Senin, April 02, 2012

TAMU

By : Langit Mularto

Sekarang ini, bacaan sebelum tidur Najma adalah sebuah karya Bibhutibhusan Banerji. Pater Pancali. Kehidupan dua orang anak bernama Apu dan kakaknya, Durga, dengan setting India pada pertengahan 1800-an. Petualangan seorang anak yang begitu alami, hingga petualangan itu membawa Apu keluar dari desanya mengikuti ayahnya yang seorang pendeta Brahmana untuk mencari nafkah. Hal yang kemudian tidak pernah dirasakan Durga -sebagai anak wanita- yang hanya bisa berpetualang di hutan desa.

Sekarang sudah hampir tengah malam. Terlalu banyak yang ia alami hari ini dan membuat tubuhnya begitu lelah hingga Najma melupakan rasa laparnya. Rasanya perlu melahap makanan ringan sebelum tidur. Camilan terbaiknya adalah apel yang dibelinya siang tadi.

Dalam kamarnya, Najma bersandar pada tumpukan bantal yang lembut. Kepalanya menghadap pintu, membentuk sudut empat puluh lima derajat dari dipan. Ujung kaki-kakinya menyentuh lantai. Tangan yang kiri terlentang dan yang kanan lebih dekat dengan tubuhnya. Sambil bersandar di bantal-bantal itu, Najma merasa seperti kembali ke tempat tidur masa kecilnya dulu, ketika itu ia hanyalah seorang anak kecil yang berusia delapan tahun yang tak dapat menutup matanya meski telah mengantuk, sementara jemarinya terus memilin-milin ujung bantal. Beberapa dari pertengkaran yang tak berkesudahan yang terdengar samar-samar dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan dari bulan ke bulan, lama kelamaan membentuk sesuatu di bawah sadarnya. Awalnya hanya sebagian kecil yang dapat dipahaminya, tetapi setelah rutin didengar tiap malam, jadi tak terlupakan hingga kini.

Malam itu, Diah Prameswari, ibu Najma terisak dengan sedan. "Mereka kan anakmu, tak pedulikah kau? Tak sayangkah kau pada mereka?"
"Dengan keadaan begini, terus terang aku tak peduli. Kau menginginkan kebebasan, aku juga," jawab ayahnya, Zulfikar.
"Baiklah, kita bagi. Aku bawa Najma, kau bawa Aulia."
"Tidak bisa begitu, bukan itu masalahnya. Suruh saja ayah anak itu, kalau kau tahu siapa ayahnya. Silakan suruh lelaki itu bawa Aulia. Aku takkan menghalanginya. Anak itu sama sekali tak mirip aku," teriak Zulfikar.

Najma ingat, awal pertengkaran besar itu bermula dari kedatangan wanita muda bernama Gadys.
"Ibu...ibu...," seru Aulia Ramadani mencari Diah yang sedang di dapur membuatkan sup untuk Najma yang sedang demam seja pagi.
"Ada apa, Lia?" tanya Diah menjawab panggilan anak sulungnya dengan senyum.
"Ada tamu yang mencari ayah," jawab Aulia, sambil menarik lengan ibunya menuju ruang tamu.
"Tamunya sudah dipersilahkan duduk?" Diah seperti tergopoh mengikuti tarikan anaknya.
Ya, sudah bu.”
 “Kalau gitu, ibu akan ganti baju sebentar, kamu bisa menemaninya dulu, kan?” Diah menuju ke kamarnya dengan langkah cepat.

Aulia bergegas ke ruang tamu untuk menemani tamu itu. Tamu wanita berusia sekitar awal tiga puluh-an, beserta seorang anak perempuan berusia sekitar empat atau lima tahun dipersilahkan duduk olehnya. Usia Aulia waktu itu sekitar lima belas tahun, baru akan masuk sekolah menengah atas. Dengan tangkas ia meladeni kemauan tamu itu.

Sebelum masuk ke ruang tamu, Diah mengintip tamu yang mencari suaminya itu dari balik tirai pembatas ruang. Tidak ada perasaan aneh ketika ia melihat tamu yang berwajah anggun dengan rambut yang ikal sebatas bahu. Pandangan Diah beralih menuju pada seorang anak perempuan yang duduk tenang mengapit ibunya. Aulia yang menemani di hadapannya hanya diam memandangi kedua tamu perempuan itu yang sedang bercengkrama dengan logat sunda kasar.

Diah menyurutkan langkahnya menuju ruang tengah dan bercermin kembali, kemudian dengan helaan napas panjang ia keluar menuju ruang tamu. Aulia menoleh melihat kedatangan ibundanya dan berdiri. Dengan isyarat Diah memerintah anak sulungnya beranjak dari ruangan itu.

“Selamat siang,” Diah menyapa tamunya, sambil tersenyum ia mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan. “Saya Diah, istri bapak Zulfikar..., ibu?” tanyanya dengan nada datar.

“Saya Gadys. Saya datang dari Bandung, baru pagi tadi saya sampai Jakarta dan langsung mencari alamat rumah ini.”

“Apa yang bisa saya bantu untuk anda?” Mata Diah beralih memandang bocah perempuan yang berada di sisi kanan perempuan itu. Anak itu sedang duduk tenang memainkan makanan ringan yang disuguhkan oleh Aulia sebelumnya. “Anak anda cantik” Dengan memajukan tubuhnya, Diah berusaha menjangkau pipi anak itu. “Siapa nama mu anak cantik?” tanyanya lembut dengan dengung suara seperti anak-anak.

“Namaku Sheila, tante,” sahut Gadys mewakili anak-anak itu. Anak pemalu itu langsung menghimpit ke dada ibunya, menghindari sentuhan Diah. Wajahnya tertutup oleh rambutnya yang keriting.

Pandangan Diah beralih ke Gadys yang mengapit leher anak itu. “Ok. Ada perlu apa anda ingin berjumpa suami saya, mungkin bisa saya sampaikan nanti. Beliau tak ada di rumah sekarang,” Diah langsung membuka katup komunikasi yang sempat berhenti karena basa-basi tadi.

“Maksud kedatangan saya ke sini ingin meminta pertanggung-jawaban Zulfikar.” Ucapan Gadys tercekat sesaat.

Diah melongo bingung, pikirannya mulai digerayangi dengan banyak pertanyaan dan kegundahan. Pertanggung-jawaban? Ada apa ini sebenarnya? Apa yang telah dilakukan suaminya? Diah mendesah pelan. Ia merasa harus mengontrol dirinya agar tidak gugup atau kikuk di depan tamunya itu. Semua kegalauan itu disimpannya bersama sekumpulan pertanyaan tadi. Berbagai prasangka muncul begitu saja dalam benaknya. Satu persatu datang silih berganti. Prasangka-prasangka negatif yang kemudian dihalaunya dengan keragu-raguan.

“Saya ingin meminta pengakuan dari Zulfikar tentang status anak ini. Sheila, anak Zulfikar, ia berhak bertemu dengan bapaknya,” cetus Gadys mantap tanpa keraguan.

Sepotong kalimat itu membuat Diah hancur. Bangunan kekuatan yang disusunnya sejak kecurigaan tadi, tidak mampu membendung hujaman dahsyat kata-kata yang menghujam hatinya. Kata-katanya tercekat tak mampu keluar, meski ia berusaha tetap tenang. Diah menatap lagi ke wajah anak itu. Mengamati dengan pandangan menyelidik, adakah kemiripan yang diwariskan Zulfikar kepada anak itu. Mata dan hidungnya mungkin saja mewarisi mata dan hidung Zulfikar. Walaupun tak sepenuhnya mirip, tapi ada gurat-gurat kesamaan yang cukup terlihat. Dagunya tidak mirip sama sekali, lebih mewarisi dagu ibunya, Gadys.

“Saya hanya ingin masa depan anak ini jelas, jangan sampai anak ini berstatus anak haram dalam surat-surat administratifnya nanti. Nyonya tahu jika itu semua terjadi? Anak ini tak bisa mendapatkan akta kelahiran, itu berarti akan sulit mengurus apapun kelak.” Gadys menggeser posisi duduknya, lalu memberikan beberapa lembar foto kenangannya bersama Zulfikar di Bandung sebagai bukti kesungguhannya.

Wajah Diah memerah menatap satu persatu lembaran foto itu. Pada lembaran ketiga ia tak mampu lagi melihatnya dan menaruhnya kembali ke meja. Ingin rasanya ia melempar begitu saja foto-foto itu jika tak menghormati tamu. Mendadak kakinya gemetar dan keringat dingin membasahi keningnya. Matanya terpejam sesaat saat ia menengadahkan kepalanya sambil menghela napas lembut.

“Zulfikar membohongi saya, ia bilang belum menikah saat itu.” Mata Gadys berkaca-kaca. Nafasnya mulai tidak teratur, hingga dadanya sesekali terangkat. “Saya mohon kearifan nyonya memahami semua ini, kasihan anak ini,” Gadys memohon.

Najma terbangun dan menjerit. Suatu jeritan yang tak terdengar tentu, tetapi bergema sampai kerongkongan hingga kepalanya. Dibukanya matanya, dan dikenalinya cahaya di atas meja kecil di samping ranjangnya. Rupanya dia tertidur. Jadi kali ini memang merupakan mimpi buruk. Najma menarik napas dalam untuk menenangkan saraf-sarafnya yang berantakan. Dia bangun dan duduk, melihat ke bagian-bagian yang temaram dari kamarnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, tanganya terapit di antara lutut. Diletakkannya sikunya di atas lututnya, lalu ditopangkannya kepalanya ditangannya. Debar jantungnya yang kuat bergema dengan nyaring ke gendang telinganya. Diulurkannya tangannya dan dinyalakannya lampu di samping tempat tidurnya. Setengah memicingkan mata, wanita cantik itu melihat jam yang berdetik lembut di samping ranjangnya. Baru pukul tiga lewat lima menit. Mustahil menanti hingga pagi.

Malam masih begitu sunyi. Lama Najma memandangi ambang pintu yang kosong. Pikirannya sama letihnya dengan tubuhnya, namun ia tak bisa tidur. Dia mendesah, memadamkan lampu, lalu menyusup kembali ke balik selimut dan mencoba tidur lagi. Tetapi pikirannya mulai mengganggu, memikirkan ibunya yang hidupnya selalu tersudut karena ayahnya. Dan memikirkan bagaimana mengusir mimpi itu yang berkali-kali hadir.
 

1 komentar:

  1. cerita anda bagus sekali dan sangat mengilhami saya
    -allen-

    BalasHapus