Jumat, April 11, 2008

SUARA


Originally by Mularto

Di instansi pemerintah, rumah sakit, pelosok desa hingga pelabuhan penyebrangan antar pulau, manusia Indonesia yang berumur lebih dari 17 tahun sibuk beragresi melakukan euphoria politik. Penjadwalan kembali waktunya pun menjadi tak lazim, yang biasa mudik dilakukan saat hari raya, maka pada pesta demokrasi ini mereka tidak hanya mudik, tetapi juga “hilir” seperti yang dilakukan di Al-Zaitun dulu.

Entah jenis makhluk aneh macam apa “Suara” itu gerangan! Apakah mungkin potongan-potongan unsure alam yang diramu dengan beberapa komponen rahasia ? yang jelas suara menjadi makhluk yang sombong kelak di 2009. Ia tak hanya mencampakkan kerapatan udara sebagai medianya dan memilih teman baru melalui pooling sms dan kertas suara serta berbagai perangkat media lain.
Tetapi sebaiknya makhluk ini jangan terlalu sombong, setidaknya teori Lasswell, Sharon&Weaver dan teman-temannya masih terbukti sampai saat ini, bahwa “Suara” perlu makhluk lainnya, salah satunya media. Meskipun “Suara” dibutuhkan dari Pak RT sampai Presiden, tetapi “Suara” tidak akan menjadi apapun tanpa kehadiran media suara.
“Suara” boleh saja menjadi “tuhan” (dengan t kecil) baru, tetapi makhluk ini butuh “malaikat” penyampai pesan. Meskipun belakangan ini suara dan medianya sedang ingin melakukan konspirasi untuk tidak lagi membela kepentingan sang komunikator.

Seharusnya “Suara” lebih kenal pemiliknya, lebih sayang, lebih berpihak dan lebih mengerti seluk beluk isi rongga dada yang setiap hari ngedumel. Kadang di negeri ini “Suara” kita agak aneh. Suara yang sudah terlanjur terlepas dari raga kita, sudah lupa dengan kita, sehingga tidak lagi berpihak pada kita, bahkan “Suara” tidak kenal kita sebagai pemiliknya.
Apakah dengan begitu, sebaiknya suara kita kutuk saja menjadi batu, seperti legenda Malin kundang yang tidak lagi mengenal ibundanya ?

“Suara” lebih memilih membela golongan keluarga dan pribadi yang hanya kita titipi “Suara”. Ingat, orang tua hanya di titipi anak-anak oleh Tuhan, jadi apa kesanggupan orang tua untuk mangkir dari titipan ini. Tuhan sebagai pemilik lebih berhak atas titipan ini. Tidak satu pun yang mempunyai otoritas atas kepemilikan barang titipan kecuali sang pemilik.
“Suara” dapat mengubah manusianya menjadi religius atau bahkan musyrik sekalipun. Pagi,siang, sore hungga malam manusia dipaksa bertemu dengan Penciptanya. Meskipun ini di luar kebiasaan. Dalam 5 kali waktu sholat mereka minta tambahan “Suara”. Mereka ini yang menganggap “Suara” rakyat “Suara” Tuhan. Hingga mereka berharap Tuhan campur tangan memberi “Suara”.

Akhir pekannya dibuat untuk mengunjungi rumah singgah, panti asuhan dan pondok-pondok kumuh di bantaran sungai. Sementara awal pekan saatnya membonceng seorang kyai popular sejuta umat. Betul, Tidak ? atau membuntuti penyanyi dangdut agar terpampang wajah mereka di infotaiment berjuta pemirsa.

Meski ada juga yang rela mengambil jalan pintas, lebih senang menytembah “portal” karena harus merunduk untuk cara lebih cepat dengan modal ayam hitam, telur hitam, kambing hitam dan minimal motor bebek hitam. Mereka yang memilih jalan ini akan mendapatkan satu paket bola api terbang, kehancuran lawandan kesengsaraan rakyat, ditambah paket hemat menjadi miliarder baru.

Hakikat suara hanya dapat kamu temukan dalam sepi, dalam sunyi. Jadi jangan marah kalau suara tidak lagi didengar, karena pemimpin kita tidak pernah nyepi dan pergi ketempat sunyi sekedar instropeksi diri atau tafakur. Mereka lebih senang keramaian, karena memang itu tujuan mereka. Ramai klien untuk menjamin usaha mereka bila pensiun, ramai penjilat yang setiap hari memberi petunjuk, ramai dukungan untuk memperpanjang kontrakan di singgasana kekuasaan dan ramai lainnya yang membuat sepi ekonomi kaum marjinal, sepi prestasi anak didik dan athlete, sepi kecendikiaan para idealis dan berakhir pada sepi kritik demi stabilitas.
Jangan aneh juga, kalau para pemilik “Suara” sering mendengar filsuf Ludwig witgenstent dalam Tractatus logico Philosophicus, “What can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must a pass over in silence”. Mereka lebih senang aksi “liar” di jalan dengan perlengkapan theatrical untuk mendukung dan menyatakan bahwa suara itu berwujud serta menolak menyalurkan ejakulasi suaranya di bilik-bilik suara karena mereka tak punya cukup syahwat untuk mencapai ereksi lebih dalam bercinta dengan calon-calon pemimpinnya ini.
Singkatnya, “Suara” bisa menjadi makhluk yang jahat, ketika 49 persen harus termodifikasi memarjinlakna diri secara politis, ekonomi social dan budaya, demi tambahan 2 persen berikutnya yang belum tentu legal proses pengaisan suaranya.

Tetapi, apakah sepanjang sejarah negeri ini “Suara” pernah baik dan berpihak pada rakyat yang sering termarjinalkan secara ekonomi, politik, social, budaya serta komponen kehidupan lainnya tersebut ?????

1 komentar:

  1. Semua yang di butuhkan memang lebih sering sombong, seharusnya rakyat juga bisa sombong, karena mereka itu buth kita lho heheh.....

    BalasHapus