Minggu, April 01, 2012

PERTEMUAN

By : Langit Mularto

"....Hingga aku hembuskan nafas yang terakhir dan kitapun bertemu."
Ahmad Dhani.

Ketika menikmati lirik dari band Dewa tersebut, keponakan saya yang berumur 5 tahun bertanya merujuk lirik yang metafor tersebut, "maksudnya apa Om?"
"Kalau nanti kita mati, kita bisa bertemu Tuhan," jawab saya ringan.
Kemudian tanpa diduga oleh pikiran dewasa saya dia berujar, "Kalau gitu Wisnu mau cepat mati ah, biar bertemu Tuhan."
Oh, Tuhan. Bergetar hati saya. Dahsyat sekali anak sekecil itu membicarakan mati. Fantastis bagi saya, disaat anak sebayanya hanya memikirkan gameboy, playstation dan berbagai jenis teman elektronik lainnya. Bahkan saya yang sudah dewasa ini masih mengejar tujuan-tujuan utama saya; yaitu kekayaan yang berlimpah-limpah dan kemerdekaan dari orang-orang lain karena memiliki kekayaan yang berlimpah tersebut. Sebagian hati saya yang lain berambisi pada reputasi pribadi yang luas. Menunggu ucapan manis penjilat-pejilat yang berkata terimakasih dan pujian-pujian kolega terhadap kemurahan hati dan amal baik saya. Kemudian sisi hati saya yang lain mengutamakan kekuasaan dan prestise yang besar sehingga sejawat saya mau tidak mau tunduk patuh terhadap saya.
Kita sebagai makhluk dewasa ternyata sering lupa tujuan terakhir dan kewajiban kita. Dunia ini diciptakan untuk memberi makan "binatang tunggangan" manusiad dalam menempuh perjalanan menuju "pertemuan." Saya lupa makna metafor dari kehidupan seperti hidup sebatang pohon. Tujuan dari dahan adalah buah yang matang, tidak sekedar sebatang dahan yang lain.
Dalam diri keponakan saya ini timbul untuk secara kritis memeriksa hasratnya terhadap kehidupan yang kekal dan sempurna. Mati adalah suatu hal di luar logikanya. Dengan mengingat mati seseorang dapat melepaskan dirinya dari kepentingan sesaat dari segala sesuatu itu terhadap pengembangan dirinya dari perspektif hidupnya yang menyeluruh.
Alih-alih ia menyadarkan saya. Jika tujuan pokok dalam hidup saya adalah untuk memperoleh prestise dan kesuksesan dunia, pun jika motif pokok dalam puasa saya adalah sekedar kekuatiran terhadap kesehatan, maka usaha saya dalam hidup dan puasa itu mungkin penting bagi dunia namun tidak bermanfaat bagi usaha menuntut sebuah "Pertemuan."
Keasyikan mengejar prestise akan mengecilkan saya, sementara hasrat mati dan berjumpa dengan-Nya akan membesarkan bocah polos itu. Saya yang berkesibukan mencari prestise beranggapan bahwa memiliki hal-hal tertentu adalah sangat penting, sementara keponakan saya itu yang ingin bertemu Tuhan mungkin tak acuh pada hal-hal tertentu walaupun jalannya sangat lapang di masa depannya.
Saya seolah diajarkan bahwa mati itu hanyalah saat yang membatasi dua keadaan eksistensi yang berbeda. Dunia kita (hidup sekarang) dan akhirat kita (hidup sesudah mati) merupakan dua keadaan kita. Mati itu sendiri bukanlah keadaan ketiadaan, mati adalah kebebasan dari kesibukan duniawi.
Keponakan saya ini mengingatkan saya pada sebuah contoh cerita sufistik. Syahdan ada seorang anak laki-laki sedang menangis dan meratapi peti mati ayahnya. "Ayah, mereka membawamu ke tempat yang tiada apapun yang menutupi lantai, tiada penerangan, tiada makanan, tiada pintu atau tetangga yang suka menolong." Anak yang cemas oleh uraian itu nampak tennag kembali, lalu berseru kepada ayahnya, "orang tuaku yang terhormat, Demi Allah, mereka membawamu ke rumah kita."
Sekali lagi hatiku bergetar tak habis pikir dan aku ingin masuk ke kosmos hatimu yang selalu berirama puisi pada masa Rumi.
"Salib dan orang-orang Kristen kau selidiki. Ia tak ada di salib itu. Kau pergi ke candi Hindu, ke pagoda kuno, pun tak ada suatu tanda di tempat itu. Ke tanah tinggi Herat kau pergi, dan ke Kandahar, di sana ia tak ada. Kau tanya Ibnu Sina yang filosof. Ia di luar jangkauan Ibnu Sina. Kau pandang ke dalam hatimu sendiri. Di situlah tempat-NYA, kau melihat-NYA. Ia tak ada di tempat lain."

Tanah Kusir,
13 Oktober 2005.
Langit Mularto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar