Rabu, April 18, 2012

SEPATU BARU (Cerpen berlatar Kejadian Mei 98)

By : Langit Mularto

Waktu itu pagi sudah merambat naik, suatu hari di bulan Mei yang panas, Lasmi sedang meracik beberapa bumbu yang digerusnya dengan muntu di atas cobek. Ia bergeser dari duduknya hendak menjangkau bawang merah dari keranjang parcel yang diubahnya menjadi tempat sekumpulan bumbu dapur.
“O, dasar pengganggu kecil. Kamu taruh di mana bumbu ibu?” katanya. “Sudah ingin bermain-main rupanya kamu, Mahes! Kalau caranya seperti ini ibu tidak bisa menyelesaikan memasak, dan kamu pasti akan berteriak lapar.”
Tidak ada di dapur yang kecil itu jejak-jejak kehadiran Mahesa.
“Mahesa, cepat bawa kemari bumbu-bumbu ibu,” pintanya. “Hari sudah akan siang, sampai kapan kamu akan mengganggu ibu?”
Mahesa melongok dari balik gorden pembatas dapur dan ruang tengah, wajahnya yang kecil cerah dihiasi dengan senyuman nakal, tetapi begitu ibunya memergokinya, ia pun dengan sigap menyembunyikan kembali wajahnya seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan.
“Mahesa,” setengah berteriak Lasmi, “Jangan nakal, nak. Berikan kepada ibu bumbu-bumbu itu. Ibu sedang sibuk, mengapa kamu terus mengganggu?”
Mahesa mengintip untuk kesekian kalinya dari balik gorden. Senyumnya masih nakal menggoda ibunya.
“Ibu sudah melihatmu, tak ada gunanya kamu terus bersembunyi seperti itu. Cepat kembalikan bumbu ibu!”
Mahesa menganggap dirinya masih cukup kecil untuk menggoda ibunya dengan cara seperti ini. Ia akan bersembunyi di tempat-tempat yang oleh orang buta pun akan cepat ketahuan, namun Lasmi harus berpura-pura tidak mengetahui di mana ia bersembunyi. Tetapi hari itu Lasmi sedang sibuk menyiapkan sedikit pesta kecil untuk hari jadi Mahesa yang sudah beranjak enam tahun. Hari ini juga ia berjanji untuk membelikan Mahesa sepatu baru di mall terdekat. “Kalau kamu terus juga seperti ini, Mahesa, ibu tidak dapat selesai memasak, mungkin kamu senang sekarang, tapi nanti jika masakan ibu tak selesai dan kamu tak dapat sepatu barumu, pasti kamu akan menangis.”
Mahesa keluar dari tempat persembunyiannya sambil tertawa, lalu meletakkan bungkusan bumbu itu di depan ibunya. “Sekarang kamu main di luar,” katanya, “sebentar lagi ibu selesai, dan kita akan pergi mencari sepatu barumu.”
Lasmi begitu menyayangi Mahesa, anak semata wayangnya. Ia ibu yang pantang menyerah. Berbagai pekerjaan dilakoninya untuk membahagiakan anaknya. Ketika siang Lasmi bekerja sebagai pekerja rumah tangga di rumah keluarga Bu Amir –ketua RT setempat- dan sore harinya ia mengumpulkan pakaian-pakaian tetangga yang ingin dicucikan olehnya. Malamnya, dia menjahit baju pesanan. Jahitannya begitu halus sekali dan termasuk yang terbaik di kampung itu. Hidupnya benar-benar untuk Mahesa yang sejak kecil tidak pernah hidup dalam kesenangan.
Ayah Mahesa sangat jarang pulang. Dia pulang hanya jika menginginkan sesuatu dari istrinya. Ia memperlakukan Lasmi dengan sangat kasar. Tamparan, hardikan dan pukulan lelaki penganggur itu pada Lasmi semakin menjadi pelengkap penderita bagi wanita itu. Lasmi sudah banyak berkorban. Sejak awal menikah mereka tidak pernah hidup dalam kesenangan. Penuh pahit dan getir. Terutamanya ketika suaminya tidak henti-henti membuat onar. Lasmi tidak pernah menyerah pada takdir yang harus dijalaninya. Ia terus bangkit. Bekerja tak henti-henti seakan tidak menghiraukan lelah diri. Terus menbimbing Mahesa tanpa gundah. Senyum tetap mengembang walau luka terus terukir. Suaminya terus menghilang tidak terlihat dua minggu belakangan ini. Mungkin sudah dapat apa yang dicitanya.
Mahesa telah menghitung-hitung hari ini, dan ia begitu gembira, sehingga hampir-hampir tak dapat tidur pada malam harinya. Kemudian tibalah saat yang dinanti-nantikan ini. Beruntung bagi Mahesa, karena hari ini sekolah diliburkan. Sejak suasana Jakarta memanas, guru-guru meliburkan anak didiknya. Lasmi terlalu lugu untuk memahami kondisi politik Jakarta beberapa hari belakangan ini. Ia hanya sedikit saja mengikuti perkembangannya melalui televisi di rumah Bu Amir. Suasana keruh tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Solo, Bandung, Semarang dan Medan beragam desas-desus yang tidak masuk akal merebak ke mana-mana.
Sudah dua hari kemarin situasi di Jakarta sudah begitu tegang. Berbagai aksi mahasiswa di galang di pusat-pusat pendidikan. Universitas Atmajaya makin bergolak, Trisakti sudah mendidih, Universitas Moestopo menjadi basis untuk masuk ke Semanggi dan sebagian besar mahasiswa terakumulasi di Universitas Indonesia, Salemba. Jumlah mahasiswa di sepanjang jalan salemba raya sudah mencapai titik jenuhnya.
Sepanjang jalan salemba menuju jalan Diponegoro dan jalan Imam Bonjol lautan massa beriring melakukan long march. Pelampiasan kekesalan terjadi di jalan Imam Bonjol, seorang mahasiswa dengan sengaja menabrakan mobilnya kepada polisi yang sedang berjaga.
Siang itu dimulai dengan ketenangan. Langkah kaki baru saja mengayun menuju pusat perbelanjaan yang telah dijanjikan Lasmi kepada Mahesa. Matahari selanjutnya mulai memerah di langit, cahayanya menerobos melalui keteduhan jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender. Udara dipenuhi timbal dan belerang dari asap-asap knalpot metro mini.
Lasmi mengayun langkah mengenggam lengan Mahesa. Pakaiannya begitu bersahaja, dan telah tipis karena sering dicuci. Terkadang Mahesa sedikit tergopoh mengikuti langkah ibunya. Rambutnya yang telah disisir dengan penuh kasih sayang oleh ibunya begitu lembut dan bersinar diterpa sang surya. Di matanya yang besar dan indah itu memancarkan ketakjuban yang tak dimengertinya, seakan-akan mata itu baru saja terbuka karena untuk pertama kalinya melihat dunia yang lebih luas dari kampungnya yang kumuh. Mahesa hanya memahami dunia kecilnya. Sepetak tanah dengan pohon-pohonan di sekitarnya, tempat ibunya setiap hari menyuapinya dengan tangan kasih sayang.
Siaran berita di televisi begitu mencekam hingga sempat tersirat keraguan di benak Lasmi untuk keluar rumah di tengah Jakarta yang begitu tegangnya, namun janji telah terucap kepada Mahesa. Lasmi berusaha menenangkan dirinya dengan membuat keyakinannya sendiri. Klender bukan daerah pecinan seperti Glodok yang kemarin ia lihat di televisi di bakar massa, begitu pikirnya. Begitulah memang. Para etnis keturunan selalu harus menjadi tumbal kerusuhan. Sasaran sebuah dendam yang mengkristal harus ditumpahkan serta merta saat itu juga.
Sementara suhu politik Jakarta makin memanas. Gerakan politik untuk menggulingkan Presiden Soeharto begitu gencar. Sejak awal bulan, dunia seolah tertuju pada Jakarta. Meski staff-staffnya yang loyal –termasuk menantunya, Jenderal Prabowo- melindunginya dengan cara mengerahkan pasukan-pasukan terbaik negeri ini, posisi Presiden tetap di ujung tanduk. Lima belas ribu pasukan bersenjata dari Kopassus dan Kostrad telah disiapkan mengamankan Jakarta.
Kaki mereka sudah terjejak di pintu mall di bilangan Klender. Semua tampak tenang. Lasmi dan Mahesa bergandengan tangan dan melangkah menaiki tangga. Di lantai tiga, mereka berada di antara gerai-gerai yang memajang sepatu dan sandal. Mereka terus melangkah di antara beberapa orang yang berlalu lalang. Lasmi mendekati pelayannya, dan coba menanyakan sesuatu. Pelayan itu menunjukkan tumpukan sepatu yang terpajang di atas rak-rak logam. Lasmi mengamat-amati tumpukan sepatu itu, mencari model dan ukuran yang pas untuk Mahesa. Ia mulai membanding-bandingkan antara model yang satu dengan lainnya. Mahesa mengambil jarak dari Lasmi. Matanya seolah ditarik oleh sekumpulan mainan anak yang ada di sudut ruangan itu. Anak itu semakin jauh dari ibunya, dan kini ia benar-benar terpisah.
Beberapa orang masih terus asyik melihat-lihat diiringi dentuman musik dari pengeras suara mall tersebut. Tiba-tiba terdengar kegaduhan. Beberapa orang yang lewat mulai berlari dan berdesakan menuju pintu keluar. Tepat pada waktu itu, Mahesa seperti melihat kelebatan ayahnya. Samar. Pria berjaket kulit murahan berkelebat di balik kerumunan pengunjung lainnya menuruni tangga.
Udara sangat panas. Angin berhembus kencang. Angin berdebu. Cahaya siang menyepuh lanskap kota yang gamang. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Mereka tak mau tahu dan sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Mereka tak peduli. Mereka semua mendekat lalu berteriak-teriak minta petugas segera memberi tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Seorang lelaki yang berkacamata hitam bahkan menggedor-gedor loket. Beberapa kaca terdengar mulai pecah.
Seseorang menarik tangan Mahesa. “Ayo, cepat lari nak.” Orang itu menyeret Mahesa hingga anak itu kehilangan sebelah sandalnya. Tidak mungkin untuk kembali lagi, tidak mungkin menerobos orang yang berlari dengan melawan arah seperti itu. Dengan hanya meraba-raba dalam pekatnya kegelapan asap, orang itu mencengkeran tangan mungil anak itu dengan begitu kuatnya. Akhirnya mereka tiba di jalanan dan terbebas dari bekapan asap nan hitam. Dinding-dinding mall dipenuhi jelaga hasil dari goresan lengan-lengan api yang memerah.
Pengunjung panik, berlarian, seperti baru saja terjadi ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung-gedung menghitam karena hangus, seluruh kacanya berjelaga sehingga jendela-jendela tampak seperti mulut-mulut yang menganga. Beberapa pedagang kaki lima yang tadinya semangat menawarkan barang dagangannya kini menjerit karena dagangannya berhamburan.
Mahesa berpaling ke gedung yang dilumat api itu. Kini ia sendiri, entah kemana orang yang semula menggenggam lengannya. “Ibu, di mana ibu.” Anak itu menangis.
Api mulai membesar. Jelaga semakin pekat. Mahesa menangis sejadi-jadinya sambil melihat ke arah bayangan yang tertutup kepekatan asap yang seperti neraka itu. Matanya menatap pintu masuk yang memuntahkan kepulan asap dan api yang semakin tebal. Banyak pula yang senasib dengannya, mereka berteriak-teriak mencari keluarganya. Sementara kerumunan semakin padat menonton “pertunjukkan kebakaran” itu.
“Ibuuu..!!” Mahesa menatap pada satu tempat di lantai dua, di balik bentangan kaca yang berjelaga, tepat di atas pintu keluar. Lasmi mencoba memukul-mukul kaca dengan kepanikan yang putus asa. Masih ada beberapa orang di sekeliling Lasmi. Mereka tak kalah takutnya. Semua tangan ingin coba mengalahkan dinding kaca, seakan-akan mereka hendak menyingkirkan penghalang itu.
Di belakang Lasmi muncul lidah maut yang bersiap menjilatnya. Lasmi sudah tak dapat lagi menghindar dari kepungan api yang sudah menyebar di lantai dua. Ia terperangkap dalam kebakaran yang dapat membuat kulit pun mencair.
Muka Mahesa menjadi biru karena takut. Bangunan itu, ibunya, dan bahkan orang-orang di sekelilingnya pun mulai terselimut kabut dalam pandangan matanya. Tak ada seorang pun bersamanya, hanya ketakutan yang menerjangnya. Jauh di atas sana, samar ia mendengar ibunya memanggil-manggil. Kemudian, tiba-tiba dengan keberanian bercampur putus asa yang timbul pada seorang anak saat melihat maut, ia pun menjerit dalam ketakutan.
Lidah-lidah setan yang kemerahan itu dengan cepat melahap gedung, menghanguskan apa saja yang dilaluinya. Lantai tiga sudah benar-benar habis dalam kepekatan asap. Mereka yang sempat turun di lantai dua pun –seperti Lasmi- tak sanggup berbuat banyak. Mereka berjatuhan tak sanggup melawan maut yang marah.
Lasmi masih sempat melihat ke arah anak yang disayanginya. Dengan mata penuh ketakutan Lasmi menangis putus asa. Api sudah menjalar dengan begitu cepat tanpa belas kasihan. Rambutnya yang tergerai panjang mulai dijilat api. Kulitnya mencair. Tangannya merekat pada dinding kaca yang mendidih. Api mulai mengepung tubuhnya, kepalanya dan Lasmi roboh.
Mahesa melihat semua itu. Melihat detik demi detik ibunya dilahap maut. Tubuhnya menggigil. Gelap gulita. Apakah ini kiamat ? Petir bersahutan di dalam benaknya seperti dihamburkan dari langit yang membuatnya menutup telinga dan gemetar. Rasanya tubuh anak itu membeku.
Di luar, orang-orang seperti terhipnotis oleh kekuatan api yang berkobar. Sirene pemadam kebakaran dan ambulance meraung-raung. Dengan tergopoh petugas menarik selang dan menyemprotkan air berkekuatan besar. Api yang sedang mengacak-acak gedung itu tak mudah dijinakkan begitu saja oleh air. Wajah api semakin memerah.
Tangisan Mahesa berubah menjadi raungan yang tak terkendali. Anak itu kini menjadi perhatian banyak orang selain gedung yang terbakar itu. Banyak mata tertuju padanya tak terkecuali ayah Mahesa yang berdiri bersama sekumpulan orang berwajah seram, tak jauh dari anak itu yang sedang menjadi saksi bagi maut yang melumat tubuh Lasmi. Hingga laki-laki itu menghampiri tubuh Mahesa yang lemah, ia tak paham apa yang ditangisi Mahesa. Anak itu hanya dapat memeluk tubuh ayahnya yang beraroma minyak tanah. Anak itu menangis. “Ibuuu.... Tolong ibu ayah. Ibu...!!!” Dan tubuh mungil Mahesa terkulai, pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar