Selalu sulit menebak langkah Gus Dur. Baik langkah politis, Sosial, Budaya hingga masalah ekonomi. Makhluk asal jombang ini adalah orang yang paling cuek untuk dipahami ataupun tak dipahami.
Dibidang ekonomi misalnya, pada tahun 1990-an GusDur membuat gebrakan bidang ekonomi untuk umatnya di NU. Beliau bekerjasama dengan PT. Bank Summa mendirikan Bank Perkreditan Rakyat. Langkah ini banyak di singgung orang NU bahwa Gus Dur bukan kembali ke Khittah melainkan ke Khinthah (Perut).
Beberapa tahun belakangan ini pun, Gus Dur pernah mengusulkan sebuah wacana agar pemerintah mengemplang saja utang luar negerinya seraya menunjuk Argentina yang melakukan hal itu untuk membangun negaranya.
Atas berbagai keanehan tersebut Gus Dur sebagai “Khariqul Adah” – Kiai nyleneh- rupanya telah berani untuk menerima resiko dianggap berdosa secara politis, ekonomis, social, dan cultural.
Ketika konflik PKB berawal dengan dimintanya pengunduran diri Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah, banyak yang kesal kepadanya. Ia di sembur kiri-kanan, juga termasuk oleh komunitasnya sendiri –kiai-. Partai ini pun akhirnya di juluki Partai Kutub Besar, saking banyaknya DPC yang dibekukan.
Dimintanya berhenti seorang Ketua Dewan Tanfidziyah PKB bukan kali ini saja. Sebelumnya telah ada H. Mathori Abdul Jalil. Tokoh dari Jawa tengah ini pernah dijuluki anak emas Gus Dur. Sikap seaneh apapun dari Gus Dur, Mathori berusa untuk selalu memberi tafsiran yang positif. Bahkan ketika banyak kiai menentang terpilihnya Mathori untuk menjadi Ketua Dewan Tanfidziyah PKB, Gus Dur pun menjadi tamengnya “ini ketua partai, bukan Ketua NU. Kalau ketua NU memang sebaiknya dicarikan yang kiai”.
Pun diera kepemimpinan Alwi Shihab. Kebijakan Gus Dur tidak dapat dipahami oleh mayoritas kiai langitan yang dulu selalu mendampingi Gus Dur. Pendapat dan saran mereka tidak pernah lagi didengarkan Gus Dur. Bahkan tidak sekali dua kali kebijakannya sering bersebrangan dengan kehendak para kiai itu.
Ketika itu pertikaian dikalangan elite PKB menjadi tak menentu. Banyak yang menganalisa hal itu disebabkan karena sejatinya pertikaian waktu itu bersumber pada dua kekuatan inti PKB –Gus Dur dan para Kiai (langitan)-.
“Keanehan” sikap Gus Dur berlanjut ketika Ketua Dewan Tanfidziyah dipimpin oleh keponaknnya sendiri, Muhaimin Iskandar. Semula banyak yang menganggap Cak Imin tidak akan melawan seperti Alwi Shihab, Gus Ipul dan Mathori. Perlawanan Cak Imin konon juga didukung oleh sebagian kiai langitan yang telah lama jengkel dengan keputusan Gus Dur.
Sedikit flash back, ketika muktamar PBNU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur menyerukan agar NU kembali ke Khittah 1926. Gus Dur tergabung dalam Majlis 24, yang kemudian membentuk Tim 7 dengan tugas merumuskan konsep awal Khittah NU. Gus Dur sebagai ketua tim waktu itu. Hasil dari perumusan tersebut dilaporkan ke Majlis 24 yang kemudian dibawa ke Muktamar Situbondo. Draft tersebut menjadi keputusan Muktamar dan memilih Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU.
Gus Dur sangat konsisten dengan konsep Khittahnyadan membuat para Kiai yang berpolitik bingung. Gus Dur seolah sengaja ingin membuat jengkel para Kiai dengan kebijakan-kebijakan politiknya. Bisa saja dalam penilaian Gus Dur, berpolitik bukanlah medan juang Kiai.
Saat ini sebagian Kiai sudah mulai “muak” dengan kebijakan aneh Gus Dur. Mereka yang bersebrangan dengan Gus Dur menjadi “tersiksa”. Dalam beberapa perselisihan terdahulu, para Kiai selalu kalah dalam persidangan. Mereka juga tidak ingin bernasib sama dengan PKU nya Gus Sholah atau PNU nya Syukron Ma’mun. Gus Dur seolah sengaja membuat para kiai tidak nyaman dalam berpolitik dan kembali ke Khittah mereka yang mulia, tentu dengan media yang selalu dekat dengannya – Muhaimin Iskandar-.
Kini Gus yang “nyentrik” ini di damprat sana-sini. Ia langsung dikucilkan dari solidaritas umatnya sendiri karena sikap politisnya itu.
Mengutip ucapan Almarhum Nurcholish Madjid “ Kita Share gagasan besarnya dan abaikan renik-renik kecil yang susah dipahami”.
-Wallahu wa Gus Dur alam-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar