Senin, Desember 12, 2011

DEMOKRATISASI ROKOK

By : Langit Mularto


Wak Haji Abdullah, seorang kiai desa yang namanya tak setenar A'a Gym dan hanya berkecimpung sebagai marbot masjid -entah masjid NU atau Muhammadiyah- ternyata mempunyai pengalaman spritual yang mungkin sama dengan Gus Dur. Ketika seorang keponakannya mengaji dan mengajak berdiskusi tentang berbagai masalah sepele sampai rumit, Wak Haji dengan enteng menjawab seraya berseloroh gaya Gus Dur kiai panutannya itu "Begitu aja kok repot."

Pertanyaan-pertanyaan yang sering terlontar seperti ; hukum pacaran, melihat gadis tetangga sebelah dengan pakaian minim, sampai mencuri sesuatu demi anak yang lapar tidak luput ditanyakan keponakan itu. Tak lupa Wak Haji menjawabnya dengan diakhiri kalimat sakti tadi. Mungkin Wak Haji tadi ingin mengikuti jejak idolanyaitu sebagai kiai yang sulit dipahami, sehingga jawabannya pun nyaris tak dipahami orang sekelilingnya apalagi keponakannya yang masih bau kencur.

Pada suatu hari sang keponakan bertandang ke rumah Wak haji sambil mengumpat, mengutuk dan ngegerundel. Wak haji tentu bingung, "wong ga ngerti masalahnya kok digerundeli."
Hingga sang keponakan bercerita menumpahkan kekesalannya. "Begini Wak, masak tadi di mobil orang merokok seenaknya, padahal dia sudah tahu ada tanda dilarang merokok di depan matanya." Ujar sang keponakan berapi-api seperti sedang menyaingi pidato Bung Tomo dan Bung Karno itu. "Emang di dunia ini dia hidup sendiri? emang asap rokoknya ditelan sendiri? atau jangan dia sudah tidak punya jantung ya, Wak?" sambung sang ponakan.
Diberondong pertanyaan seperti itu, Wak Haji dengan santai menjawab. "Orang merokok dengan duitnya sendiri, mulutnya sendiri kok dimarahi. Merokok itukan bagi sebagaian orang nikmat. Kata iklan bikin hidup lebih hidup, meskipun tanpa merokok kita bisa hidup melebihi orang yang merokok."

"Katanya merokok itu makruh, kok masih banyak yang mendekati bahkan menghisap rokok ya Wak?"
"Kata siapa merokok makruh? apakah dengan merokok dapat mengganggu imanmu, lantas kamu lupa untuk syahadat? lupa dengan shalat? emoh naik haji kalo kaya raya nanti? jangankan saking asyiknya merokok kamu bisa lupa sama penciptamu Yang Maha Gede dan Maha tidak butuh rokok itu. Kalau sudah sampai tahap ini merokok itu haram, mungkin sama haramnya dengan syirik, karena jika merokok sudah sampai tahap ini, kita merasa kenikmatan hanya datang dari rokok dan tidak ada yang nikmat selain rokok. Ini bahaya nanti Dji Sam soe kita anggap sebagai tuhan. Marlboro bisa dianggap Djibrilnya.
"Kalau merokok hanya mengganggu  stabilitas fungsi hidung sebelahmu duduk hingga khawatir akan berjalannya fungsi jantung, ini masih agak ringan karena berarti rokok hanya tidak demokratis. Rokok memasung kebebasan dalam urusan hisap menghisap, berarti rokok masih perlu penataran ala orde baru agar menyadari hak dan kewajiban sebatang rokok."
"Memangnya ada rokok yang demokratis, wak?" potong sang keponakan ditengah arus deras pernyataan Wak Haji Abdullah.
"Wah ada itu, kalau saja asap rokok dengan bijaksana memilih hidung siapa saja yang harus dimasuki, atau yang tak perlu dimasuki, hingga asap rokok tak mengganggu stabilitas fungsi hidung, tak mengganggu pertahanan dan kenyamanan jantung yang benci merokok. Namun mungkin saja ia sedanag memaknai fungsi hidung sebagai indera pencium yang dapat mubazir jika tidak ada yang dicium, sehingga ia dapat menyalurkan rezeki yang berupa asap rokok itu ke hidung masuk melalui kerongkongan dan berhenti di jantung, sehingga merokok dapat bermakna. Jadi, jenis orang ini mempunyai rasa syukur sehingga fungsi organ tubuh tertentunya bisa bergerak disaat organ tubuh yang lain hanya menunggu rezeki dalam bidang lain." Ucapan Wak Haji terus mengalir sebelum dipotong keponakan.
"Tunggu-tunggu, Uwak sedang membicarakan asap rokok, bukan? atau sedang membicarakan orang yang sedang memaksakan pendapat?"
"Memang kamu pikir tentang apa?"
"Ah, Uwak selalu saja metafor...."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar