Orriginally By. Mularto
Nabi Adam a.s ketika diturunkan ke bumi dalam keadaan telanjang. Begitupun kita. Setiap manusia lahir dengan kepolosan yang persis sama, tanpa sehelai penutup di tubuhnya. Namun dalam ketelanjangan tersebut, Nabi pertama di bumi ini berusaha mencari penutup, tujuannya jelas, manusia memiliki malu, manusia berakal budi sehingga menciptakan kreasi budaya tertua yang bernama pakaian.
Pakaian menjadi pelindung moral, dan harus diingat, pakaian sering muncul dan menjadi bagian dari pelindung nilai-nilai. Pakaian memelihara harga diri, kehormatan dan sebuah bentuk dharma tertinggi bagi manusia. Menanggalkan pakaian berarti mengecilkan fungsinya, mencampakkan keseimbangan hidup bersosial, membuang jauh ajaran-ajaran dan mengkerdilkan diri. Apakah masih ada arti yang terkandung pada diri kita, bila kehormatan dan harga diri terkubur ? Dengan demikian, berpakaian adalah konsep demokrasi mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi.
Bagi ketelanjangan, mungkin berpakaian pada dasarnya terlalu normative. Sehingga berpakaian lupa untuk menjadi benda yang lebih kreatif dan berakselerasi menembus ruang dan waktu untuk mewujudkan gagasan-gagasan innovative dari hal-hal yang banyak dilupakan dari suatu realita social dan realita gagasan yang dianggap sopan secara pribadi, namun tidak bagi social,hokum dan dilihat dari sudut nilai-nilai agama.
Ketelanjangan menjadi symbol sebuah penanggalan “pakaian kultur”. Ketelanjangan hadir tidak sebagai objek, tetapi sebagai subyek. Bahasa tubuh dan mimic si telanjang tidak di hadirkan sebagai keindahan ekspresi. Ekspesi yang bisa saja punya kekuatan provokatif sebagai obyek seks dalam ketelanjangan yang bisa saja menangalkan kekuasaan penikmatnya.
Pakaian dianggap subversi bagi estetika sehingga harus ditanggalkan. Pakaian adalah benda tanpa bentuk bagi estetika. Seperti halnya Orde baru memperlakukan ideology komunis. Produk peradaban ini terlalu tua untuk ikut campur dalam globalisasi dan modernitas estetika. Eksistensi pakaian sudah luntur. Mereka hanya berani muncu secara utuh dilapisan yang “ketinggalan zaman”, kaum pinggiran dan masyarakat conservative. Pakaian harus disensor dalam tampilan yang tidak utuh. Untuk masuk layar kamera produser, dunia showbiz atau dunia peradaban metropolitan pakaian harus mengubah jati dirinya.
Pakaian sebaiknya jangan selalu mengkhayalkan tentang kebanggaan, kebesaran dan kemulian bangsa timur. Bangsa dimana nilai-nilai agama tertanam. Pakaian sebaiknya menyingkir, karena ketimuran kita ternyata tidak cukup agung, anti globalisasi dan mungkin pakaian akan menjadi salah satu sumber penghambat “Asian Miracle”. Mungkin saja sekarang kita baru memulai menutup diri pada estetika global, karena kita bersikap conservative terhadap pakaian.
Pernahkah kita sebagai manusia melayang terbang ke dunia khayal untuk melihat bagaimana hasil perlakuan kita terhadap estetika ? Bagi yang pernah muncul pertanyaan, apakah estetika saat ini sedang bertepuk sebelah tangan atau merenung di sudut peradaban? Apakah otoritas kpemilikan manusia terhadap estetika menggembirakannya atau membuatnya bermuram durja ? Apakah dengan meyebut atas nama estetika dan menanggalkan pakaian kita membuatnya bergembira atau mungkin bersedih? Ataukah estetika hanya senang dimiliki segelintir orang dan mencampakkan masyarakat umum, sehingga estetika tidak bisa dimiliki oleh orang yang terlanjur ditakdirkan conservative ?
Jika begitu, beruntung sekali pakaian. Dia tidak terpengaruh dengan itu semua. Pakaian terlepas dari stress peradaban. Pakaian bahagia masyarakat umum masih menganggap bagian dari kehidupannya. Manusia masih men”dewa”kan dan memuliakannya. Apapun tanggapan manusia tentang estetika dan pakaian, tak membuatnya jengah dan segan. Alih-alih mereka sedang berasyik-masyhuk menembus ekstase tertinggi di rumah kiai Sebastian Bach mendengarkan alunan musik klasik sambil mencoba meraba lukisan Nyonya Monalisa yang anggun dan menyertakan kedua benda yang diributkna tersebut.
Suprastruktur hukum bersama birokrasi sedang dituntut merumuskan cara berpakaian yang baik dan benar melalui konstitusi. Bahkan kita sebagai makhlul dewasa ini masih perlu diajarkan cara berpakaian yang baik seolah-olah untuk berpakaian saja perlu pembelajaran yang sangat lamaa dan kalau bisa dibuatkan Departement Pakaian dan Estetika yang di merger dengan Departemen Ketertiban Umum.
Tetapi, sekali lagi pakaian harus mengalah jika estetika menyatakan ini adalah sebuah realitas social. Estetika berargumen “kami hanya merekonstruksinya menjadi sebuah drama yang lebih interaktiv, menjadi konstruksi-konstruksi pesan yang mensosialisasikan barang konsumsi kami". Pakaian tak boleh munafik untuk menolak hal yang jamak terjadi di dunia metropolis ini.
Atas nama estetika, kami saat ini membatasi sudut pandang mata anda, daya jangkau dengar telinga anda dan menyumbat hati nurani anda. Jika anda menganggap estetika tidak bermoral dan merendahkan diri penggunanya. Memang Tuhan pun yang memberikan rejeki dan kenikmatan pendengaran dan penglihatan, menghimbau agar membatasi penglihatan dan pendengaran kita. Sekali lagi, Tuhan hanya menghimbau, selebihnya terserah anda
Pakaian menjadi pelindung moral, dan harus diingat, pakaian sering muncul dan menjadi bagian dari pelindung nilai-nilai. Pakaian memelihara harga diri, kehormatan dan sebuah bentuk dharma tertinggi bagi manusia. Menanggalkan pakaian berarti mengecilkan fungsinya, mencampakkan keseimbangan hidup bersosial, membuang jauh ajaran-ajaran dan mengkerdilkan diri. Apakah masih ada arti yang terkandung pada diri kita, bila kehormatan dan harga diri terkubur ? Dengan demikian, berpakaian adalah konsep demokrasi mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi.
Bagi ketelanjangan, mungkin berpakaian pada dasarnya terlalu normative. Sehingga berpakaian lupa untuk menjadi benda yang lebih kreatif dan berakselerasi menembus ruang dan waktu untuk mewujudkan gagasan-gagasan innovative dari hal-hal yang banyak dilupakan dari suatu realita social dan realita gagasan yang dianggap sopan secara pribadi, namun tidak bagi social,hokum dan dilihat dari sudut nilai-nilai agama.
Ketelanjangan menjadi symbol sebuah penanggalan “pakaian kultur”. Ketelanjangan hadir tidak sebagai objek, tetapi sebagai subyek. Bahasa tubuh dan mimic si telanjang tidak di hadirkan sebagai keindahan ekspresi. Ekspesi yang bisa saja punya kekuatan provokatif sebagai obyek seks dalam ketelanjangan yang bisa saja menangalkan kekuasaan penikmatnya.
Pakaian dianggap subversi bagi estetika sehingga harus ditanggalkan. Pakaian adalah benda tanpa bentuk bagi estetika. Seperti halnya Orde baru memperlakukan ideology komunis. Produk peradaban ini terlalu tua untuk ikut campur dalam globalisasi dan modernitas estetika. Eksistensi pakaian sudah luntur. Mereka hanya berani muncu secara utuh dilapisan yang “ketinggalan zaman”, kaum pinggiran dan masyarakat conservative. Pakaian harus disensor dalam tampilan yang tidak utuh. Untuk masuk layar kamera produser, dunia showbiz atau dunia peradaban metropolitan pakaian harus mengubah jati dirinya.
Pakaian sebaiknya jangan selalu mengkhayalkan tentang kebanggaan, kebesaran dan kemulian bangsa timur. Bangsa dimana nilai-nilai agama tertanam. Pakaian sebaiknya menyingkir, karena ketimuran kita ternyata tidak cukup agung, anti globalisasi dan mungkin pakaian akan menjadi salah satu sumber penghambat “Asian Miracle”. Mungkin saja sekarang kita baru memulai menutup diri pada estetika global, karena kita bersikap conservative terhadap pakaian.
Pernahkah kita sebagai manusia melayang terbang ke dunia khayal untuk melihat bagaimana hasil perlakuan kita terhadap estetika ? Bagi yang pernah muncul pertanyaan, apakah estetika saat ini sedang bertepuk sebelah tangan atau merenung di sudut peradaban? Apakah otoritas kpemilikan manusia terhadap estetika menggembirakannya atau membuatnya bermuram durja ? Apakah dengan meyebut atas nama estetika dan menanggalkan pakaian kita membuatnya bergembira atau mungkin bersedih? Ataukah estetika hanya senang dimiliki segelintir orang dan mencampakkan masyarakat umum, sehingga estetika tidak bisa dimiliki oleh orang yang terlanjur ditakdirkan conservative ?
Jika begitu, beruntung sekali pakaian. Dia tidak terpengaruh dengan itu semua. Pakaian terlepas dari stress peradaban. Pakaian bahagia masyarakat umum masih menganggap bagian dari kehidupannya. Manusia masih men”dewa”kan dan memuliakannya. Apapun tanggapan manusia tentang estetika dan pakaian, tak membuatnya jengah dan segan. Alih-alih mereka sedang berasyik-masyhuk menembus ekstase tertinggi di rumah kiai Sebastian Bach mendengarkan alunan musik klasik sambil mencoba meraba lukisan Nyonya Monalisa yang anggun dan menyertakan kedua benda yang diributkna tersebut.
Suprastruktur hukum bersama birokrasi sedang dituntut merumuskan cara berpakaian yang baik dan benar melalui konstitusi. Bahkan kita sebagai makhlul dewasa ini masih perlu diajarkan cara berpakaian yang baik seolah-olah untuk berpakaian saja perlu pembelajaran yang sangat lamaa dan kalau bisa dibuatkan Departement Pakaian dan Estetika yang di merger dengan Departemen Ketertiban Umum.
Tetapi, sekali lagi pakaian harus mengalah jika estetika menyatakan ini adalah sebuah realitas social. Estetika berargumen “kami hanya merekonstruksinya menjadi sebuah drama yang lebih interaktiv, menjadi konstruksi-konstruksi pesan yang mensosialisasikan barang konsumsi kami". Pakaian tak boleh munafik untuk menolak hal yang jamak terjadi di dunia metropolis ini.
Atas nama estetika, kami saat ini membatasi sudut pandang mata anda, daya jangkau dengar telinga anda dan menyumbat hati nurani anda. Jika anda menganggap estetika tidak bermoral dan merendahkan diri penggunanya. Memang Tuhan pun yang memberikan rejeki dan kenikmatan pendengaran dan penglihatan, menghimbau agar membatasi penglihatan dan pendengaran kita. Sekali lagi, Tuhan hanya menghimbau, selebihnya terserah anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar