Sangat tidak gampang, dan sekali lagi sungguh sulit mempercayai apalagi mencintai partai politik di Indonesia. Meski di awal mereka-mereka sangat memberi harapan, membuat mimpi-mimpi kita bertambah menunya. Seluruh harapan dari yang termewah hingga tertinggi kita gagas dengan mempertaruhkan nasib kita. Ketika kemudian pada suatu hari harapan itu melambai terbawa angin, sebagian kita hanya mampu mengeluh dan sebagian lainnya mengumpat. Namun toh kepercayaan kita kepadanya tak kunjung surut. Maka betapapun memuakkan partai-partai, yang kita lakukan adalah justru memperbesar rasa percaya kita kepadanya.
Saya hanya ingin memberi sebuah gambaran bahwa di semua bidang dan setiap pendidikan, sangat banyak di antara kita yang bermain-main dengan nasib bangsa kita sediri. Dan yang paling menjengkelkan adalah bahwa yang dipermainkan adalah nasib rakyat, dengan subjek utama adalah kekuasaan. Sangat tidak logis bahwa ada sejumput manusia yang meyakini bahwa ia memegang kekuasaan dan lantas memain-mainkan kekuasaan itu tanpa pernah puas. Termasuk mengutak-atik kue menteri hanya untuk transaksional politik.
Reshuffle mungkin saja bukan penerapan kekesalan SBY. Peralihan jabatan menteri mestinya bukan sesuatu yang emosional, yang menyangkut like and dislike untuk menyingkirkan musuh dan merangkul calon kawan. Reshuffle seharusnya juga bukan bagaimana mendukung orang kita sendiri dan menumpas kelompok lain. Terkecuali kita ingin membentuk budaya kuasa yang dengan sengaja mempertahankan ketidakdewasaan dalam memahami hakiki kehidupan manusia.
Reshuffle yang dewasa adalah peralihan tugas yang berfokus pada objektivitas berpikir tentang apa yang terbaik bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Reshuffle yang baik dilihat dari hasil-hasil kerja yang adil dari suatu mekanisme sistem demokrasi. Tidak berlatar-belakang dengan apakah si calon penerima jabatan yang baru nanti anak ketua umum partai, atau teman yang telah berjasa selama masa kampanye. Reshuffle yang arif adalah pemihakan terhadap kemungkinan kedepan yang terbaik bagi nasib seluruh bangsa.
Bangsa ini sudah terbiasa selalu menengok sejarah, hingga kalau ada seseorang yang menonjol di masyarakat, yang pertama-tama ditilik adalah, siapa bapaknya? Sedemikian pentingnya sejarah asal usul dan ilmu asal usul. Mungkin karena setiap peran sejarah membutuhkan identifikasi yang mendasar dan lengkap. Siapakah Puan? O, beliau putri Megawati, presiden kelima Republik ini. Beliau juga cucu Bung Karno, presiden pertama Republik ini. Dalam artian silsilah kuasa Bung Karno belum selesai.
Saya begitu yakin, bahwa PDIP yang paling menunjukkan identitasnya sebagai partai oposisi, yang memakai label demokrasi sebagai wajah utamanya, selalu ingin berkubang keringat bersama pendukungnya. Dan saya –sebagai rakyat non simpatisan- berharap bahwa Puan bukanlah Tuan. Meski kekuatan dan kelemahan Puan adalah bahwa ia putri Megawati dan cucu dari mendiang Bung Karno. Jika menilik ilmu ginekologi, kita akan berpikir justru karena ia anak Megawati dan cucu Bung Karno maka terdapat kapasitas dan kualitas yang bisa memenuhi harapan. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Partai seharusnya menetapkan benang merah komitmen oposisi atau koalisi. Kalau partai lain bicara muluk tentang angka statistik pendapatan perkapita dan angka kemiskinan, harus ada partai langsung mencium keringat buruh dan manusia-manusia bantaran sungai dan pinggir rel kereta sebagai muntahan-muntahan kebobrokan zaman. Setiap ada kesemrawutan sistem politik, atau berlangsung manipulasi angka dan pekikan dan desahan ketidakadilan sosial dan kultural selalu menjadi komoditas partai oposan untuk maju mengkritisi.
Seharusnya partai bukan partai setengah-setengah, yang tak sunguh-sungguh melihat potret nasib rakyat yang selalu menjadi oposan terhadap pimpinannya sendiri. Partai seharusnya juga partai yang identitasnya jelas dan tegas yang mem”bantengi” dirinya dengan realitas budaya politik oposan. Memang kita punya idealitas bahwa acuan partai hendaknya bukan lagi baju dan latar belakang primordial, melainkan rasionalitas aspirasi dan program-program.
Kita memilih ada partai-partai transaksional yang kemudian didisiplinkan untuk nasionalisme oleh sejarah. Kemudian pilihan kita jatuh pula pada partai-partai yang demokratis tetapi realitasnya mengabdi tidak saja kepada golongannya melainkan juga harus dilengkapi dengan kepentingan kelompok kecilnya, bahkan kepada keperluan karier politik pribadi.
Diangkat-angkatnya Puan untuk menjadi kandidat –meminjam istilah Ahmad Mubarok- menteri ringan bisa kita anggap sebagai potret lugas dari natural politik pencitraan bangsa ini. Jika Puan dengan begitu saja dibawa Tuan, maka si Tuan akan menentukan akan dibawa lari kemana Puan, Karena jika Puan suatu saat langkahnya ingin mengikuti “garis kongres” (oposisi) maka siap-siap akan diusir dari Tuan yang mempekerjakannya.
Jadi silakan PKB, PPP dan PAN menghuni koalisi dan nyaman dari perombakan kabinet. PDIP tak usah ikut-ikut capek merebut kue kecil itu, tugas mereka adalah menjadi pemain bebas di lapangan untuk mengembangkan hak asasi politik bangsa agar tidak begini-begini saja. Dan harapan sekaligus pesimisme saya kembali muncul mengingat bangsa ini telh terbiasa mempunyai sifat multipolar. Seandainya pagi ini tidak, lihat saja nanti sore. Jadi jangan kaget jika kita melihat mata banteng yang telah membiru.
Saya hanya ingin memberi sebuah gambaran bahwa di semua bidang dan setiap pendidikan, sangat banyak di antara kita yang bermain-main dengan nasib bangsa kita sediri. Dan yang paling menjengkelkan adalah bahwa yang dipermainkan adalah nasib rakyat, dengan subjek utama adalah kekuasaan. Sangat tidak logis bahwa ada sejumput manusia yang meyakini bahwa ia memegang kekuasaan dan lantas memain-mainkan kekuasaan itu tanpa pernah puas. Termasuk mengutak-atik kue menteri hanya untuk transaksional politik.
Reshuffle mungkin saja bukan penerapan kekesalan SBY. Peralihan jabatan menteri mestinya bukan sesuatu yang emosional, yang menyangkut like and dislike untuk menyingkirkan musuh dan merangkul calon kawan. Reshuffle seharusnya juga bukan bagaimana mendukung orang kita sendiri dan menumpas kelompok lain. Terkecuali kita ingin membentuk budaya kuasa yang dengan sengaja mempertahankan ketidakdewasaan dalam memahami hakiki kehidupan manusia.
Reshuffle yang dewasa adalah peralihan tugas yang berfokus pada objektivitas berpikir tentang apa yang terbaik bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Reshuffle yang baik dilihat dari hasil-hasil kerja yang adil dari suatu mekanisme sistem demokrasi. Tidak berlatar-belakang dengan apakah si calon penerima jabatan yang baru nanti anak ketua umum partai, atau teman yang telah berjasa selama masa kampanye. Reshuffle yang arif adalah pemihakan terhadap kemungkinan kedepan yang terbaik bagi nasib seluruh bangsa.
Bangsa ini sudah terbiasa selalu menengok sejarah, hingga kalau ada seseorang yang menonjol di masyarakat, yang pertama-tama ditilik adalah, siapa bapaknya? Sedemikian pentingnya sejarah asal usul dan ilmu asal usul. Mungkin karena setiap peran sejarah membutuhkan identifikasi yang mendasar dan lengkap. Siapakah Puan? O, beliau putri Megawati, presiden kelima Republik ini. Beliau juga cucu Bung Karno, presiden pertama Republik ini. Dalam artian silsilah kuasa Bung Karno belum selesai.
Saya begitu yakin, bahwa PDIP yang paling menunjukkan identitasnya sebagai partai oposisi, yang memakai label demokrasi sebagai wajah utamanya, selalu ingin berkubang keringat bersama pendukungnya. Dan saya –sebagai rakyat non simpatisan- berharap bahwa Puan bukanlah Tuan. Meski kekuatan dan kelemahan Puan adalah bahwa ia putri Megawati dan cucu dari mendiang Bung Karno. Jika menilik ilmu ginekologi, kita akan berpikir justru karena ia anak Megawati dan cucu Bung Karno maka terdapat kapasitas dan kualitas yang bisa memenuhi harapan. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Partai seharusnya menetapkan benang merah komitmen oposisi atau koalisi. Kalau partai lain bicara muluk tentang angka statistik pendapatan perkapita dan angka kemiskinan, harus ada partai langsung mencium keringat buruh dan manusia-manusia bantaran sungai dan pinggir rel kereta sebagai muntahan-muntahan kebobrokan zaman. Setiap ada kesemrawutan sistem politik, atau berlangsung manipulasi angka dan pekikan dan desahan ketidakadilan sosial dan kultural selalu menjadi komoditas partai oposan untuk maju mengkritisi.
Seharusnya partai bukan partai setengah-setengah, yang tak sunguh-sungguh melihat potret nasib rakyat yang selalu menjadi oposan terhadap pimpinannya sendiri. Partai seharusnya juga partai yang identitasnya jelas dan tegas yang mem”bantengi” dirinya dengan realitas budaya politik oposan. Memang kita punya idealitas bahwa acuan partai hendaknya bukan lagi baju dan latar belakang primordial, melainkan rasionalitas aspirasi dan program-program.
Kita memilih ada partai-partai transaksional yang kemudian didisiplinkan untuk nasionalisme oleh sejarah. Kemudian pilihan kita jatuh pula pada partai-partai yang demokratis tetapi realitasnya mengabdi tidak saja kepada golongannya melainkan juga harus dilengkapi dengan kepentingan kelompok kecilnya, bahkan kepada keperluan karier politik pribadi.
Diangkat-angkatnya Puan untuk menjadi kandidat –meminjam istilah Ahmad Mubarok- menteri ringan bisa kita anggap sebagai potret lugas dari natural politik pencitraan bangsa ini. Jika Puan dengan begitu saja dibawa Tuan, maka si Tuan akan menentukan akan dibawa lari kemana Puan, Karena jika Puan suatu saat langkahnya ingin mengikuti “garis kongres” (oposisi) maka siap-siap akan diusir dari Tuan yang mempekerjakannya.
Jadi silakan PKB, PPP dan PAN menghuni koalisi dan nyaman dari perombakan kabinet. PDIP tak usah ikut-ikut capek merebut kue kecil itu, tugas mereka adalah menjadi pemain bebas di lapangan untuk mengembangkan hak asasi politik bangsa agar tidak begini-begini saja. Dan harapan sekaligus pesimisme saya kembali muncul mengingat bangsa ini telh terbiasa mempunyai sifat multipolar. Seandainya pagi ini tidak, lihat saja nanti sore. Jadi jangan kaget jika kita melihat mata banteng yang telah membiru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar