By: Mularto
Lonceng stasiun besar senen telah berbunyi, suara announcer memberitahukan kedatangan kereta ekonomi jurusan Semarang yang sejak satu jam tadi kami tunggu. Kereta bertarif Rp. 36.000,- ini sudah menjadi langganan kami setiap pulang ke kampung halaman.
3 jam lalu, tepatnya menjelang maghrib, Pak Lik Gino mengabarkan meninggalnya Kakek. Tanpa tunggu waktu lebih lama, aku dan ibu langsung berkemas. Kami pun melupakan waktu berbuka puasa kami. Ayah terpaksa tak bisa ikut. Stroke menyerangnya sejak setahun lalu. Konon kakek meninggal juga karena stroke. Gumpalan darah membanjiri otaknya, hingga saraf kanannya tak berfungsi. Stroke yang diderita Kakek lebih lama dan telah berulang kali terjadi dibanding yang terjadi dengan Ayah.
Deru lokomotif telah bersiap menarik sembilan gerbong yang terangkai di belakangnya. Kami menempati gerbong ke tujuh, persis di belakang gerbong restorasi. Suasana hiruk-pikuk pedagang keliling beradu dengan penumpang mengisi lorong gerbong. Suara gaduhnya mencirikan kelas ekonomi, kelas marjinal perkotaan, apa boleh buat, inilah kelas yang sanggup kami bayar.
Tak lama kereta ini berhenti menunggu penumpang, hentakan pertamanya sedikit mendorong penumpang. Goncangan ini seperti teredam oleh suasana emosional ibu. Sejak dari rumah tadi Ibu tak kunjung bersuara. Raut muka sedihnya terpancar meski airmata tak juga terlihat. Ibu sangat diharapkan kedatangannya, ia anak tertua dan paling berpengaruh dari delapan adiknya yang masih hidup. Ibu juga yang tinggal paling jauh dari keluarga besar kami, seluruh adiknya tak ada yang hidup merantau.
Aku hanya merekam sedikit nostalgia dengan Kakek. Beliau abangan, setidak begitu dikotomi yang dikemukakan Clifford Gertz, meskipun aku tak pernah mendefinisikan spt itu. Kakek memang tidak pernah shalat lima waktu, namun beliau lebih sering bercerita tentang ratu adil yang akan datang suatu hari nanti untuk menggantikan goro-goro belakangan ini. Cerita ini mirip yang dikembangkan kaum Bathiniyah tentang Imam yang ma’shum.
Sebagai petani desa, Kakek banyak bercerita tentang filosofi alat bajak sawah. Semua unsur bajak sawah disebutnya satu persatu, dari mulai kajen, cekelan, singkal hingga racuk.
“Cekelan yang kamu pegang ini adalah pegangan hidupmu di dunia, sementara racuk yang di ujung sana adalah tujuan hidup yang paling sempurna,” ujarnya berapi-api. “Singkal yang di bawah ini adalah cara yang dapat diterima akal budi manusia,” lanjut Kakek. Aku hanya melongo mendengarkan tanpa tahu maksudnya waktu itu. “sementara pacul yng kakek pegang ini untuk membuang jauh-jauh segala sesuatu yang tidak sesuai. Bawak yang melingkar ini adalah obahing awak atau amalan masa hidupmu. Sementara doran yang Kakek pegang ini adalah dedonga marang pangeran, berdoa kepada Gusti,” sambungnya.
Kakek yang tak fasih berbahasa Indonesia, merasa telah cukup mengambil pelajaran dari alam. Menurutnya agama adalah pakaian dari orang-orang yang terhormat, sementara kakek menyebut dirinya hanya seorang petani. “Kakek bukan tidak butuh agama. Hidup kakek hanya berlandaskan tiga hal; keluhuran, kesejahteraan dan ilmu pengetahuan. Bila tidak memiliki satu di antaranya, habislah arti sebagai manusia,” nasihatnya waktu itu.
Terakhir kali kami kunjungi kakek terbaring tak berdaya di rumah adik pertama ibu. Tegap dan kekar tubuhnya masih tersisa. Matanya masih bercahaya. Kulit di pipinya masih terlihat kencang dan bersih tak tergambar seorang pria berumur 70-an. Bicaranya pelan, sangat pelan dan terbata. Daya ingatnya tajam, dengan mudah ia mengingat Wisnu, cicitnya, keponakanku.
Konon ia selalu bertanya tentang Wisnu, meski keponakanku itu hanya pernah berkunjung sekali. Pernah bu likku dibuat repot karenanya. Dalam ketidakberdayaan itu, kakek bersikeras ingin ke Jakarta, mengunjungi Wisnu, tetapi tubuh lemahnya yang mencegahnya. Sayangnya kepada Wisnu ia tunjukkan beberapa bulan lalu ketika kami berkunjung untuk menghadiri pernikahan adik wanita ibu yang terakhir. Seolah tubuh bocah lima tahun itu tak ingin dilepasnya. Wisnu sendiri merasa setengah risih dengn perlakuan itu. Ucapannya tak mendapat respon dari Wisnu. Sangat pelan dengan bahasa jawa yang tak akrab di kuping Wisnu.
***
Ibu masih tersandar mematung di sudut kursi hijau kereta. Tatapannya kosong. Di luar terlalu gelap untuk dipandang oleh matanya yang terlihat mengantuk. Hilir mudik pdagang menawarkan barang tak dihiraukannya. Kerut merut di kening sangat jelas terlihat. aku tak punya keberanian untuk mengajaknya bicara. Setetes airmata mengalir dari rongga pipinya. Tetes air mata itu coba dihapus dengan dengan punggung tangannya. Kali ini tatapannya masih dibuang keluar. Wajahnya beradu dengan jendela kaca. Suara sirene perlinatsan kereta tak jua membuatnya kaget.
Tak ada interaksi antara kami dengan penumpang lainnya. Gerbong ini sepi. Kursi di depan kami kosong, juga di samping. Di seberang depan kursi kami duduk seorang pemuda yang sedang mengepulkan asap rokoknya. Kursi panjang berkapasitas tiga penumpang itu didudukiya seorang diri, sama seperti kami. Aku coba merebaahkan diri di kursi panjangku dengan kepala diganjal jaket. Pedagang masih tetap tak tahu lelah yang menggelayuti kami. Disaat seperti ini aku sangat rindu kamarku. Meskipun tak pernah rapi, namun terasa nyaman.
Pukul dua dini hari ketika kereta transit di stasiun Tegal. Penjaja makanan berdesak masuk, melalui pintu selebar satu meter. Beberapa orang petugas kereta didampingi seorang polisi memeriksa karcis seraya mengingatkan waktu sahur. “Kereta berhenti dua puluh lima menit, sahur....sahur...” teriaknya mengisi lorong kereta. Aku pun bergegas turun mencari warung nasi. Makanan yang dijual di atas kereta tak mungkin cukup sebagai santapan sahur. Sejumput mie sebagai pelengkap segenggam nasi dihargainya dua ribu rupiah. Cukup mahal untuk porsi seperti itu.
Tak seperti dugaanku, ternyata di luar stasiun kota ini masih riuh kehidupan. Berjajar barisan becak selalu setia menunggu penumpang. Satu persatu pemiliknya mulai menyambangiku. Aku diam, tak sepatah kata keluar dari mulutku untuk menerima atau menolak ajakannyanya. Aku seolah merasa tidak asing di luar sini. Ada satu penumpang lain yang mmepunyai tujuan sama denganku, mencari santapan sahur. Orang yang tak kukenal ini mengajakku ke arah utara, sekitar 30 meter dari pintu stasiun. Tampak dari kejauhan kios makan padang bersebelahan dengan warung makan Tegal. Dua bungkus nasi aku pesan dari warung makan Tegal ini, sementara seorang teman yang tak kukenal namanya ini lebih tertarik dengan nasi Padang sebagai teman santap sahurnya.
Bungkus nasi kuletakkan di meja kecil di depan ibu. Kutawari dia. Tangannya membuka bungkusan itu. Santapan pertama sejak di rumah tadi langsung tersimpan di perutnya. Perlahan kunyahan demi kunyahan diresapinya. Sementara aku memilih untuk menunggu dekatnya waktu imsak. Kereta melaju seiring kegundahan ibu. Angin yang bertiup melalui jendela yang terbuka menghalau bau pesing yang menyeruak masuk dari toilet. Gerbong ini terus menguncang-guncang tubuh kami. Guncangannya mungkin sama yang dirasakan ibu saat menerima telepon tadi.
Lamunanku buyar ketika kereta berhenti di stasiun Comal, dua belas kilometer arah timur Pemalang. Santapan sahur ku buka. Porsinya cukup mengenyangkanku, meski ku tak yakin puasaku sampai hingga maghrib nanti. Dua jam lagi perjalanan ini berakhir. Hal yang sangat menjemukan untuk bertahan lebih dari dua jam lagi di sini.
Suatu yang paling menyenangkan jika tiba di stasiun Batang, kota setelah Pekalongan yang akan kami lewati, sebab lima kilometer setelahnya kereta akan melintasi pesisir pantai utara bertepatan dengan waktu matahari terbit. Aku pasti telah bersiap di sisi pintu yang selalu terbuka untuk menyongsong waktu itu. Pintu ini memang selalu terbuka, sebuah “keistemewaan” yang tak akan kita dapat di kereta kelas bisnis atau eksekutif. Deburan ombak menjilat-jilat bibir pantai. Bau amis penghuni laut tersapu laju kereta. Di batas cakralawa, surya mengintip melalu bilik-bilik awan yang menjingga. Semburat cahayanya menghampiri sesuatu yang tak tersembunyi. Di kejauhan bahtera di goyang angin, mencoba mengurungkan niat pemiliknya untuk mencari nafkah.
Di selatan berdiri kokoh bukit berdinding semak dan pohon-pohon nan lebat. Perjalanan melelahkan ini sejenak terlupa oleh satu-satunya fasilitas perjalanan kelas ekonomi ini. setelah melalui pemandangan menakjubkan ini tibalah waktunya kami turun di stasiun Wleri. Stasiun kecil di barat kota Semarang. Kami masih harus menyambung menaiki tiga kali angkutan desa untuk sampai di rumah kakek di desa pikatan, di balik punggung gunung yang tak pernah ku tau namanya. Namun, aku harus sabar menunggu dua jam itu.
***
Pijakan pertama kakiku menyentuh tanah becek, samping gapura desa. Sebuah desa santri dengan penduduk yang sangat agamis. Agak kontradiktif degan kakek yang abangan. Pesantren di desa ini baru berdiri sekitar 15 tahun lalu. Jauh sesudah kakek hidup, belajar dari alam dan berprinsip. Rumah kakek sudah terlihat di ujung jalan becek ini.
Di depan rumah sepi, tiada kesan rumah duka. Hanya kerabat yang menyambut kami, tanpa warga yang bergugur-gunung, tanpa sesepuh pengurus jenazah, seperti biasanya. Rangkaian bunga melati dikerjakan oleh sepupuku. Pak lik Yanto memotong kayu untuk dijadikan nisan di makam nanti. Praktis semua dikerjakan sendiri. Begitu masuk ruang depan ibu disambut sedu sedan keluarga besar kami. Suasana begitu diselimuti haru saat ibu menghambur ke tubuh jenazah kakek.
Di depan jenazah ada seorang yang belum kukenal, namun sepertinya seorang kiai, setidaknya terlihat dari identitas pakaiannya. Nenek dan Pak lik Gino sedang bercakap dengan kiai itu. Aku berinisiatif mengaji di depan jenazah kakek, sebagai bentuk dharma bakti terakhir. Pak Kiai mendekatiku seraya menepuk pundak kananku, “kakekmu orang baik, meninggal malam jum’at di bulan puasa,” ucap pria setengah baya itu setengah berbisik.
Nenek memperkenalkan orang ini kepada kami, “ini, Kiai Fachruddin, ustadz baru di pesantren depan,” ujar nenek. Aku ulurkan tanganku seraya menyebutkan namaku. Ibu masih memeluk kakek. Diusapnya wajah kakek yang pucat. Air matanya menitik, jatuh tepat di atas kapas di lubang hidung kakek. Ia menumpahkan segala kebekuan selama di perjalanan. Air mata terisak yang tak pernah memicu raungan tertumpah di depan enazah kakek.
Selepas shalat jum’at jenazah dihadapkan ke liang lahat. Kiai Fachrudin memberikan kesaksian bahwa jenazah kakek orang baik, karena meninggal di malam jum’at bulan puasa. Kiai Fachruddin meminta kesaksian warga untuk mendukung kesaksiannya. Warga yang didominasi santri itu terlihat malas-malasan menjawab dan tidak antusias mengatakan khair. Salah satu santri memberanikan diri berkata, “Mbah Djati bukan santri seperti kita kiai.”
Kakek diidentifikasikan sebagai orang non santri. Jenazah kakek dimasukkan ke liang pengasingan dari peradaban monolitis kaum santri Jawa.
Lonceng stasiun besar senen telah berbunyi, suara announcer memberitahukan kedatangan kereta ekonomi jurusan Semarang yang sejak satu jam tadi kami tunggu. Kereta bertarif Rp. 36.000,- ini sudah menjadi langganan kami setiap pulang ke kampung halaman.
3 jam lalu, tepatnya menjelang maghrib, Pak Lik Gino mengabarkan meninggalnya Kakek. Tanpa tunggu waktu lebih lama, aku dan ibu langsung berkemas. Kami pun melupakan waktu berbuka puasa kami. Ayah terpaksa tak bisa ikut. Stroke menyerangnya sejak setahun lalu. Konon kakek meninggal juga karena stroke. Gumpalan darah membanjiri otaknya, hingga saraf kanannya tak berfungsi. Stroke yang diderita Kakek lebih lama dan telah berulang kali terjadi dibanding yang terjadi dengan Ayah.
Deru lokomotif telah bersiap menarik sembilan gerbong yang terangkai di belakangnya. Kami menempati gerbong ke tujuh, persis di belakang gerbong restorasi. Suasana hiruk-pikuk pedagang keliling beradu dengan penumpang mengisi lorong gerbong. Suara gaduhnya mencirikan kelas ekonomi, kelas marjinal perkotaan, apa boleh buat, inilah kelas yang sanggup kami bayar.
Tak lama kereta ini berhenti menunggu penumpang, hentakan pertamanya sedikit mendorong penumpang. Goncangan ini seperti teredam oleh suasana emosional ibu. Sejak dari rumah tadi Ibu tak kunjung bersuara. Raut muka sedihnya terpancar meski airmata tak juga terlihat. Ibu sangat diharapkan kedatangannya, ia anak tertua dan paling berpengaruh dari delapan adiknya yang masih hidup. Ibu juga yang tinggal paling jauh dari keluarga besar kami, seluruh adiknya tak ada yang hidup merantau.
Aku hanya merekam sedikit nostalgia dengan Kakek. Beliau abangan, setidak begitu dikotomi yang dikemukakan Clifford Gertz, meskipun aku tak pernah mendefinisikan spt itu. Kakek memang tidak pernah shalat lima waktu, namun beliau lebih sering bercerita tentang ratu adil yang akan datang suatu hari nanti untuk menggantikan goro-goro belakangan ini. Cerita ini mirip yang dikembangkan kaum Bathiniyah tentang Imam yang ma’shum.
Sebagai petani desa, Kakek banyak bercerita tentang filosofi alat bajak sawah. Semua unsur bajak sawah disebutnya satu persatu, dari mulai kajen, cekelan, singkal hingga racuk.
“Cekelan yang kamu pegang ini adalah pegangan hidupmu di dunia, sementara racuk yang di ujung sana adalah tujuan hidup yang paling sempurna,” ujarnya berapi-api. “Singkal yang di bawah ini adalah cara yang dapat diterima akal budi manusia,” lanjut Kakek. Aku hanya melongo mendengarkan tanpa tahu maksudnya waktu itu. “sementara pacul yng kakek pegang ini untuk membuang jauh-jauh segala sesuatu yang tidak sesuai. Bawak yang melingkar ini adalah obahing awak atau amalan masa hidupmu. Sementara doran yang Kakek pegang ini adalah dedonga marang pangeran, berdoa kepada Gusti,” sambungnya.
Kakek yang tak fasih berbahasa Indonesia, merasa telah cukup mengambil pelajaran dari alam. Menurutnya agama adalah pakaian dari orang-orang yang terhormat, sementara kakek menyebut dirinya hanya seorang petani. “Kakek bukan tidak butuh agama. Hidup kakek hanya berlandaskan tiga hal; keluhuran, kesejahteraan dan ilmu pengetahuan. Bila tidak memiliki satu di antaranya, habislah arti sebagai manusia,” nasihatnya waktu itu.
Terakhir kali kami kunjungi kakek terbaring tak berdaya di rumah adik pertama ibu. Tegap dan kekar tubuhnya masih tersisa. Matanya masih bercahaya. Kulit di pipinya masih terlihat kencang dan bersih tak tergambar seorang pria berumur 70-an. Bicaranya pelan, sangat pelan dan terbata. Daya ingatnya tajam, dengan mudah ia mengingat Wisnu, cicitnya, keponakanku.
Konon ia selalu bertanya tentang Wisnu, meski keponakanku itu hanya pernah berkunjung sekali. Pernah bu likku dibuat repot karenanya. Dalam ketidakberdayaan itu, kakek bersikeras ingin ke Jakarta, mengunjungi Wisnu, tetapi tubuh lemahnya yang mencegahnya. Sayangnya kepada Wisnu ia tunjukkan beberapa bulan lalu ketika kami berkunjung untuk menghadiri pernikahan adik wanita ibu yang terakhir. Seolah tubuh bocah lima tahun itu tak ingin dilepasnya. Wisnu sendiri merasa setengah risih dengn perlakuan itu. Ucapannya tak mendapat respon dari Wisnu. Sangat pelan dengan bahasa jawa yang tak akrab di kuping Wisnu.
***
Ibu masih tersandar mematung di sudut kursi hijau kereta. Tatapannya kosong. Di luar terlalu gelap untuk dipandang oleh matanya yang terlihat mengantuk. Hilir mudik pdagang menawarkan barang tak dihiraukannya. Kerut merut di kening sangat jelas terlihat. aku tak punya keberanian untuk mengajaknya bicara. Setetes airmata mengalir dari rongga pipinya. Tetes air mata itu coba dihapus dengan dengan punggung tangannya. Kali ini tatapannya masih dibuang keluar. Wajahnya beradu dengan jendela kaca. Suara sirene perlinatsan kereta tak jua membuatnya kaget.
Tak ada interaksi antara kami dengan penumpang lainnya. Gerbong ini sepi. Kursi di depan kami kosong, juga di samping. Di seberang depan kursi kami duduk seorang pemuda yang sedang mengepulkan asap rokoknya. Kursi panjang berkapasitas tiga penumpang itu didudukiya seorang diri, sama seperti kami. Aku coba merebaahkan diri di kursi panjangku dengan kepala diganjal jaket. Pedagang masih tetap tak tahu lelah yang menggelayuti kami. Disaat seperti ini aku sangat rindu kamarku. Meskipun tak pernah rapi, namun terasa nyaman.
Pukul dua dini hari ketika kereta transit di stasiun Tegal. Penjaja makanan berdesak masuk, melalui pintu selebar satu meter. Beberapa orang petugas kereta didampingi seorang polisi memeriksa karcis seraya mengingatkan waktu sahur. “Kereta berhenti dua puluh lima menit, sahur....sahur...” teriaknya mengisi lorong kereta. Aku pun bergegas turun mencari warung nasi. Makanan yang dijual di atas kereta tak mungkin cukup sebagai santapan sahur. Sejumput mie sebagai pelengkap segenggam nasi dihargainya dua ribu rupiah. Cukup mahal untuk porsi seperti itu.
Tak seperti dugaanku, ternyata di luar stasiun kota ini masih riuh kehidupan. Berjajar barisan becak selalu setia menunggu penumpang. Satu persatu pemiliknya mulai menyambangiku. Aku diam, tak sepatah kata keluar dari mulutku untuk menerima atau menolak ajakannyanya. Aku seolah merasa tidak asing di luar sini. Ada satu penumpang lain yang mmepunyai tujuan sama denganku, mencari santapan sahur. Orang yang tak kukenal ini mengajakku ke arah utara, sekitar 30 meter dari pintu stasiun. Tampak dari kejauhan kios makan padang bersebelahan dengan warung makan Tegal. Dua bungkus nasi aku pesan dari warung makan Tegal ini, sementara seorang teman yang tak kukenal namanya ini lebih tertarik dengan nasi Padang sebagai teman santap sahurnya.
Bungkus nasi kuletakkan di meja kecil di depan ibu. Kutawari dia. Tangannya membuka bungkusan itu. Santapan pertama sejak di rumah tadi langsung tersimpan di perutnya. Perlahan kunyahan demi kunyahan diresapinya. Sementara aku memilih untuk menunggu dekatnya waktu imsak. Kereta melaju seiring kegundahan ibu. Angin yang bertiup melalui jendela yang terbuka menghalau bau pesing yang menyeruak masuk dari toilet. Gerbong ini terus menguncang-guncang tubuh kami. Guncangannya mungkin sama yang dirasakan ibu saat menerima telepon tadi.
Lamunanku buyar ketika kereta berhenti di stasiun Comal, dua belas kilometer arah timur Pemalang. Santapan sahur ku buka. Porsinya cukup mengenyangkanku, meski ku tak yakin puasaku sampai hingga maghrib nanti. Dua jam lagi perjalanan ini berakhir. Hal yang sangat menjemukan untuk bertahan lebih dari dua jam lagi di sini.
Suatu yang paling menyenangkan jika tiba di stasiun Batang, kota setelah Pekalongan yang akan kami lewati, sebab lima kilometer setelahnya kereta akan melintasi pesisir pantai utara bertepatan dengan waktu matahari terbit. Aku pasti telah bersiap di sisi pintu yang selalu terbuka untuk menyongsong waktu itu. Pintu ini memang selalu terbuka, sebuah “keistemewaan” yang tak akan kita dapat di kereta kelas bisnis atau eksekutif. Deburan ombak menjilat-jilat bibir pantai. Bau amis penghuni laut tersapu laju kereta. Di batas cakralawa, surya mengintip melalu bilik-bilik awan yang menjingga. Semburat cahayanya menghampiri sesuatu yang tak tersembunyi. Di kejauhan bahtera di goyang angin, mencoba mengurungkan niat pemiliknya untuk mencari nafkah.
Di selatan berdiri kokoh bukit berdinding semak dan pohon-pohon nan lebat. Perjalanan melelahkan ini sejenak terlupa oleh satu-satunya fasilitas perjalanan kelas ekonomi ini. setelah melalui pemandangan menakjubkan ini tibalah waktunya kami turun di stasiun Wleri. Stasiun kecil di barat kota Semarang. Kami masih harus menyambung menaiki tiga kali angkutan desa untuk sampai di rumah kakek di desa pikatan, di balik punggung gunung yang tak pernah ku tau namanya. Namun, aku harus sabar menunggu dua jam itu.
***
Pijakan pertama kakiku menyentuh tanah becek, samping gapura desa. Sebuah desa santri dengan penduduk yang sangat agamis. Agak kontradiktif degan kakek yang abangan. Pesantren di desa ini baru berdiri sekitar 15 tahun lalu. Jauh sesudah kakek hidup, belajar dari alam dan berprinsip. Rumah kakek sudah terlihat di ujung jalan becek ini.
Di depan rumah sepi, tiada kesan rumah duka. Hanya kerabat yang menyambut kami, tanpa warga yang bergugur-gunung, tanpa sesepuh pengurus jenazah, seperti biasanya. Rangkaian bunga melati dikerjakan oleh sepupuku. Pak lik Yanto memotong kayu untuk dijadikan nisan di makam nanti. Praktis semua dikerjakan sendiri. Begitu masuk ruang depan ibu disambut sedu sedan keluarga besar kami. Suasana begitu diselimuti haru saat ibu menghambur ke tubuh jenazah kakek.
Di depan jenazah ada seorang yang belum kukenal, namun sepertinya seorang kiai, setidaknya terlihat dari identitas pakaiannya. Nenek dan Pak lik Gino sedang bercakap dengan kiai itu. Aku berinisiatif mengaji di depan jenazah kakek, sebagai bentuk dharma bakti terakhir. Pak Kiai mendekatiku seraya menepuk pundak kananku, “kakekmu orang baik, meninggal malam jum’at di bulan puasa,” ucap pria setengah baya itu setengah berbisik.
Nenek memperkenalkan orang ini kepada kami, “ini, Kiai Fachruddin, ustadz baru di pesantren depan,” ujar nenek. Aku ulurkan tanganku seraya menyebutkan namaku. Ibu masih memeluk kakek. Diusapnya wajah kakek yang pucat. Air matanya menitik, jatuh tepat di atas kapas di lubang hidung kakek. Ia menumpahkan segala kebekuan selama di perjalanan. Air mata terisak yang tak pernah memicu raungan tertumpah di depan enazah kakek.
Selepas shalat jum’at jenazah dihadapkan ke liang lahat. Kiai Fachrudin memberikan kesaksian bahwa jenazah kakek orang baik, karena meninggal di malam jum’at bulan puasa. Kiai Fachruddin meminta kesaksian warga untuk mendukung kesaksiannya. Warga yang didominasi santri itu terlihat malas-malasan menjawab dan tidak antusias mengatakan khair. Salah satu santri memberanikan diri berkata, “Mbah Djati bukan santri seperti kita kiai.”
Kakek diidentifikasikan sebagai orang non santri. Jenazah kakek dimasukkan ke liang pengasingan dari peradaban monolitis kaum santri Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar