Nasib rakyat kita memamng tidak ada asuransinya. Pejabat setingkat lurah hingga pimpinan pusat pemerintahan bukan diproyeksikan untuk menjamin bahwa rakyat tidak kelaparan, tidak bodoh dan tidak sakit.
Meski Ibu-ibu rumah tangga berteriak tentang dampak kenaikan harga BBM, yang tersisa hanyalah serak. Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bukan Nabi Kesejahteraan yang selalu mencemaskan kalau-kalau dapur mereka tidak mengepul. Mereka tidak pernah bertanya apakah ibu-ibu punya beras untuk makan anak-anak? Punya uang untuk menyekolahkan anak-anak.
SBY-JK sebagai representasi pemerintah hanya memerintah, meminta, memarahi, mencurigai dan (kallau terdesak) memukuli. Sinonimnya adalah, jika mengingat mereka yang muncul bukan rasa terlindungi melainkan terancam. Kepada pak Polisi rakyat takut dankepada Tentara kami ngeri.
Bangsa ini terkenal karena budaya kepasrahannya. Sebagai pribadi-pribadi mereka memiliki budaya resistensi psikologis yang sangat tinggi untuk menelan kesengsaraan, untuk menyangga kecurangan-kecurangan sejarah, ketidakadilan politik dan berbagai jenis kelaparan dan kehausan hidup yang lain. Mereka tidak gampang merasa menderita, sehingga juga tidak banyak berargumentasi subyektif- apalagi obyektif – untuk melawan suatu keadaan.
Ibu-ibu dipelosok desa juga sukar dipengaruhi apalagi dibuat percaya bahwa ada struktur –struktur keadaan yang mungkin menjadi asal usul penderitaan mereka. Lebih sulit lagi meyakinkan bahwa ada perbedaan antara Takdir dengan kemalangan yang diakibatkan oleh suatu mekanisme sejarah.
Ketika menyimak detik-detik pengumuman kenaikan BBM oleh pejabat terkait, Ibu saya nyeletuk :” Kalau Ibu mendengarkan mereka-mereka ini berpidato, kalau Ibu menatap sorot mata dan urat wajah mereka, kalau Ibu mendengarkan kata-kata mereka yang tidak berjiwa sangat sukar bagi Ibu untuk menemukan di dalam diri Ibu kepercayaan bahwa orang-orang itu punya sikap jujur terhadap uang, punya tanggung jawab kepada moralitas, dan punya kesungguhan dalam menangani amanat kedaulatan dan aspirasi orang banyak”.
Belakangan, ucapan yang dinyatakan Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie adalah ucapan Pemerintah “ BLT sangat membantu rakyat, kenaikan BBM tak akan berpengaruh secara signifikan, apalagi yang telah menggunakan gas “ Ungkap Jusuf Kalla (Kompas 26/05)
Saking seringnya pemimpin kita ini menggelar rapat pimpinan partai, maka yang tercetus dari bibirnya adalah sudut pandang pimpinan partai, bukan sudut pandang kerakyatan. Mereka ini tidak memiliki kesanggupan untuk menjadi rakyat. Barang siapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap kerakyatan. Selebihnya, pelajaran tentang masalah teknis manajemen, organisasi dan lain sebagainya itu learning by doing.
Kalau engkau seorang pimpinan rakyat, tumbuhkanlah telinga hatimu untuk mendengar suara dan bahasa rakyat. Karena rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu, karena merekalah yang memberimu mandat untuk mengurusi negeri ini yang berkorban untuk menggaji dan menyejahterakanmu.
Sebagai bangsa, kita ini sedang mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Rakyat saat ini sudah sangat terpaksa untuk percaya kepadamu. Mereka sudah terlalu lelah oleh todak terbatasnya beban yang harus mereka pikul. Maka, jika, dan hanya jika pernyataan kenaikan BBM adalah demi keadilan rakyat ternyata hanya trik psikologis, maka betapa beraninya engkau sedemikian jauh menyakiti hati rakyatmu.
Semoga pimpinan ini belum termasuk yang “ Su’mum, Bukmun, Umyun…..” bisu tuli dan bebal.
Meski Ibu-ibu rumah tangga berteriak tentang dampak kenaikan harga BBM, yang tersisa hanyalah serak. Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bukan Nabi Kesejahteraan yang selalu mencemaskan kalau-kalau dapur mereka tidak mengepul. Mereka tidak pernah bertanya apakah ibu-ibu punya beras untuk makan anak-anak? Punya uang untuk menyekolahkan anak-anak.
SBY-JK sebagai representasi pemerintah hanya memerintah, meminta, memarahi, mencurigai dan (kallau terdesak) memukuli. Sinonimnya adalah, jika mengingat mereka yang muncul bukan rasa terlindungi melainkan terancam. Kepada pak Polisi rakyat takut dankepada Tentara kami ngeri.
Bangsa ini terkenal karena budaya kepasrahannya. Sebagai pribadi-pribadi mereka memiliki budaya resistensi psikologis yang sangat tinggi untuk menelan kesengsaraan, untuk menyangga kecurangan-kecurangan sejarah, ketidakadilan politik dan berbagai jenis kelaparan dan kehausan hidup yang lain. Mereka tidak gampang merasa menderita, sehingga juga tidak banyak berargumentasi subyektif- apalagi obyektif – untuk melawan suatu keadaan.
Ibu-ibu dipelosok desa juga sukar dipengaruhi apalagi dibuat percaya bahwa ada struktur –struktur keadaan yang mungkin menjadi asal usul penderitaan mereka. Lebih sulit lagi meyakinkan bahwa ada perbedaan antara Takdir dengan kemalangan yang diakibatkan oleh suatu mekanisme sejarah.
Ketika menyimak detik-detik pengumuman kenaikan BBM oleh pejabat terkait, Ibu saya nyeletuk :” Kalau Ibu mendengarkan mereka-mereka ini berpidato, kalau Ibu menatap sorot mata dan urat wajah mereka, kalau Ibu mendengarkan kata-kata mereka yang tidak berjiwa sangat sukar bagi Ibu untuk menemukan di dalam diri Ibu kepercayaan bahwa orang-orang itu punya sikap jujur terhadap uang, punya tanggung jawab kepada moralitas, dan punya kesungguhan dalam menangani amanat kedaulatan dan aspirasi orang banyak”.
Belakangan, ucapan yang dinyatakan Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie adalah ucapan Pemerintah “ BLT sangat membantu rakyat, kenaikan BBM tak akan berpengaruh secara signifikan, apalagi yang telah menggunakan gas “ Ungkap Jusuf Kalla (Kompas 26/05)
Saking seringnya pemimpin kita ini menggelar rapat pimpinan partai, maka yang tercetus dari bibirnya adalah sudut pandang pimpinan partai, bukan sudut pandang kerakyatan. Mereka ini tidak memiliki kesanggupan untuk menjadi rakyat. Barang siapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap kerakyatan. Selebihnya, pelajaran tentang masalah teknis manajemen, organisasi dan lain sebagainya itu learning by doing.
Kalau engkau seorang pimpinan rakyat, tumbuhkanlah telinga hatimu untuk mendengar suara dan bahasa rakyat. Karena rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu, karena merekalah yang memberimu mandat untuk mengurusi negeri ini yang berkorban untuk menggaji dan menyejahterakanmu.
Sebagai bangsa, kita ini sedang mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Rakyat saat ini sudah sangat terpaksa untuk percaya kepadamu. Mereka sudah terlalu lelah oleh todak terbatasnya beban yang harus mereka pikul. Maka, jika, dan hanya jika pernyataan kenaikan BBM adalah demi keadilan rakyat ternyata hanya trik psikologis, maka betapa beraninya engkau sedemikian jauh menyakiti hati rakyatmu.
Semoga pimpinan ini belum termasuk yang “ Su’mum, Bukmun, Umyun…..” bisu tuli dan bebal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar