Rabu, April 23, 2008

MEMENTO MORI*

*Ingat kamu harus mati
Oleh : Mularto


China sedang menjadi pusat perhatian belakangan ini. Bukan hanya sebagai tuan rumah pesta olahraga terbesar bernama olimpiade saja yang menjadi pokok bahasannya, tetapi juga menyangkut isu tentang Tibet. Belum habis masalah hubungannya dengan Taiwan Negara besar ini pun sedang “membangun” konflik baru dengan Tibet.

Saya takut deadline sejarah akan tiba, jika suatau dampak “bencana” tidak bisa diatasi dengan pendekatan apapun juga, karena semua pihak yang berkepentingan telah sama-sama membatu. Hendaknya dicegah jangan sapai ada darah yang muncrat. Sebuah adagium pun menjadi wajar terdengar “ Orang bisa rileks dan tanpa beban hanya terhadap kematian orang lain, dan juga bangsa lain, tetapi tidak dengan kematiannya sendiri”

Dalam banyak kasus, orang membunuh orang lain mungkin karena kematian besar maanfaatnya bagi kehidupan. Kematian politik, ekonomi, budaya bahkan jiwa di Afghanistan dan Irak serta banyak tempat lain, mungkin adalah sebuah distribusi kematian yang layak kita “syukuri”. Saham kita dalam distribusi kematian akhir-akhir ini meningkat pesat. Lalu apakah kita legal atas andil kematian itu? Kematian seolah menjadi sebuah budaya massa, budaya popular. Kematian direlukan demi kehidupan bersama, karena orang akhirnya harus mati. Meskipun kalai bisa jangan kita , keluarga kita, atau sahabat kita.

Begitu lucu dan begitu polosnya Amerika dengan lagu rutinnya tentang perdamaian dunia, demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Aspirasi ide domokrasi tersuar ketika orang memasuki dimensi benarnya orang banyak. Lahirlah pemimpin yang berbeda karakter dengan penguasa atau pemerintah.

Sejarah kematian adalah sebuah revolusi dan evolusi dari konsep-konsep dan mitos-mitos sejarah. Mengubah yang sunguh menjadi tak sungguh, tangis menjadi tawa, tragedy menjadi komedi. Ongkosnya berjuta nyawa, darah dan air mata.

Kita membagi sejarah menjadi pecahan-pecahan yang didasarkan menjadi keyakinan akan otoritarian. Ketika kemudian kita mendominasi kekuasaan kita angkatlah otoritarian itu menjadi hal yang umum, bertradisi dan terkonstitusikan yang kita beri baju demokrasi. Di dalam egoisme otoritarian, amat cepat kita menuding “hitam” atau dalam posisi lain kata hitam itu termdofikasi secara politis menjadi “ekstriminitas”, atau “sempalan”. Rupanya ada lapisan-lapisan yang lebih detail dari struktur penguasaan kelompok manusia atas kelompok manusia yang lain. Ketertindasan sebagai warga bumi, sebagai suku, sebagai minoritas, sebagai orang hitam, sebagai orang tertepikan dalam bebrbagai konteks.

Ternyata China sedang dalam proses mewujudkan semangat “nasionalismenya”. Ketika berprilaku bahwa ada suatu kelompok manusia yang didesak untuk makin tak memiliki kedaulatan atas buminya sendiri, serta atas hak-hak hidup mereka sendiri.

Saya pun tertarik untuk mengutip sebuah cerita metafor.

Pada suatu hari seorang sufi bernama Syibli melihat seorang penjaga memukul anjing dengan sebuah tongkat.
Anjing itu melolong karena menderita pukulan tadi.
Syibli berkata, “ oh anjing, mengapa ia telah memukulmu ?
Anjing berkata “ Ia tidak dapat tahan melihat yang lebih baik daripada dirinya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar