas. Udara terasa pengap di dalam rumah, sekalipun menjelang sore angin mulai bertiup hanya sedikit saja menyingkirkan panas yang masih banyak tersisa. Muntamah telah berjalan keliling desanya berpanas-panas dengan pengembaraan yang berujung keputus-asaan dari rumah ke rumah, dan ketika ia kembali ke pondok senja hari, ia menderita demam. Ia menggelar tikarnya di halaman pondoknya yang teduh dengan tenang. Di dekatnya kepalanya terdapat poci tanah berisi air. Demam telah membuatnya begitu haus hingga ia beberapa kali meneguk air dari poci tersebut.
“Nek!” Muntamah menoleh dan mengangkat kepalanya akibat seruan itu. Desi datang dengan membawa sesuatu terbungkus dalam kain. Lemah sekali sahutan Muntamah menjawab panggilan anak itu, tetapi ia masih sanggup mengulurkan tangannya yang kurus itu kepada Desi dan mendekapnya dengan kasih sayang. Desi membuka bungkusan kain itu. “Ini kue talam, nek. Aku membelinya di pasar dekat rumah pagi tadi.”
Muntamah duduk tegak lalu mulai menyentuh kue yang dibawa Desi dengan tangannya yang lemah. “Coba nenek lihat,” katanya lemah. “Darimana kamu dapatkan semua ini, sayang.”
“Aku menabung seminggu ini, Nek,” ucapnya lirih. “Nenek makanlah!” Ketika percakapan itu mengalir beberapa saat, Desi baru menyadari sesuatu, “Nek, badanmu panas sekali.”
“Sepanjang hari ini aku berputar-putar keliling desa. Oleh karena itu badanku sedikit demam. Biarlah aku berbaring sebentar.”
Desi hanya seorang anak, namun ia begitu tahu apa yang menyebabkan neneknya bepergian di bawah terik mentari. Ia membelai tubuh tua itu dengan penuh kecintaan yang kini mengkerut karena kesulitan dan kemiskinan. “Nenek pulang ya!” katanya, “tak ada lagi yang mendongeng di senja hari. Pulanglah Nek!”
Muntamah gembira sekali mendengarnya. Memang itu yang diharapkannya selama ini, hingga ia tak dapat menyembunyikan gelembung bahagianya itu. “Ibumu telah memintaku pulang?” katanya bersemangat.
“Tidak, Nek,” jawab Desi. “Tapi meski begitu, pulanglah Nek. Ia akan memaafkan semuanya. Nenek harus bicara padanya.”
Desi pulang diiringi lembayung senja dengan kegembiraan menunggu esok hari yang dijanjikan Muntamah untuk kembali ke rumah.
Malam itu seorang datang dari sisi lain dengan tergopoh-gopoh membawa pesan untuk Harsono. Namun tak dijumpainya Harsono di rumah itu, hanya Ratih yang memandangnya dengan penuh tanya. “Di mana suamimu? Apa dia tidak ada di rumah? Nenek itu... Ia sudah berkeliaran sepanjang hari di bawah panas matahari, kini ia hanya terbaring saja di luar pondok di tengah ladang Warsidi.”
Beberapa tetangga sudah berada di pondok yang hanya diterangi sentir. Satu-dua orang duduk di dekat wanita tua itu dengan menggosokkan minyak pada dada dan punggungnya. Muntamah membuka mata, tetapi hanya tatapan kosong tanpa daya yang dihasilkannya ketika ia menoleh ke beberapa orang itu. Warsidi menuangkan sedikit air ke mulut wanita itu, tetapi tak sedikitpun terhisap ke dalam mulutnya.
Wanita tua itu semakin tenggelam dengan cepat dalam ketiadaan. Warsidi menutupkan kelopak matanya yang mengalir sebutir air mata dari ceruk matanya yang cekung dan terus turun ke pipinya yang berkerut. Hingga kemudian Muntamah menuruni jalan yang belum pernah ia injak sebelumnya. Jalan kembali padaNya.



Jatinegara, 27- Juli- 2011