Kamis, Desember 01, 2011

7 PINTU

By : Langit Mularto

Sendirian musafir berjalan merenungi nasibnya. Baru saja ia tertolak memasuki pintu pertama dari tujuh pintu yang harus dilaluinya. Niatnya untuk mengantarkan setetes air dalam jambangan kepada Sang Raja terpaksa tertunda. Sang penjaga pintu pertama terlebih dahulu mencegah dan menghardiknya.

"Raja tak akan menerima airmu yang berwarna keruh itu," bentak sang penjaga pintu itu.
"Airmu terlalu sering berubah warna. Kadang emas, esok hitam, lusa abu-abu. Kembalilah jika kualitas airmu sudah baik," usirnya.

Musafir gontai melangkah sambil bergumam, "oh Raja, aku yang tidak mengetahui, tetapi mengira bahwa aku mengetahui."

Sebelum tiba di jalan ini, selama bertahun-tahun ia berkelana mencari Sang Raja. Daerah yang pertama di kunjungi adalah Hejaz dan Cordova. Ia pandangi semua penjuru tempat, di gunung, di bukit atau di lembah, tak dijumpainya Sang Raja. Ditempat pemujaan Hindu, ke Pagoda kuno, tiada tanda-tanda keberadaannya. Ia coba bertanya di setiap orang yang dijumpainya, tetapi tak ada seorangpun yang mampu memberi keterangan baginya. Jalan yang ia temukan saat ini dipelajarinya dari tabib Cina yang memeberikan resep berbeda bagi orang yang berbeda pada penyakit yang sama.

Baginya yang dibawa adalah setetes air dari laut yang tak terbatas yang menunjukkan individualitas yang sekarang sebagai sebuah tetes, kepada semua individualitas yang lampau sebagai tetes-tetes dan gelombang-gelombang yang berurutan dan juga pada ikatan yang lebih besar yang mempersatukan semua tahap dengan semua tetes lainnya yang bergabung dengan keseluruhan yang lebih besar.

Setelah menukar tetes air dari laut yang maha luas, musafir dengan tegak berjalan menuju pintu pertama. Kali ini yang didapatnya sambutan ramah dan hangat. "Silahkan masuk kawan. Air ini sangat pantas untuk hadiah sang Raja."

Tugasnya saat ini aalah menuju pintu kedua. Sementara ia terus berusaha menjaga air dari sengatan api yang dapat mengurangi kualitasnya.
"Dari mana asalmu?" Tanya penjaga ketika ia tiba di pintu kedua.
"Aku dari penginapan anak-anak."
"Apa yang kau bawa dalam jambangan itu?"
"Air. Ini untuk hadiah Rajaku."
"Apa mungkin Raja hendak menerima, sedangkan jambanganmu hitam, kusam dan buruk seperti itu?"
"Jangan memandang bentuk luarku, tetapi akaan kuserahkan apa yang ada di dalamnya. Lagipula, apakah Raja masih bisa tertipu dengan kemasan ini?"
"Tidak," sergah sang penjaga pintu.
"Apakah dia tidak mengetahui isi di dalam jambangan ini?"
"Dia paling mengetahui, bahkan melebihi dirimu."
"Kalau begitu aku tak akan menipunya dengan kemasan bagus."
"Cukuplah penjelasanmu, masuklah! Kau diterima dengan ramah di sini."

****

Kegembiraannya meluap hingga hampir membanjiri rasa sombongnya. Sesaat kemudian lumpur kesenangan itu surut atas kesadarannya. Perjalanan ini menguras segala komponen dalam dirinya. Peperangan dalam dirinya mengisyaratkan kehati-hatian langkah. Perjalanan kali ini berbeda, karena tubuhnya tak lagi muda dan banyaknya pengalaman tak selalu menguntungkannya.

Di pintu kedua dimana rahasia-rahasia terjawab membuatnya semakin yakin melangkah kepintu berikutnya. Penjaga pintu ketiga sudah menanti. Di tangannya tergenggam buku yang berisi nama calon tamu Sang Raja.
"Hai penjaga pintu, apa yang kau genggam?" Seru musafir sebelum disapa.
"Aku membawa buku," seraya menunjukkan buku yang tidak terlalu tebal. "Dalam buku ini, aku menulis nama-nama sahabat Raja," sambungnya.
Musafir bertanya, "Apakah namaku ada di sana?"
"Engkau bukan bagian dari sahabat Raja."
"Tetapi aku adalah teman dari sahabat Raja."
Penjaga terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. "Baiklah, baru saja aku menerima perintah untuk menuliskan namamu paling atas dari daftar ini, sebab kau tulus memintanya."

*****
Di depan pintu keempat musafir mengetuk pintu perlahan. Pintu belum terbuka, namun suara sudah menyambut dari dalam.
"Siapa itu?" Nada berat terlantun dari dalam.
"Inilah aku." Jawab musafir.
"Raja berpesan, tidak ada ruangan di sini untukNya dan untukmu." Suara kemudian menghilang.
Musafir sedikit jengkel, diperiksa air dalam kendi. Air masih jernih. Kembali ia bergumam, "oh Raja, aku yang tidak mengetahui tetapi mengira bahwa aku mengetahui, bebaskan aku dari kebingungan ketidaktahuan ini." Ia mulai ragu atas perjalanan ini. Ia sadar ia tak punya kehendak apapun atas semua ini. Sesaat kemudian ia meloncat kegirangan. Teriakannya mengguncang diri. "Aku tak berarti. Seharusnya sejak semula aku tidak mengatakan ; untukku, denganku dan milikku," gumamnya. Begitulah akhirnya ia melewati pintu keempat dengan menjawab, "inilah Engkau," maka pintu dapat dilaluinya.

*****

Penjaga pintu kelima menyapa dari kejauhan, "apa yang kau inginkan musafir yang bodoh?" Setengah berteriak sambutan itu. "Raja mengetahui bahwa Dialah yang kau inginkan. Keinginan bertemu Raja sangat berbahaya."
"Saya akan dengan senang hati mengalami apapun demi berada bersama Raja, dan dengan senang hati kehilangan apapun yang kami punya."

*****

Di pintu ke-enam, musafir ditanya tujuan pemberian hadiah tersebut. "Hai tuan, sepertinya kau punya keinginan dari pemberian itu. Apakah kau ingin merayu Raja agar kau dapat menikmati hidangan Raja, ataukah kau terlalu takut dengan kesengsaraan yang diberikan raja jika upetimu tidak mencukupi?" Tanya penjaga pintu.
"Apakah jika aku melihat cahaya Raja, aku masih merasa butuh hidangannya?" Musafir balik bertanya.
"Tentu saja tidak, karena kau akan lupa dengan semua hidangan itu." Jawab penjaga pintu.
"Apakah ketika aku melihat cahaya Raja, dibalik penjara kesusahannya, aku masih merasa sengsara?" Kembali musafir bertanya.
"Jelas tidak, karena Raja kami adalah pusat segala kesenangan. Kau bahkan takkan butuh apapun lagi jika telah bertemu dengannya."
"Kalau begitu tujuanku hanya ingin bertemu denganNya, karena aku tak ingin selain diriNya."

Musafir terus melaju dipersilahkan penjaga pintu. Inilah akhir sebuah jalan yang dijanjikan. Di depan pintu ke tujuh berkali-kali pintu diketuk, tetapi tak kunjung dibuka. Tekadnya sedikit susut merembesi jiwa dan hatinya. Perjalanan telah sejauh ini, tak mungkin ia menyerah. Duduk ia terpengkur di depan pintu. Seperti seorang pengemis sejati yang mengharapkan belas kasih dari si pemilik rumah. Nafasnya mulai tersengal-sengal, tercampur sesak di dada dan lelahnya perjalanan yang menguras tenaga. Musafir tak habi pikir, seharusnya petunjuk yang diterimanya dahulu sangat jelas. 7 pintu, rahasia dan singgasana Raja. Ia tak mungkin menggerutu, mengumpat dan mempertanyakan kebijakan Sang Raja. Karena hal itu semua dapat membuatnya tercampak dan tertolak dari jalan ini. Baginya Sang Raja punya otoritas penuh pada air ini. Kadang air ini memang dikoyak teraduk-aduk. Raja melakukan ini untuk menguji kualitasnya. Tetapi kadang air juga dijaga tenang, meskipun jambang terguncang. Pada beberapa waktu ia merasa butuh akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, namun pada saat lain pertanyaan ini dibiarkan menjadi rahasia Raja yang tidak diketahui karena keterbatasannya.
"Berapa lama engkau akan mengetuk pintu dan menunggu pintu terbuka? Pintu itu tidak pernah ditutup." Musafir kaget atas teguran itu. Di sekelilingnya tak ada seorangpun. Pintu berderit terbuka. Jalan dan pintu tak lagi berarti begitu tujuan telah terlihat. Ketakjuban luar biasa menyelimutinya. Sebuah singgasana yang dijaga delapan pengawal. Para panglima perang ditempatkan di sebelah kiri. Menteri-menteri berada di sebelah kanan untuk mengesahkan keputusan Raja. Sedangkan musafir disediakan tempat berhadapan langsung dengan Raja, karena ia adalah cermin dari setetes air itu, bahkan lebih baik dari air itu.

Inspiried : Rumi, Juzjani, Rabiah el-Adawiyah.

By : Langit Mularto

Tanah Kusir, Iedul Fitri 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar