Senin, Agustus 04, 2008

Moses

By : Mularto

Tersebutlah seorang Moses,tetangga saya ini seperti halnya shakespeare, tidak memandang penting namanya. Meskipun sediki terdengar aneh bagi warga kampung kami. Di barat atau bagi orang Nasrani, sudah terbiasa mendengar nma Moses yang diambil dari nama seorang nabi Bani Israel, Musa. Menurut Moses sendiri, ayahnya dahulu pun tidak mempunyai motivasi dalam pemberiaan nama tersebut. Sang ayah hanya mengikuti saja anjuran kakeknya tanpa bertanya lebih jauh tentang maksud dan tujuan pemberian nama tersebut.
Sebelumnya, Moses tinggal di sebuah desa kecil di Solo. Ayahnya yang sebagai pensiunan pegawai negeri sipil sengaja ingin pindah ke Jakarta, karen aibunya yang sedang mengidap komplikasi diabetes harus dirawat di rumah sakit di Jakarta. Moses dan keluarganya tinggal di sebuah rumah berukuran 170 meter persegi, tepat disamping rumah saya. Rumah itu dibelinya dengan harga seratus juta rupiah dari keluarga Bapak Kamsani, pemilik sebelumnya.
Rumah,sawah dan semua harta bendanya tak tersisadijual untuk mengobati ibu dan modal tinggal di Jakarta. Sebelumnya ayah Moses adalah orang yang disegani di Solo. Kewibawaan dan kepemilikan atas berbagai bidang tanah dan sawah turut mendukung keseganan warga dikampungnya.
***
Sebagai muslim yang taat, Moses memang sanagt ingin pergi haji. Tetepai keinginan itu selalu tertunda karena ia ingin pergi “haji” ketempat lain. Tahun kemarin, ia pergi “haji” ke Aceh menjadi sukarelawan korban Tsunami. Modal ke tanah suci, dipakainya untuk berjihad hanya didepan serambi Mekkah. Di matanya, hukum-hukum Islam banyak berubah, meskipun kita mampu, haji dianggap tidak wajib. Haji bisa menjadi sunnah, atau makruh tergantung skala prioritas. Karena itu pulalah hajinya selalu tertunda.
Ketika saya bertanya, mengapa hukum dianggapnya berubah, dengan ringan ia menjawab “ kalau kita sedang shalat, lalu ada tetangga kita yang terbakar rumahnya, menurut anda lebih wajib mana? Menyelesaikan sholat kita atau mengambil seember air ?”
Saya diam, lebih tepatnya saya tak ingin terjebak dengan pertanyaan itu. Saya takut pertanyaan ini jadi mengkafirkan saya.
“jelas lebih fardhu mengambil seember air” sambungnya. “lalu, bagaimana dengan hukum merokok” saya coba menyela. “tergantung mas, apakah dengan merokok dapat mengganggu imanmu? Lantas kamu lupa syahadat, lupa dengan sholat, tidak naik haji kalau kaya raya nanti, jangan-jangan saking asyiknya merokok, kamu bisa lupa penciptamu yang Maha tidak butuh rokok itu. Kalau sudah sampai pada tahap ini, merokok itu hram,mungkin sama haramnya dengan syirik. Kalau merokok sudah pada tahap ini, kita merasa kenikmatan hanya datang dari rokok, dan tidak ada yang nikmat selain rokok. Ini bisa bahaya, nanti Djisamsoe kita anggap tuhan, marlboro jibrilnya.” Ungkapnya berapi-api.
Bagi saya ungkapan ini bisa dianggap metafor, yang dapat mewakili sebuah simbol. Sementara saya belum ingin melontarkan komentar tersebut, ia sedang bersiap menggelontorkan kembali pendapatnya.
“Kalau merokok hanya menggangu stabilitas fungsi hidung sebelahmu duduk, hingga khawatir menggangu berjalannya fungsi jantung, ini masih agak ringan, karena berarti rokok hanya tidak demokratis. Rokok memasung kebebasan dalam urusan hisap menghisap. Rokok masih perlu penataran ala orde baru agar menyadari hak dan kewajibannyasebagai sebatang rokok.” Moses belum ingin menghentikan irama musik hatinya.
***
Bulan Ramadhan tiba di kampung ini, warg akami menyambut dengan gegapp gempita. Biasanya, bagi muslim NU, dua minggu sebelum Ramadhan digelar malam Nisfu Syaban. Sebuah ritual, dimana menjelang sore warga membawa air dalam botol-botol plastik menuju masjid. Air-air tersebut “akan berkhasiat” setelah dibacakan surah Yassin 3 kali balik beserta kelengkapan tahlilnya.
Ketika malam pertama Ramadhan, Moses cukup mengenakan jeans dipadukan dengan t-shirt, warga langsung mencibir terhadap penampilannya. Moses dianggapnya tidak menyambut gembira bulan ini.
Dasar orang aneh, seharusnya Moses memasuki pola pikir mereka. Ramadhan adalah bulan baik, dan harus disambut dengan pakaian yang baik. Saya coba untuk anjurkan untuk mengormati pandangan warga. Jawaban ringan pun mangalir darinya,
“apakah warga dapat menjamin hati saya untuk tidak sombong, seolah-olah saya muslim taat dengan pakaian itu”.
“tetapi saya lihat anda cukup taat menjalankan ibadah.”
“Itu ukuran anda, bagaimana dengan Tuhan”. Jawabnya seraya berlalu menuju surau.
Ditengah cibiran sebagai manusia yang aneh, karena menolak pendapat umum, Moses diberi kesempatan kultum dihari pertama Ramadhan tahun ini. Ketua RT yang juga pengurus surau mengetahui Moses adalah lulusan tebu ireng, saat keluarga Moses bertandang untuk mengajukan surat izin menetap di kampung ini.
Pandangan apriori terlihat jelas dari barisan belakang ibu-ibu. Satu, dua dari mereka coba menganalisa lebih awal, bahkan sebelum kultum dimulai. Kepadatan malam pertama Ramadhan sangat terasa dengan pekik teriak anak-anak. Mereka bercanda sepantasnya sang anak. Meskipun berkali ditegur oleh kami yang dewasa, pekik itu hanya berkurang intensitasnya menjadi berbisik.
Prolog kultum Moses diawali dengan suara echo dan feed back dari sound system. Setidaknya suara itu dapat menutupi suara bising anak-anak. Pembukaan mengalir lancar menuju isi kultum.
“Jika mengaku Islam, ternyata kita belum adil dengan lainnya. Mengapa kita larang komunis hidup di negeri ini, hanya karena beberapa elitnya melakukan kudeta dan membunuh pemimpin kita.” Mata pak RT membelalak, entah apa yang dipikirkan.
“kita belum Islam, jika kita masih merasa benar sendiri, orang lain berada pada posisi yang salah.” Kelihatan jamaah surau semakin menganggap aneh kultum ini. Seharusnya dihari pertama Ramadhan Moses mengambil tema puasa dan takwa. Tema ini sangat tidak populis dimata warga. Jemaah pun semakin tak acuh ketika Moses dengan meledak-ledak mengatakan,
“Bagaimana jika nanti Islam pun dilarang, karena sebagian dari mereka berpikir militan dan melakukan bom bunuh diri. Kita tidak pernah membela hak orang lain, tetapi lebih sibuk dengan hak kita sendiri.”
Satu persatu jemaah pergi, cukuplah shalat Isya dan tarawih tanpa disambung witir. Pak RT dengan gengsinya tetap bergeming dari tempat duduknya. Begitupun saya, sebagian kecil bapak-bapak dan anak-anak yang tetap bermain di pojok surau tanpa tahu apa yang sedang diceramahkan. Kultum pun menjadi benar-benar kultum, tujuh menit, tidak kurang atau lebih, Moses memang beritikad mendisiplinkan diri.
Setelah kultum itu, tak ada warga yang menegurnya. Saat ini warga benar-benar tak menganggap eksistensinya. Dalam malam-malam berikutnya Moses tak lagi terdaftar sebagai penceramah Ramadhan, tidak juga muadzin, bilal apalagi imam. Itulah ceramah pertama dan terakhir kalinya. Seperti Suhrahwardi, Al-Hallaj, Ibnu arabi dan Siti Jenar, Moses telah dipancung karakternya. Hal ini yang membuatnya terus menerus tersingkir dalam kehidupan kampung kami. Namanya tak lagi dipertimbangkan untuk mengikuti berbagai kegiatan. Dalam kehidupan jemaah surau kami, Moses dianggap kafir pengecualian.
***
Shalawat mengiringi kepergiannya ketanah suci Mekkah. Tak banyak pengantarnya, hanya kerabat dekat dan saya sebagai satu-satunya tetangga. Haji yang diimpikan selama beberapa tahun ini akhirnya terlaksana. Hanya Moses dan ayahnya yang cukup udzur untuk pergi haji berangkat menunaikan ibadah suci itu.
Sebelumnya, seperti selayaknya ritual pergi haji, Moses menyampaikan sepatah sambutan. Entah diperlukan atau tidak, sound sytem digunakan. Suaranya diperkeras, terdengar hingga radius beberapa ratus meter. “saudara-saudara, akhirnya yang saya impikan terlaksana. Setelah beberapa tahun hati saya tidak mampu, saat ini tidak ada penghalang yang membuat ekad saya goyah” sambutan yang datar.
Saudara-saudaranya menyimak terdiam. Bahkan mungkin agak bosan dengan protokoler seperti ini.
“setelah pulang dari tanah suci nanti, saya dan ayah berniat tidak akan mengenakan gelar haji, dan tidak ingin dipanggil pak haji.” Beberapa hadirin yang terkantuk mulai setengah bangun. Penekanan akan kalimat itu cukup keras hingga mengejutkan mereka. Beberapa tetangga dekat yang semuanya tak hadir jelas mendengar suara keras itu. Mereka hanya melongok melalui jendela rumah tingkat mereka. Beberpa diantaranya pernah ke tanah suci, dan memberi identitas diri dengan sebutan pak haji.
“Haji bukanlah gelar, tetapi sikap. Gelar Al-Hajj atau haji juga tak pernah menempel pada Rasullulah, meskipun ia bersikap Al-Amin. Haji bukan tujuan, tetapi sarana pembentukan diri, perubahan perilaku dan kematangan sikap.” Pak haji yang melongok melalui jendela tadi beringsut, jendela ditutupnya rapat. Jika mungkin ditambahi alat peredam suara. Bagi mereka ini ini polusi suara.
Bagi saya sendiri, sambutan itu berguna bagi diri dan keluarganya sendiri. Ini idealisme individu bukan sosial. Karena jelas, siapa yang ingin memanggilnya sebagai pak haji, sedangkan tetangga tak pernah lagi ingin memanggilnya.
Sambutan selesai. Seluruh hadirin menyalami, ditambah pelukan hangat.” Semoga ini bukan haji yang terakhir” bisik saya.
“Tidak akan, jika tidak ke tanah suci, saya bisa berhaji kemanapun” tegasnya sambil tersenyum.
Mularto
Tanah Kusir
September 2006
Gambar di nukil dari :tamanrahasia.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar